Prasangka
Dalam praktek, banyak kali muncul masalah pada relasi antara KOMKA dan
liturgi (perayaan iman, ibadat). Di antara liturgi dan KOMKA seolah ada
hubungan ”enggan tapi rindu”. Di balik tema “liturgi dan orang muda”,
masih bercokol prasangka laten baik terhadap Komunitas Orang Muda Katolik (KOMKA),
maupun terhadap Liturgi Gereja Katolik Roma. KOMKA seolah-olah suka
hura-hura, semaunya sendiri, tidak bisa diatur dalam berliturgi.
Sebaliknya, liturgi sering dipandang sebagai aturan sakral dan baku,
seakan-akan jauh dari gelora kerinduan orang muda. Terhadap KOMKA, Tim
Liturgi Paroki biasanya mengenakan frasa ”KOMKA yang pragmatis, maunya
serba lain”. Seakan-akan KOMKA diperlawankan dengan liturgi yang tak
memberi ruang kebebasan ungkapan iman. Dari pihak KOMKA, ada pula
prasangka, bahwa liturgi itu serba kaku.
Prasangka ini bisa dipahami, karena sifat umum orang muda yang masih
dalam masa pertumbuhan yang pesat. Mereka sedang berkembang dalam
dimensi psikologis, intelektual, seksual-hormonal, emosi, peran sosial
dan iman. KOMKA memang sedang mengalami transformasi menuju kepribadian
yang integral. Rentang masa muda yang panjang (usia 13-35 th) adalah
masa distingtif, saat mencari, mempertanyakan, belajar dan mengambil
keputusan. Kita yang pernah menjalani masa muda tentu merasakan bahwa
saat itu merupakan saat yang sukar, menantang sekaligus menggairahkan
karena penemuan-penemuan baru. Sering kali kita ingin sesuatu yang ”lain
dari pada yang lain” pada masa muda. Sedangkan di pihak lain, Liturgi
Gereja Katolik Roma, sudah berkembang dalam 20 abad dan sering dipandang
sebagai peraturan yang kaku alih-alih sebagai perayaan yang
membebaskan. Padahal, potret berliturgi oleh KOMKA tak selamanya demikian.
Prasangka dan kecurigaan yang digeneralisasi begitu saja terhadap KOMKA itu tentu tidak akan memecahkan persoalan yang sering kali muncul
dalam praktek penghayatan KOMKA terhadap liturgi. Tidak
bijaksana, generalisasi mengenai KOMKA yang ”pragmatis dan maunya serba
lain” itu. Liturgi Gereja pun tidak sepantasnya diperlawankan dengan
gejolak dan selera orang muda. Kenyataannya, bahwa banyak orang
terpanggil menjadi kudus pada masa muda, dan panggilan kekudusan itu
banyak yang bermula dari penghayatan liturgi. Kita pun tahu, Ekaristi
Kaum Muda (EKM) baik yang diselenggarakan oleh paroki, maupun oleh
Panitia World Youth Day yang mendatangkan Sri Paus sebagai
pemimpin liturgi, selalu dipenuhi OMK dengan kerinduan mendalam. Bahkan,
kelompok misa bahasa Latin yang terkesan ”penuh aturan ketat” ada yang
digerakkan oleh orang muda.
Memerlukan Dukungan
Seperti pada umumnya orang Katolik Indonesia, tua maupun muda,
penghayatan KOMKA akan liturgi sebenarnya tergantung pada pengetahuan dan
pengalaman mereka akan liturgi itu sendiri. Bahwa praktek liturgi KOMKA
kadang-kadang membuat para penanggungjawab liturgi mengerutkan kening,
bagi saya lumrah saja dalam konteks pembelajaran. Gelegak kreativitas
masa muda sekaligus tingkat pengetahuan dan pengalaman KOMKA akan liturgi
haruslah bisa dipahami dan didukung. Tak usahlah daya kreatif mereka
dalam ber-liturgi dihakimi dengan sewenang-wenang seperti yang sering
terdengar dari keluhan mereka. Gara-gara maunya kreatif, mereka
”dikecam secara liturgis”.
Sepanjang pengalaman para pendamping, tak ada KOMKA yang menjadi buruk
karena mau kreatif dalam merencanakan dan mengolah liturgi. Justeru
sebaliknya, para aktivis kelompok-kelompok KOMKA yang mau proaktif , mau
belajar, mau secara jujur mengusulkan berbagai kreasi dalam liturgi, dan
karenanya berani mencari dan melakukan yang benar, berani mengakui
kesalahan bila terjadi dan berani memperbaikinya) terbukti menjadi
aktivis dengan penghayatan liturgi yang nyata dalam perilaku. Lagipula,
jika KOMKA membuat kesalahan dalam ber-liturgi, ternyata kesalahan itu
tidaklah fatal, normal saja. Kesalahan mereka pun kadang-kadang karena
pengaruh kelompok kategorial yang lebih senior. Justeru
kelompok-kelompok kategorial yang beranggotakan orang-orang tidak muda
lagi lah yang sering bikin kesalahan fatal, dan keras kepala, bukan?
Sebaliknya, biasanya dengan taat KOMKA mau belajar dari kesalahan. Mereka
tetap gembira dan kreatif, asalkan pendamping dengan empati mau setia
mendampingi, menjelaskan makna simbol dan hakikat liturgi yang kaya
makna itu kepada mereka, memetakan posisi kelompok dalam lebensrauung Gereja
lokal, dsb. Saya yakin, dalam kerja sama yang baik dengan pendamping
itu dapatlah dihindarkan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak perlu
terjadi. Sebenarnyalah di antara Liturgi dan KOMKA ada hubungan batin yang
saling mendukung. Liturgi menjadi ongoing formation bagi KOMKA.
Sedangkan daya kreativitas dan gelora kemudaan KOMKA membuat liturgi
dirayakan dengan bersemangat. Liturgi tanpa keterlibatan orang muda,
merupakan tanda nyata kematian Gereja.
Liturgi Kelompok OMK
Ketika naskah ini diketik (Mei 2008-pen), kantor Youth Desk –
FABC di Manila sedang mengolah survei mengenai penghayatan KOMKA akan
Liturgi Ekaristi. Munculnya jajak pendapat untuk mengenai Ekaristi
ini didasari praduga bahwa kerinduan KOMKA akan liturgi berbanding lurus
dengan pengetahuan dan pengalaman mereka ber-liturgi. Tema Liturgi
Ekaristi menjadi pembahasan dalam Asian Youth Daytahun 2009 di
Manila. Mengapa tema ini diagendakan? Saya menduga, di satu sisi ada
kecemasan kalau-kalau Liturgi ”ditinggalkan” alias ”tidak laku” lagi
di kalangan KOMKA. Liturgi disangka tidak mampu menjawab kerinduan KOMKA di
tengah arus percepatan globalisasi yang mengasingkan KOMKA. Di sisi lain
ada pula kecemasan kalau-kalau KOMKA di berbagai kelompok kategorial yang
masih mau aktif ber-liturgi mulai ”meninggalkan” kaidah liturgi, alias
”mengikuti maunya sendiri”. Komunitas-Komunitas KOMKA lebih mementingkan
”rasa kepuasan kelompok” dalam berliturgi dibandingkan ”rasa universal”
Gereja. Dua macam kecemasan itu bermuara pada dua pertanyaan atas satu
kenyataan liturgi: 1. Bagaimanakah liturgi menjawab kerinduan KOMKA akan
perasaan ditemani oleh ”Yang Ilahi” di tengah arus zaman dan perubahan
selera ini? 2. Bagaimanakan KOMKA menyadari tanggungjawab dan
penghayatannya akan liturgi yang bergairah karena setia pada aturan
Gereja?
Saya menemukan dua prasyarat atas jawaban pertanyaan di atas setelah
mengamati beberapa komunitas KOMKA. Prasyarat itu adalah: 1. Jika mereka
mendapatkan komunitas yang digembalakan dengan semangat berbagi dan
mereka dipercaya dalam kegiatan komunitas. 2. Jika ungkapan kemudaan
mereka diberi ruang dan waktu yang cukup dalam liturgi komunitas.
Pada beberapa kelompok KOMKA, liturgi mereka hayati sepenuh hati.
Tampaknya mereka ”puas” dan selalu rindu dengan liturgi komunitas
mereka. Sebabnya, liturgi tak mereka lepaskan dari kehidupan komunitas
kategorial mereka, dan bahwa komunitas memberi ruang dan waktu bagi
karakter kemudaan mereka dalam liturgi. Ada ”gembala” (pendamping/
moderator) yang secara tetap mempercayai mereka dalam kegiatan
komunitas. Sang pendamping ini (imam dan biarawati/awam) mendampingi
liturgi mereka dengan tak bosan mengajarkan
prinsip-prinsip liturgi sesuai maksud Gereja. Beberapa kelompok KOMKA
itu adalah: Komunitas Sant’ Egidio (SE), beberapa komunitas Persekutuan
Doa Karismatik Katolik (PDKK) muda-mudi, beberapa sel
Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) muda-mudi; beberapa presidium
Legio Mariae (LM) muda-mudi, kelompok Imago Dei (ID), dan kelompok Doa
Taize (DT). Mereka memiliki kesamaan pengalaman, bahwa perjumpaan dengan
Allah dalam doa, teristimewa liturgi merupakan puncak dan sumber
spiritualitas dan kegiatan komunitas.
Variasi yang Melegakan
Kelompok-Kelompok OMK/KOMKA itu biasa berkumpul untuk berdoa secara
rutin. Pertemuan doa mereka mengikuti bukanlah liturgi karena dan
karenanya memiliki variasinya masing-masing. Dalam hal ini Tata
Perayaan Sabda atau Ibadat Sabda atau Doa kelompok kategorial di luar
Ekaristi, adalah kegiatan non liturgis atau para liturgi atau devosi.
Perayaan Sabda adalah liturgi bila dilakukan dalam Ibadat Harian dan
liturgi sakramen termasuk Ekaristi yang meliputi dua bagian utama:
liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Ibadat Sabda di luar liturgi atau
para liturgi dan devosi tidak sangat terikat pada kaidah-kaidah liturgi.
Dalam hal ini kreativitas orang muda mendapat ruang yang lebih luas dan
nyaman. Sebulan atau beberapa bulan sekali mereka mengundang imam untuk
merayakan ekaristi. Umumnya, mereka mengikuti aturan liturgi yang baku.
KTM dan PDKK secara berkala membuat adorasi sakramen Mahakudus.
Sebaiknya Adorasi Sakramen Mahakudus dibuat sebelum atau sesudah
Perayaan Ekaristi, atau sebagai unsur dari Ritus Penutup Ekaristi, dan
bukan di tengah liturgi Sabda atau di tengah liturgi Ekaristi. Beberapa
variasi liturgi, khususnya dalam perayaan ekaristi dan adorasi, tampak
paling ekstensif dalam PDKK dan KTM.
Lagu-lagu yang dipakai KTM dan PDKK sebagian besar bercorak mirip pop
rohani. Ciri khas liturgi PDKK dan KTM adalah sangat ekspresif.
Bernyanyi melambungkan pujian kepada Allah, sambil bertepuk tangan,
mengangkat tangan, diiringi musik yang meriah. Di sini dikenal juga
pencurahan Roh. Salah satu yang khas pula dalam PDKK dan KTM ialah peran
pemimpin doa yang mengantar sesi-sesi lagu, doa dan firman. Dalam
perayaan ekaristi, ada kesan bahwa peran imam sebagai pemimpin resmi
liturgi Gereja, tenggelam oleh peran pembawa acara yang juga pemimpin
doa. Ambil contoh, pengantar tobat yang dibawakan imam, sering kali
masih diulang oleh pemimpin doa dengan lebih panjang. Bagaimana hal ini
menjadi variasi yang tidak mengganggu? Kuncinya, dialog persiapan antara
imam dan pemimpin doa. Menjadi soal jika imam tidak diajak bicara
dahulu dan celakanya merasa tidak rela karena dilangkahi dalam memimpin
doa. Bisa jadi saat homili menjadi saat pelampiasan ketidakpuasan imam.
Namun hal ini jarang sekali terjadi dalam kelompok doa KOMKA. Pemimpin
doa komunitas PDKK dan KTM KOMKA biasanya bisa bekerja sama dengan baik
dengan imam pemimpin ekaristi.
Pertemuan doa DT mendaraskan mazmur dan doa singkat dalam nada
sederhana dengan musik lembut dan dekorasi temaram dengan ikon salib
Kristus di altar depan. Doa-doa Sant’ Egidio mirip dengan DT. ”Mereka
biasa berdoa sebentar di depan ikon Yesus. Ini sungguh doa inklusif.
Pemimpinnya tidak menempatkan diri di depan umat (di belakang altar),
tetapi di depan umat. Kalau ada imam ingin berbagi atau memberi
keterangan Sabda Tuhan, barulah beliau tampil di mimbar. Hal ini wajar
karena pertemuan doa mereka ini bukanlah perayaan Ekaristi. Sejauh
perlu, doa dilakukan “bersama” di depan ikon Yesus. Doa ini juga
merupakan relativisasi di hadirat Tuhan. Orang, setelah seharian
bekerja, tidak mensyukuri prestasinya atau mengumpat kegagalan hari itu,
melainkan mempersembahkan seluruh perjuangan sepanjang hari kepada
Tuhan, entah sukses, entah gagal, entah biasa-biasa saja. Sebetulnya
cara pandang seperti ini biasa saja. Hanya saja, doa ini dikemas dalam
suatu liturgi yang menyentuh hati: di depan ikon besar Yesus, dalam
keredupan cahaya gereja, dengan koor satu suara, sederhana, dengan
iringan organ, tapi mengantar pada keagungan Tuhan. Liturgi mereka tidak
ada yang istimewa. Pengalaman mereka yang selalu dibawa dalam doa-doa
harian dan misa di akhir pekan, itulah yang istimewa.
ID mengungkapkan doa bersama sebagai sarana berkomunikasi dengan
Tuhan, untuk mengetahui kehendak-Nya, mendapatkan restu, serta mendapat
kekuatan. Dasar kegiatan ID ialah saling menguatkan dalam doa (Gal. 6:2;
Ef. 6:18-20). Suasana praise and worship bersifat fun,
gembira penuh syukur. Namun jika dilakukan dalam Liturgi (misalnya
Ekaristi), apapun bentuk variasi penyesuaian, hendaknya tidak timbul
kesan bahwa di tengah liturgi dimasukkkan acara gembira ria yang
bersifat profan. Mereka pun mencari rhema untuk minggu itu dan mengungkapkan dalam liturgi.
LM menempatkan devosi kepada Bunda Maria. Namun yang menjadi
sentralnya ialah Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Semua pusat devosi,
ibadat, liturgi adalah Allah: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Maka devosi
yang khusus kepada Maria itu tidak harus mengaburkan atau menghilangkan
sentralnya, tetapi justru semakin mengarahkan para devosan ke sentral: ad Iesum, ad Patrem, ad Spiritum Sanctum,
itu sebabnya semua orang yang berdoa rosario atau mempunyai devosi
khusus kepada Bunda Maria menyalaminya sebagai Putri Allah Bapa, Bunda
Allah Putra dan Mempelai Allah Roh Kudus. Per Mariam ad Iesum. Doa
mereka mengikuti tatacara dalam Buku Pegangan LM. Lagu sangat minim,
kalaupun ada, lagu penghormatan kepada Bunda Maria selalu dinyanyikan
dengan khusuk. Kerendahan hati dan kesederhanaan menjadi pola doa
kelompok ini. Doa rosario dan catena legionis diwajibkan dalam
devosi mereka. Jika ada misa, doa rosario dan catena legionis wajib
didoakan tetapi sebelum liturgi, sebelum Ekaristi, yang berarti di luar
liturgi dan bukan di tengah liturgi. Ini sangat tepat, walaupun mungkin
ada yang kurang paham lalu mendoakannya dalam liturgi. Tak banyak OMK
yang terlibat dalam LM dibanding kelompok lain.
Walaupun berbeda ungkapan, namun nyatalah bahwa perasaan mereka
sama-sama terangkat kepada kehadiran Yang Ilahi dan iman
dimantapkan. Adanya penyesuaian dan variasi itu dirasakan melegakan OMK
dalam menghayati iman akan Allah.
Liturgi yang Tergairahkan oleh Kemudaan
Apakah istimewanya liturgi orang muda? Sebenarnya tatacara liturgi
mereka tidak ada bedanya dengan liturgi pada umunya. Yang istimewa
adalah apa yang mereka rindukan dan cara ungkapannya. Dalam situasi
pertumbuhan menuju masa depan yang tidak serba jelas, di tengah zaman
yang hiruk pikuk tidak pasti, liturgi menjadi wahana ungkapan mereka.
Apakah liturgi bisa menjawab kerinduan mereka? Alih-alih menunggu
liturgi memuaskan mereka, maka banyak kali terjadi, mereka-lah yang
berinisiatif menggairahkan liturgi sesuai desakan kuat di dalam dada
untuk mengungkapkan kerinduan mereka akan Allah. Sayangnya, para
penanggungjawab liturgi kadang-kadang tidak (mau) menanggapi dengan
sabar. Akibatnya, gairah KOMKA sering dikecewakan. Yang diperlukan
sekarang adalah penanggungjawab liturgi yang melibatkan KOMKA dalam tim
liturgi, agar perencanaan doa-doa dan lagu, serta variasi lain bisa
menjawab kerinduan KOMKA. Ada aneka warna kelompok doa KOMKA. Sangat bagus
jika mereka dilibatkan oleh para penanggungjawab liturgi di berbagai
tingkat (paroki, dekenat/kevikepan, dan keuskupan) untuk menggairahkan
liturgi kita. Dengan demikian, tak kan ada lagi kecurigaan dan penilaian
sepihak atas KOMKA seperi pada alinea pertama tulisan ini. Mereka pun
merasa tersapa dan pasti belajar liturgi Katolik dengan lebih baik. Ada
satu lagi potret ber-liturgi KOMKA walaupun sangat jarang. Yakni KOMKA yang
tergerakkan oleh liturgi sedemikian rupa, sehingga terinspirasi untuk
terjun dalam perjuangan menegakkan perdamaian dan keadilan. Mereka pun
perlu dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan liturgi agar liturgi
benar-benar ”puncak dan sumber” hidup beriman bagi KOMKA.
KOMKA dan Musik Liturgi
Bayangkanlah suatu perayaan Liturgi Ekaristi di gedung gereja yang
besar dengan ribuan KOMKA. Bagaimana jika tanpa musik? Nah, musik ialah
salah satu kegemaran favorit KOMKA, sejak era zaman batu hingga era dot
com ini. Namun musik Liturgi, memiliki ketentuan liturgis. Apakah KOMKA
masih tertarik dengan musik liturgi? Atau, apakah musik liturgi masih
mampu berdaya pikat terhadap KOMKA?
Perayaan Liturgi tidak melulu pikiran (ratio) . Liturgi selalu
meliputi tata gerak dan menyangkut seluruh kekayaan cita-rasa batin
yang mendorong setiap orang untuk mengungkapkannya secara
lahir. Wujudnya doa, permohonan, pujian, sembah sujud, dan
semacamnya. Relasi dengan Allah ialah misteri. Maka apa pun yang sulit
dinyatakan dalam kata-kata, diwujudkan dalam seni yaitu musik, syair,
nyanyian, lukisan, pahatan yang menembus misteri relasi Allah dan
manusia. Itulah jiwa Liturgi, yaitu Allah yang selalu ingin
mengkomunikasikan diri kepada manusia dan manusia yang rindu
menyambut-Nya. Ungkapan itu diungkapkan oleh manusia dengan segala
dimensi kemanusiaannya. Di sinilah kita tempatkan musik dan seni
liturgi. Tujuan Musik Liturgi ialah kemuliaan Allah dan pengudusan
manusia (Konstitusi tentang Liturgi, / Sacrosanctum Concilium, SC, 112)
dan Alkitab memuji lagu-lagu ibadat (Ef 5:19; Kol 3:16)
Yang harus diketahui ialah perbedaan antara Musik / Lagu Liturgi dan
Musik / Lagu Rohani Umat. Ketika ungkapan musik diwujudkan dalam
perayaan Liturgi, maka kita mengenal istilah Musik/ Nyanyian Liturgi ; sedangkan ketika ungkapan musik diwujudkan dalam perayaan non-liturgi, maka kita mengenal istilah Nyanyian rohani umat (populer). Dalam Musik/Lagu Liturgi Ada 3 kekuatan yang terkandung sesuai hakikat perayaan Liturgi:
1. Dinamisme iman pribadi
2. Dinamisme misteri Allah Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus.
3. Dinamisme komunitas Gerejawi sebagai anggota Tubuh mistik Kristus.
Komponen musik Liturgi adalah ungkapan komunikasi-komunal antara saya – kita – Allah Tritunggal dalam cara yang lebih mesra dan batiniah.
Lagu / Nyanyian Rohani Umat atau Lagu Rohani Populer, tidak
mengandung hakikat tiga kekuatan dinamis terebut. Musik rohani
merupakan ungkapan iman personal saja, belum eklesial/Gerejawi dan
sering juga tidak memperhitungkan dimensi dinamika Allah Tritunggal.
Namun SC 118 mengingatkan agar nyanyian rohani umat dikembangkan secara
ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan devosional
dan perayaan-perayaan ibadat menurut ketentuan rubrik.
Dalam dokumen “Musicam Sacram” artikel 5 dikatakan sbb:
Sungguh, lewat bentuk ini (musik-pen), doa diungkapkan secara
lebih menarik, dan misteri Liturgi, yang sedari hakikatnya bersifat
hirarkis dan jemaat, dinyatakan secara lebih jelas. Kesatuan hati
dicapai secara lebih mendalam berkat perpaduan suara. Hati lebih mudah
dibangkitkan ke arah hal-hal surgawi berkat keindahan upacara kudus…”
Apabila telah dipahami betapa luhurnya misteri yang terjadi selama
perayaan Liturgi maka perlulah OMK menyadari betapa luhurnya peran musik
dan nyanyian dalam Liturgi sebagai sarana komunikasi dengan yang ilahi
dalam kebersamaan.
Sacrosanctum Concilium artikel 112 menyebutkan peran musik sebagai tugas pelayanan untuk mendukung ibadat kepada Allah. Paus Pius X menyebutnya sebagai umile ancella. Paus Pius XI menyebutnya sebagai serva nobilissima. P.Pius XII menyebutnya sebagai sacrae liturgiae quasi administra. Dan Konsili Vatikan II menyebutnya: munus ministeriale in dominico servitio (tugas pelayanan dalam mengabdi Tuhan).
Syarat-syarat Musik Liturgi:
- Harus merupakan musik sejati menurut seni musik.
- Kata-kata dan nada harus sungguh menghantar manusia kepada Allah, oleh karena itu harus berdasarkan teks Kitab Suci dan Teks Liturgi.
- Harus mengungkapkan daya-daya seni dan religiositas dalam dialog dan tanda-tanda simbolik lainnya selama berlangsung perayaan, di mana Allah dimuliakan dan umat beriman dikuduskan.
Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya
dengan upacara Ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih
mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya
upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui
segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut
persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam Ibadat kepada
Allah (SC 112).
Ekaristi Untuk Orang Muda
Actio Pastoralis, instruksi Kongregasi Ibadat mengenai “Misa
untuk kelompok-kelompok khusus” 15 Mei 1969 menyatakan ”Gereja sangat
menganjurkan penyelenggaraan Misa untuk berbagai kelompok dalam paroki
baik territorial maupun kategorial sebab mempunyai dampak lebih mendalam
terhadap penghayatan hidup kristiani, saling mendukung dalam
perkembangan hidup rohani dan kesaksian iman”.
Untuk itu diperlukan berbagai penyesuaian, yang dapat dibagi dalam dua kategori:
1. penyesuaian akomodatif
2. penyesuaian inkulturatif
Akomodatif maksudnya penyesuaian dalam hal-hal yang tidak
berkaitan dengan budaya setempat misalnya: bacaan, nyanyian, cara
berkomunikasi, tata-gerak ritual, dramatisasi, tarian, dll. Misa Orang
Muda perlu banyak penyesuaian sesuai dengan jiwa mereka agar sungguh
berdaya-guna bagi hidup mereka, namun mengindahkan kaidah liturgi.
Inkulturatif maksudnya unsur-unsur budaya setempat di mana
dituntut studi yang mendalam mengenai unsur-unsur yang dapat
dimanfaatkan untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam
penghayatan iman mereka.
Harapan
Semoga dengan demikian musik dan lagu liturgi menyemarakkan cita rasa
batin yang terdalam dari KOMKA. Musik yang dipakai dalam liturgi haruslah
yang menjunjung rasa hormat sembah bakti dalam memuliakan Allah, dan
membuat KOMKA sadar dan aktif dalam liturgi.
*****
Yohanes Dwi Harsanto Pr (Sekretaris Eksekutif
komisi Kepemudaan KWI) Ditulis di Maumere, 24 Mei 2008, saat bersama OMK
Regio Nusa Tenggara.
Terima kasih kepada para teman berbincang:
Rm Y Subagyo Pr, Sdr Hanny, Sdr Ari, Rm Ruki SJ, Rm Deshi SJ, Rm Yumar
SJ, Sdr Xaxa, Mas Felix. Tulisan di atas sudah pernah dimuat di Majalah
Liturgi, Komisi Liturgi KWI, tahun 2008. Terima kasih atas ide dan
masukan dari Rm Bosco Da Cunha O.Carm (Sekretaris Eksekutif Komisi
Liturgi KWI) mengenai OMK dan Musik Liturgi, yang membuat makalah ini
makin lengkap. Makalah ini pernah dimuat di Majalah LITURGI, terbitan
Komisi Liturgi KWI, 2008.
Terima kasih kepada Romo Boli Ujan SVD,
mantan sekretaris eksekutif Komisi Liturgi KWI turut membantu
penyempurnaan artikel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !