Selamat datang di Blog Gereja Katolik Sampit - Keuskupan Palangkaraya - Kalimantan Tengah

Halaman

Rabu, 17 Juli 2019

Sejarah Adorasi Sakramen Mahakudus

Ada sejumlah orang mempertanyakan tentang asal usul Adorasi Sakramen Mahakudus. Berikut ini adalah ulasan ringkas tentang sejarah Adorasi Sakramen Mahakudus, yang mengambil sumber utama dari uraian yang disusun oleh Fr. John Hardon, SJ, di situs EWTN, silakan klik.
Fr. Hardon membagi sejarah perkembangan Adorasi sakramen Mahakudus dalam beberapa periode, yaitu:
1. Zaman para Rasul sampai awal Abad Pertengahan
2. Secara khusus masa heresi Berengarius sampai masa St. Fransiskus Asisi
3. Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente
4. Perkembangan Adorasi Ekaristi
5. Alasan perkembangan doktrin Ekaristi
6. Ajaran dari Magisterium Gereja
7. Rahmat melalui kemanusiaan Kristus

Zaman para Rasul sampai awal Abad Pertengahan

Di zaman para Rasul, kepercayaan akan kehadiran Kristus secara nyata di dalam Ekaristi bertumbuh dari ajaran para Rasul, terutama, dari Rasul Paulus dan Rasul Yohanes. Mereka mengajarkan bahwa Ekaristi adalah Yesus Kristus yang secara nyata melanjutkan misi penyelamatan-Nya di antara umat manusia. Rasul Paulus dalam suratnya menegur jemaat di Korintus, yang melakukan pemecahan roti dengan cara yang menimbulkan perselisihan, padahal seharusnya Ekaristi adalah tanda yang indah untuk kasih Agape (lih. 1Kor 11:26), yang mempunyai efek mempersatukan Gereja sebagai satu tubuh (lih. 1Kor 10:16-17).
Demikian pula, kita mengetahui bahwa Rasul Yohanes menyampaikannya secara cukup eksplisit dalam Injilnya, yaitu dalam perikop tentang Roti hidup (Yoh 6). Begitu eksplisitnya ajaran itu disampaikan, hingga banyak di antara para murid-Nya saat itu, yang menganggap ajaran itu sulit untuk diterima, sehingga mereka meninggalkan Dia (lih. Yoh 6:66). Hanya para Rasul-Nya, yang saat itu diwakili oleh Rasul Petrus, yang tetap percaya kepada perkataan-Nya. Rasul Petrus berkata, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:68-69)
Setelah abad pertama berakhir, St. Ignatius dari Antiokhia menulis surat yang memperingatkan Gereja terhadap ajaran sesat Gnosticism, yang tidak percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi. St. Ignatius mengatakan bahwa mereka ini beranggapan demikian karena mereka tidak percaya akan ajaran para Rasul bahwa di dalam Ekaristi hadirlah Kristus yang sama dengan Kristus yang hidup, wafat dan bangkit dari kematian demi keselamatan kita.
Iman akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi menyebabkan banyak rahib di abad-abad pertama (sampai pertengahan abad ke-3) menyimpan Ekaristi di ruang sel mereka, di gua-gua, sebagaimana terjadi di Gereja Timur, yaitu di Palestina dan Mesir. Di abad kedua, para Paus telah mengirimkan Ekaristi kepada para uskup sebagai tanda kesatuan iman dan pada kesempatan tertentu, para Uskup melakukan hal yang sama kepada para imam di bawah kepemimpinan mereka.
Ketika kehidupan membiara tidak lagi terbatas dalam kehidupan pertapa tetapi kepada kehidupan komunitas, para rahib mempunyai kebiasaan untuk membawa Ekaristi, terutama saat bekerja maupun melakukan perjalanan. Hosti ditempatkan di tempat kecil, atau di tas kecil yang kemudian dikalungkan di leher. Manuskrip Irlandia dan Inggris menyebutkan kebiasaan tentang hal ini. St. Comgall (wafat tahun 601) juga memberi kesaksian tentang hal ini.
Setelah Konsili Nicea (325), Ekaristi mulai disimpan di gereja-gereja dan biara-biara. Alasan utamanya adalah agar dapat disimpan bagi orang-orang sakit dan yang sedang mengalami ajal, maupun untuk perayaan lainnya. Maka kesakralan Ekaristi sudah diakui dan tempat penyimpanannya pun khusus agar  terhindar dari bahaya profanasi.
Sekitar tahun 800-an, Sakramen Mahakudus disimpan di gereja di dekat altar itu sendiri. Praktek menyimpan Ekaristi di biara-biara adalah kebiasaan yang universal sehingga tidak ada bukti yang menyatakan hal yang sebaliknya, bahkan sejak sebelum tahun 1000. Bahkan ada banyak peraturan tertulis yang masih eksis sampai sekarang, yang mensyaratkan perlindungan terhadap elemen-elemen sakral itu, “dari profanasi baik oleh tikus-tikus maupun dari orang-orang yang tidak saleh.” Maka Ekaristi harus disimpan di tempat terkunci dan kuncinya tersimpan di tempat yang tidak mudah dijangkau.
Referensi tentang Sakramen Mahakudus jelas tertulis dalam riwayat St. Basilius (wafat 379). Dikatakan bahwa St. Basilius membagi Hosti Ekaristi menjadi 3 bagian, bagian pertama dimakannya, bagian kedua diberikannya kepada rekan imamnya, dan bagian ketiga ditempatkannya di tempat emas berbentuk burung merpati yang digantung di atas altar.
Referensi berikutnya adalah temuan di biara Benediktin di Monte Cassino, yang dihancurkan di Perang Dunia II adalah dua buah tabernakel kecil kuno, yang terbuat dari emas dan perak. Tabenakel itu adalah milik Paus Victor III (wafat 1087), yang pernah menjadi rahib di biara tersebut sebelum dipilih menjadi Paus.

Secara khusus masa heresi Berengarius sampai masa St. Fransiskus Asisi

Menjelang akhir abad ke-11, kita memasuki era baru sejarah Adorasi Ekaristi. Sampai masa itu, kehadiran Yesus secara nyata dalam Ekaristi tidak dipertanyakan dan sudah dianggap umum dalam iman Katolik. Ekaristi disimpan di gereja- gereja, termasuk kapel-kapel dan biara-biara. Namun kemudian revolusi menghantam Gereja ketika Berengarius (999-1088), seorang pemimpin diakon  di Angers, Perancis, secara publik menolak bahwa Kristus secara nyata dan secara fisik hadir dalam rupa roti dan anggur. Maka ada sejumlah orang yang percaya kepada idenya ini dan mulai menuliskan bahwa Kristus dalam Ekaristi tidaklah sama dengan Kristus dalam Injil, dan karena itu, Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi.
Begitu seriusnya kasus ini, sehingga Paus Gregorius VII memerintahkan Berengarius untuk menarik kembali ajarannya. Ini adalah pernyataan definitif pertama Gereja tentang apa yang selalu dipercaya, dan tidak pernah secara serius ditentang. Paus Gregorius VII sendiri adalah seorang rahib yang menjadi Paus, yang imannya akan Sakramen Mahakudus telah dipupuk selama bertahun-tahun dalam biara Benediktin.
Ajaran Paus Gregorius tentang Kehadiran Yesus secara nyata dikutip kata per kata oleh dokumen yang ditulis oleh Paus Paulus VI, Mysterium Fidei (1965), untuk menghadapi pandangan yang menentang Ekaristi di zaman kita, sesuatu yang sangat mirip dengan apa yang pernah terjadi di abad ke-11:
“Aku percaya di dalam hatiku dan secara terbuka mengakui bahwa roti dan anggur yang ditempatkan di altar adalah, melalui misteri doa sakral dan perkataan Sang Penebus, secara substansial diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus Tuhan kita, yang sejati dan yang memberi kehidupan, dan bahwa setelah konsekrasi, di sana juga hadir Tubuh Kristus yang sejati yang dilahirkan oleh Sang Perawan, telah dikurbankan bagi keselamatan dunia, digantung di kayu salib dan kini duduk di sisi kanan Allah Bapa, dan bahwa di sana hadir, Darah Kristus yang sejati, yang mengalir dari lambung-Nya. Keduanya hadir bukan hanya sebagai tanda dan ke-efektifan Sakramen tersebut, tetapi di dalam kenyataan yang sebenarnya dan kebenaran dari kodrat dan substansi mereka.”
Dengan pengakuan iman ini, maka gereja-gereja di Eropa mengalami apa yang disebut dengan Eucharistic Renaissance. Saat itulah ditetapkan adanya prosesi-prosesi Sakramen Mahakudus, rumusan doa-doa yang adorasi, umat didorong untuk mengunjungi Sakramen Mahakudus, dst. Sejak abad ke-11 ini, devosi kepada Sakramen Mahakudus dalam Tabernakel menjadi semakin dikenal.
St. Fransiskus Asisi juga merupakan orang kudus yang mempunyai devosi kepada Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Ia berkata:
“Kitab Suci mengajarkan bahwa Bapa berdiam di dalam “terang yang tak terpahami ” (1Tim 6:16) dan bahwa Allah adalah Roh (Yoh 4:24) dan St. Yohanes menambahkan, “Tak seorangpun pernah melihat Allah” (Yoh 1:18). Sebab Allah adalah Roh, Ia hanya dapat dilihat di dalam roh; “Adalah Roh yang memberi kehidupan, daging sama sekali tidak berguna” (Yoh 6:63). Tetapi Allah Putera adalah sehakekat dengan Bapa dan Roh Kudus. Itulah mengapa mereka semua menjadi terkutuk, yang telah melihat Tuhan Yesus Kristus di dalam kemanusiaan-Nya namun tidak melihat ataupun percaya di dalam roh akan ke-Allahan-Nya, bahwa Ia adalah Putera Allah yang sejati. Dengan cara yang sama, mereka semua terkutuk, yang melihat Sakramen Tubuh Kristus yang telah dikonsekrasikan di altar dalam rupa roti dan anggur oleh perkataan Sabda Tuhan kita di tangan para imam-Nya, dan tidak melihat ataupun percaya di dalam roh dan di dalam Allah bahwa ini adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah yang kudus dari Tuhan kita Yesus Kristus.”
Maka tak ada yang mengejutkan ketika Paus Urbanus IV di tahun 1264 kemudian menetapkan perayaan Tubuh Kristus (Corpus Christi). Saat menentukan perayaan itu, Paus menekankan akan kasih Kristus, yang ingin menyertai secara fisik sampai akhir zaman. Paus mengatakan, “Dalam Ekaristi, Kristus di dalam hakekat-Nya sendiri ada bersama kita.” Sebab “ketika mengatakan kepada para Rasul-Nya bahwa Ia akan naik ke Surga, Ia berkata, “Lihatlah, Aku akan menyertaimu selamanya, bahkan sampai akhir zaman” dan dengan demikian menghibur mereka dengan janji yang besar bahwa Ia akan tetap ada dan bersama-sama dengan mereka bahkan dengan kehadiran secara jasmani” (11 Agustus, 1264).
Paus Urbanus IV menugaskan St. Thomas Aquinas untuk menyusun Ibadah Harian untuk perayaan Corpus Christi, untuk diperingati setiap tahun di hari Kamis setelah hari Minggu Tritunggal Mahakudus. Tiga lagu karangan St. Thomas Aquinas adalah:
  1. O, Salutaris Hostia: doa penyembahan/ adorasi kepada Kristus, Kurban yang menyelamatkan yang membuka pintu Surga bagi manusia.
  2. Tatum Ergo Sacramentum: doa Adorasi kepada Sang Sabda yang menjadi manusia, di mana iman menopang apa yang tidak dapat dirasakan oleh perasaan.
  3. Panis Angelicus, doa Adorasi kepada Sang Santapan Rohani, ketika mereka yang rendah hati memperoleh makanannya oleh Tuhan yang menjelma menjadi manusia.
St. Thomas, seperti halnya Gereja, tidak memisahkan antara Ekaristi sebagai Kurban, Komuni dan Kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya. Sebab tanpa Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi, maka tidak akan ada Kurban yang nyata dan Komuni yang nyata. St. Thomas mengajarkan bahwa Putera Allah menjadi manusia agar Ia dapat mengurbankan diri-Nya di Kalvari dan kemudian seterusnya mengurbankan diri-Nya dalam Misa Kudus. Kristus menjadi manusia agar Ia dapat memberikan diri-Nya kepada para murid-Nya di Perjamuan Terakhir dan untuk seterusnya memberikan diri-Nya dalam Komuni Kudus.

Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente

Sejak perayaan Corpus Christi ditetapkan oleh Paus Urban IV, para Paus terus mempertahankan iman Gereja akan kehadiran Kristus yang tak terputuskan di dunia dalam rupa Ekaristi kudus. Setiap kali ada pertentangan, Gereja kembali mengeluarkan pernyataan yang lebih jelas tentang ajaran mengenai Ekaristi.

Sebelum Konsili Trente

Ada beberapa situasi yang akhirnya diikuti oleh pernyataan Paus:
  1. Di abad ke-14, saat berkomunikasi dengan uskup Armenian yang memohon bantuan subsidi, Paus Klemens IV menanyakan apakah mereka mengakui iman Katolik yang penuh. Di antara pembicaraan itu, Paus mensyaratkan bahwa mereka menerima pernyataan bahwa, “Setelah perkataan konsekrasi, maka hadirlah secara nyata Tubuh Kristus yang sama, dengan Tubuh Kristus yang dilahirkan oleh Perawan Maria dan yang dikurbankan di kayu salib” (29 September, 1351).
  2. Dua puluh tahun kemudian Paus Gregorius XI menentang pandangan yang menganggap bahwa Kristus tidak tetap hadir dalam Ekaristi, ketika rupa Ekaristi mengalami desekrasi/ diperlakukan dengan tidak hormat (lih. pernyataan Paus Gregorius, 8 Agustus 1371).
  3. Terhadap pandangan Calixtines di abad ke-15, yang mengatakan bahwa keseluruhan Kristus tidak diterima kecuali jika umat menerima Komuni kudus dalam dua rupa, Konsili di Constance memutuskan untuk “menyatakan, mendekritkan dan menentukan”, sebagai artikel iman bahwa, “Keseluruhan Tubuh dan Darah Kristus benar-benar terkandung di dalam rupa roti saja dan di dalam rupa anggur saja.” Definisi ini ditegaskan oleh Paus Martinus V (1 September, 1425).
Eksposisi dan penyembahan sakraman Mahakudus menjadi umum sejak abad ke-15. Namun penyembahan ini biasanya diadakan untuk alasan tertentu, misalnya untuk memohon kesembuhan bagi orang-orang sakit, ataupun di saat ajal, agar yang didoakan dapat mengalami kematian yang membahagiakan.

Konsili Trente

Di abad ke-16, seluruh ajaran iman Katolik tentang Ekaristi Kudus ditentang oleh para Reformer Protestan. Sebagai konsekuensinya, Konsili Trente membahas mengenai hal ini secara menyeluruh.
Sakramen-sakramen yang lain tidak memiliki kuasa menguduskan sampai sakramen itu diterimakan, tetapi dalam Ekaristi, Sang Pemberi kekudusan itu sudah hadir sebelum sakramen itu diterimakan. Sebab sebelum para Rasul menerima Ekaristi dari tangan Tuhan kita, Ia telah berkata bahwa adalah Tubuh-Nya itulah yang Ia berikan kepada mereka.
Gereja telah selalu percaya bahwa segera setelah konsekrasi, Tubuh dan Darah yang sesungguhnya dari Tuhan kita, bersama dengan Jiwa dan Ke-Allahan-Nya, hadir dalam rupa roti dan anggur. Tubuh-Nya hadir dalam rupa roti, dan Darah-Nya dalam rupa anggur, melalui perkataan konsekrasi tersebut. Tetapi Tubuh-Nya juga hadir dalam rupa anggur, dan Darah-Nya dalam rupa roti, dan Jiwa-Nya di dalam kedua rupa karena hubungan kodrati dan dalam kebersamaan yang mempersatukan bagian-bagian Kristus Tuhan kita, yang telah bangkit dari kematian dan tidak akan wafat lagi. Selanjutnya ke-Allahan Kristus hadir disebabkan oleh kesatuan hipostatik (hypostatic union) dengan Tubuh dan Jiwa-Nya. Oleh karena itu, adalah sungguh benar bahwa ke-Allahan-Nya hadir dalam salah satu rupa, maupun dalam kedua rupa. Sebab Kristus, secara keseluruhannya, hadir dalam rupa roti dan dalam rupa bagian apapun dari roti itu, dan demikianlah keseluruhan Kristus hadir dalam rupa anggur dan dalam rupa bagian-bagiannya.
Konsili Trente mengajarkan, “Putera Allah yang Tunggal adalah untuk disembah di dalam sakramen Ekaristi, dengan penyembahan termasuk secara eksternal (kelihatan). Karena itu, sakramen adalah untuk dihormati dengan perayaan yang luar biasa dan dengan agung dibawa dari tempat ke tempat dalam prosesi menurut ritus dan kebiasaan universal yang layak dari Gereja yang kudus. Sakramen Ekaristi adalah untuk diperlihatkan secara publik agar dapat disembah.” Pernyataan ini disetujui oleh Paus Yulius III (11 Oktober 1551), dan menjadi dasar bagi ajaran dan kemajuan devosi kepada Sakramen Mahakudus.

Perkembangan Adorasi Ekaristi

Devosi Empat Puluh Jam

Sebelum akhir abad ke-16, Paus Klemens VIII di tahun 1592, yang mengeluarkan dokumen historis yang disebut Quarant Ore (Empat puluh jam).
Devosi ini mencakup 40 jam doa tanpa henti di hadapan Sakramen Mahakudus. Doa ini dilakukan tanpa henti sehingga di gereja-gereja yang berbeda (yang ditentukan oleh Paus) pada hari-hari tertentu, dilakukan devosi 40 jam, dengan pengaturan gereja-gereja dan waktu-waktu yang, setiap jamnya doa-doa dinaikkan tanpa henti di hadapan Tuhan.
Sekitar seabad kemudian, di tahun 1731, Paus Klemen XIII mengeluarkan instruksi yang lebih detail tentang devosi tersebut, yaitu bahwa:
  1. Sakramen Mahakudus ditempatkan terekspos di altar tinggi (high altar).
  2. Patung-patung, relikwi dan gambar-gambar yang ada di sekitar altar agar digeserkan atau diselubungi dengan kain.
  3. Hanya klerus yang dapat melayani eksposisi Sakramen Mahakudus di altar tersebut.
  4. Harus ada penyembah yang hadir tiada terputus di hadapan Sakramen Mahakudus, dan harus melibatkan imam, atau klerus dari ordo yang utama.
  5. Tidak boleh ada Misa yang dilakukan di altar eksposisi tersebut.
Secara berangsur-angsur, devosi 40 jam ini tersebar ke seluruh dunia.
Kitab Hukum Kanonik 1917 menganjurkan agar setiap tahunnya diadakan eksposisi Sakramen Mahakudus agar umat setempat dapat merenungkan dan menyembah Misteri Ekaristi secara lebih khusus (lih. Kan. 942, KHK 1917).

Devosi Penyembahan Abadi

Penyembahan Sakramen Mahakudus secara terus menerus disebut “Penyembahan Abadi” artinya:
  1. Selalu ada seseorang yang menyembah/ berdoa di hadapan Sakraman Mahakudus, jadi secara literal maupun moral penyembahan dilakukan tanpa terputus; hanya terjadi interupsi singkat karena alasan-alasan yang tak terelakkan.
  2. Adorasi tak terputus dilakukan di gereja/ kapel yang khusus.
  3. Adorasi tak terputus di gereja-gereja atau kapel di kawasan tertentu -seperti di keuskupan atau negara- atau seluruh dunia.
Kebiasaan penyembahan abadi ini telah ada sejak abad ke-4, umumnya dilakukan delapan hari setelah Baptisan. Jadi telah lama sebelum ditentukannya perayaan Corpus Christi, kebiasaan menyembah sakramen Mahakudus telah dilakukan baik oleh para religius maupun awam.
Kebiasaan penyembahan Sakramen Mahakudus lebih dikenal oleh umat Katolik di Eropa, secara khusus pada saat Gereja berhasil meluruskan ajaran sesat Albigenses di abad ke 13. Raja Perancis, Louis VII meminta kepada Uskup Avignon untuk mentahtakan Sakramen Mahakudus di kapel Salib Suci (14 Sept, 1226). Pihak Vatikan meratifikasi tradisi ini, dan melanjutkannya sampai tahun 1792 di masa revolusi Perancis. Tradisi ini yang sempat terhenti kemudian diadakan kembali tahun 1829.
Walaupun sudah sejak lama tradisi penyembahan Sakramen Mahakudus ini dikenal, namun dapat dikatakan bahwa baru sejak Konsili Trente, penyembahan abadi ini berkembang mendunia. Sejak itu ada banyak lembaga yang didirikan untuk secara khusus mengadakan adorasi Sakramen Mahakudus sepanjang hari, seperti:  Ordo Benediktin yang mengkhususkan diri untuk penyembahan Sakramen Mahakudus di Austria (1654); Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria, dan Kongregasi Penyembahan Abadi (1817); the Pious Union of the Adorers of the Most Blessed Sacrament (1810); Asosiasi umat untuk Penyembahan abadi Ekaristi (dimulai 1641, berkembang tahun 1753 di Perancis); the Blessed Sacrament Fathers (1856) oleh St. Peter Eymard.

Kunjungan ke Sakramen Mahakudus

Kebiasaan ini dikenal di awal Abad Pertengahan. Para biarawati umumnya memulai hari-hari mereka dengan mengunjungi Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Para sejarawan Katolik menuliskan bahwa sebelum abad ke-14, kebiasaan mengunjungi Sakramen Mahakudus telah menjadi sesuatu yang umum.
Para reformer Protestan di Inggris yang di abad ke-16 menentang kehadiran Kristus dalam Ekaristi, tiga abad kemudian kembali menyakini kehadiran Kristus dalam Ekaristi, sebagaimana dipelopori oleh the Anglican Sisterhood of St. Margaret (1854).
Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus sesering mungkin dianjurkan dalam Kitab Hukum Kanonik. KHK 1917 mengajarkan agar umat setia mengunjungi Sakramen Mahakudus sesering mungkin (Kan. 1273). KHK 1983, secara lebih jelas lagi menyatakan, “Kecuali ada alasan yang berat, gereja yang di dalamnya Sakramen Mahakudus tersimpan, harus dibuka kepada umat beriman selama beberapa jam setiap hari, supaya mereka dapat berdoa di dapan sakramen Mahakudus (Kan. 937). Anggota dari lembaga-lembaga religius setiap hari harus “menyembah Tuhan sendiri yang hadir dalam Sakramen Mahakudus” (Kan. 663,2).

Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus

Devosi Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus dimulai di abad ke-13, dan berkaitan erat dengan penetapan perayaan Corpus Christi. Dua lagu gubahan St. Thomas Aquinas menjadi bagian dari doa Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus tersebut.
Dalam sejarah doa Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus ini terdapat doa penghormatan kepada Perawan Maria yang terberkati, karena tanpa Maria, tidak ada Inkarnasi dan tanpa Inkarnasi, tidak ada Ekaristi. Di masa inilah berkembang kebiasaan di biara-biara untuk menyanyikan juga madah penghormatan kepada Bunda Maria (yang sering disebut Salve ataupun Salut), yang menyertai penyembahan kepada Kristus dalam sakramen Mahakudus, secara khusus ketika sakramen dibawa dalam prosesi dan ketika berkat diberikan kepada para penderita sakit dan cacat, seperti yang umumnya dilakukan di tempat ziarah di Lourdes, Perancis.

Kongres Ekaristi

Pernyataan secara publik tentang iman akan Kehadiran Kristus yang nyata dalam Sakramen Ekaristi dalam kongres Ekaristi, telah dilakukan di Abad Pertengahan. Tetapi kongres internasional pertama tentang Ekaristi dilakukan di tahun 1881, atas prakarsa Marie-Marthe Tamisier seorang awam wanita yang mempunyai devosi kepada Sakramen Mahakudus sejak masa kanak-kanak. Di tahun 1886, di kongres ke-5 yang diadakan di Toulous, 1500 uskup dan imam dan 30,000 awam turut berpartisipasi dalam kongres tersebut.
Sampai sekarang kongres Ekaristi telah dilaksanakan di seluruh benua. Paus Yohanes Paulus II  menghadiri kongres tersebut di tahun 1980, dan menyatakan peran utama kongres tersebut bagi seluruh umat. Kongres Ekaristi paling utama dan terutamanya adalah komunitas besar tentang iman akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi, yang tetap hadir secara sakramental di sepanjang hidup kita sehingga dengan kekuatan-Nya kita dapat menghadapi masalah-masalah kita, kerja keras dan penderitaan kita… Kongres harus menunjukkan secara khusus bahwa umat Tuhan di dunia hidup dari Ekaristi dan menimba kekuatan darinya dalam kekuatan bagi perjuangan dan pergumulan setiap hari (30 Juni dan 9 Juli, 1980).

Perkembangan doktrin Adorasi Ekaristi

Perkembangan devosi terhadap Sakramen Mahakudus berhubungan erat dengan perkembangan ajaran tentang Ekaristi.
Perbendaharaan iman memang tetap sama, namun pemahaman akan ajaran iman ini terus berkembang. Konsili Vatikan II yang diadakan sekitar empat abad setelah Konsili Trente, menjabarkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pijakan bagi perkembangan doktrin tersebut. Yaitu bahwa Wahyu Ilahi yang dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci telah dipercayakan kepada Gereja. Peran Gereja tidak saja untuk menjaga Wahyu Ilahi tersebut, namun juga untuk menjelaskan pertumbuhan penghayatan Gereja akan kebenaran ini. Perbendaharaan Wahyu ilahi, “yang datang dari para Rasul berkembang di dalam Gereja, dengan bantuan Roh Kudus”. Maka ada pertumbuhan pemahaman terhadap kenyataan- kenyataan dan kata-kata yang diturunkan [dari para Rasul kepada para penerus mereka] Ini terjadi dalam beberapa cara. Ini terjadi karena kontemplasi dan pembelajaran, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti. Dengan bertambahnya abad demi abad, Gereja selalu bertambah maju menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai akhirnya Sabda Tuhan tergenapi di dalam dirinya (lih. Konsili Vatikan II, Dei Verbum, 8).
Berikut ini adalah pengalaman-pengalaman rohani yang dialami oleh para orang-orang kudus yang diperoleh dari penyembahan Sakramen Mahakudus:
  1. St. Yohanes Fisher (1469-1535) dan St. Thomas More (1478-1535) menimba kekuatan dari sakramen Mahakudus sebelum dibunuh sebagai martir. Dalam doanya sebelum wafatnya, St. Thomas berkata, “O Kristus, Juru selamat yang manis, demi Sengsara-Mu yang sangat pedih, ambillah dariku, ya Tuhan yang baik, rasa suam-suam kuku, atau tepatnya permenunganku yang dingin dan ketumpulanku untuk berdoa kepada-Mu. Dan berikanlah kepadaku, rahmat-Mu agar merindukan Sakramen-sakramen-Mu yang kudus dan secara khusus untuk bersuka cita dalam Kehadiran Tubuh-Mu yang tersuci, Kristus Penyelamatku yang manis, dalam Sakramen Kudus di altar…”
  2. St. Fransiskus Xaverius (1506-1552), setelah berkhotbah dan membaptis sepanjang hari akan menghabiskan waktu di malam hari untuk berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus.
  3. St. Maria Magdalena dei Pazzi (1566-1607), menganjurkan umat di dunia, “Seorang sahabat akan mengunjungi sahabatnya di pagi hari, dan menyapanya di siang hari, sore dan malam hari dan juga bercakap-cakap dengannya sepanjang hari. Demikian pula, kunjungilah Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus, jika pekerjaanmu memungkinkan itu. Secara khusus di kaki altar, seseorang akan berdoa dengan baik. Dalam setiap kunjunganmu kepada Penyelamat kita, persembahkanlah Darah-Nya yang berharga kepada Bapa yang kekal. Kamu akan mendapatkan bahwa kunjungan ke sakramen ini sangat kondusif untuk meningkatkan kasih ilahi.”
  4. St. Margaret Maria (1647-1680), memperoleh kekuatan dari sakramen Mahakudus untuk dapat menghadapi semua orang yang memperlakukannya dengan cemooh, kebencian, penghinaan, tanpa mengeluh, dan ia mendoakan mereka semua yang melakukan semua itu kepadanya. Saat berdoa di depan sakramen Mahakudus, Kristus menyatakan kepada St. Margaret Maria, “Lihatlah Hati ini yang telah mengasihi umat manusia dengan sangat dan telah melimpahi mereka dengan segala kebaikan, dan untuk kasih yang tak terbatas ini tidak memperoleh balasan, selain pengabaian dan kebencian, dan ini sering dilakukan oleh mereka yang terikat oleh tugas dan kewajiban untuk memberikan kasih yang lebih istimewa.”
  5. St. Alfonsus Liguori (1696-1787): “Tariklah dirimu dari orang-orang dan habiskan waktu setidaknya seperempat jam atau setengah jam di gereja dalam hadirat Tuhan dalam sakramen Mahakudus. Kecap dan lihatlah, betapa manisnya Tuhan dan kamu akan belajar dari pengalamanmu sendiri, betapa banyak rahmat yang akan kamu peroleh darinya.”
  6. St. Yohanes Vianney (1786-1859): “Allah kita tersembunyi di dalam Tabernakel, menantikan agar kita datang dan mengunjungi-Nya dan memohon kepada-Nya… Di Surga, di mana kita akan mulia dan berjaya, kita akan melihat-Nya dalam segala kemuliaan-Nya. Jika Ia telah mempresentasikan Diri-Nya sendiri, di hadapan kita dengan kemuliaan-Nya itu sekarang, kita tidak akan berani mendekat kepada-Nya; tetapi Ia menyembunyikan diri-Nya seperti seorang dalam penjara, yang berkata kepada kita, “Kamu tidak melihat-Ku, tetapi tak mengapa, mintalah kepada-Ku semua yang kauinginkan dan Aku akan mengabulkannya.” St. Yohanes dari Vianney menghabiskan waktu yang panjang di hadapan Sakramen Mahakudus. Dalam homili- homili-Nya, Ia sering menghadap kepada Tabernakel dan berkata dengan penuh perasaan, “Ia ada di sana!”

Ajaran dari Magisterium Gereja

Konsili Trente

Di dalam Sakramen Mahakudus hadirlah Allah yang sama dengan Ia yang disembah oleh para Rasul di Galilea (Dekrit tentang Ekaristi Kudus, bab 5). Ia bukan hanya Allah yang untuk disembah, namun juga Allah yang kepada-Nya kita dapat memohon. Banyaknya pengalaman umat akan kehadiran Yesus ini menghantar kita kepada kesadaran akan betapa literalnya Yesus bersabda ketika Ia berjanji akan menyertai kita sampai akhir zaman.

Paus Leo XIII

Dalam pidatonya dalam kongres Ekaristi, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kongres Ekaristi diadakan untuk memperbaiki segala kejahatan yang dilakukan terhadap Sakramen Mahakudus dan untuk mendukung penyembahannya.” Paus mengakui bahwa Adorasi Ekaristi mendatangkan buah-buah adikodrati di manapun praktek ini diadakan dengan iman oleh umat sekalian.

St. Paus Pius X

St. Paus Pius X, mempunyai devosi kepada Kehadiran Yesus dalam sakramen Mahakudus. Ia adalah promotor bagi penerimaan Komuni Pertama pada anak-anak di usia yang dini, dan bagi penerimaan Komuni sesering mungkin (setiap hari). Pada masa kepemimpinan Paus Pius X itulah Kongres Ekaristi dilakukan di Roma. Kongres tersebut adalah yang ke-16 dan dibuka oleh Misa yang dipimpin oleh Paus. Paus Pius XII mengajarkan tentang pendahulunya itu, “Paus Pius X mengenali bahwa Sakramen Mahakudus itulah yang telah menjadi kekuatan untuk memelihara kehidupan Gereja secara mendasar, dan untuk mengangkatnya di atas segala kelompok manusia lainnya.” (Quest’ ore di fulgente, 29 May, 1954).

Paus Benediktus XV dan Pius XI

Paus Benediktus XV dan Pius XI mendorong diadakannya Adorasi Ekaristi dan doa silih dan permohonan kepada Allah kita di depan Sakramen Mahakudus. Benediktus XV yang mengeluarkan Kitab Hukum Kanonik 1917 mengatur tentang penyimpanan Sakramen Mahakudus “dalam setiap paroki… dan di gereja yang berhubungan dengan tempat tinggal kaum religius” (Kanon 1265, 1).Paus Pius XI menghubungkan penyembahan Kristus dalam Sakramen Mahakudus dengan doa silih terhadap dosa. Di tahun 1928, Paus menulis ensiklik tentang Pemulihan bagi Hati kudus Yesus, yang intinya adalah mendorong permohonan bagi belas kasih Allah, secara khusus melalui Sakramen Ekaristi. Paus mendorong umat beriman untuk membuat permohonan silih dan doa-doa yang disebut sebagai doa “Jam suci/ Holy Hour” (Miserentissimus Redemptor, 8 Mei, 1928). Jam suci ini adalah pesan yang diterima oleh St. Margareta Maria di hadapan Sakramen Mahakudus.

Paus Pius XII

Sebelum terpilih menjadi Paus, Kardinal Pacelli adalah utusan Paus dalam Kongres Ekaristi di Budapest, Hungaria. Itu adalah tahun 1938, setahun sebelum meledaklah Perang Dunia II. Setelah menjadi Paus, Paus Pius XII mengeluarkan 41 eksiklik, dan sejumlah di antaranya menunjukkan perkembangan ajaran dalam Gereja Katolik. Dalam ensikliknya, Mediator Dei, terdapat sembilan bagian yang menjabarkan tentang “Adorasi Ekaristi”, yang berkembang sebagai sesuatu yang berbeda dengan Kurban Misa.
  1. Adorasi Ekaristi
    Dasarnya adalah: Kristus dalam sakramen Mahakudus adalah Putera Allah dalam rupa manusia. Ekaristi adalah “sungguh dan secara substansial adalah Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Allahan Tuhan kita Yesus Kristus.” Gereja telah sejak dahulu menyembah Tubuh Kristus dalam rupa roti. St. Agustinus menyatakan: “Tak seorangpun menyantap Tubuh itu, tanpa terlebih dahulu menyembah-Nya… kita berdosa jika kita tidak menyembahnya” (Mediator Dei, 129-130).
  2. Perkembangan Dogmatik
    Penyembahan sakramen Mahakudus tidak sama dengan Kurban Misa. Tradisi menyimpan Ekaristi kudus bagi para penderita sakit dan mereka yang dalam bahaya menunjukkan tradisi penyembahan Sakramen Mahakudus. Sakramen  Sebab Ekaristi adalah Kurban dan Sakramen. Ekaristi tidak saja menghasilkan rahmat, namun mengandung secara tetap, Sang Pemberi rahmat itu sendiri. Maka ketika Gereja meminta kita menyembah Kristus yang tersembunyi dalam Ekaristi dan memohon kepadanya, maka Gereja menyatakan iman yang hidup akan Mempelai-nya yang hadir dalam selubung ini, dan Gereja menyatakan syukur kepada-Nya dan menikmati keeratan persahabatan dengan-Nya (Mediator Dei, 131).
  3. Perkembangan Devosi
    Gereja kini telah mempunyai berbagai bentuk penyembahan tersebut, contohnya: kunjungan ke hadapan Tabernakel setiap hari, Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus, prosesi Ekaristi, terutama di masa Kongres Ekaristi, devosi 40 jam, ataupun Adorasi abadi, dst (Mediator Dei, 132).

Paus St. Yohanes XXIII

Berbeda dengan pendahulunya, Paus ini tidak menulis panjang lebar tentang liturgi Ekaristi, namun menggunakan setiap kesempatan untuk mendorong umat, terutama para imam, untuk berdoa di hadapan sakramen Mahakudus. Dalam kehidupan sebagai imam, tidak ada yang dapat menggantikan saat berdoa dalam keheningan di depan altar. Penyembahan, syukur, doa silih bagi dosa-dosa, berbagai intensi doa, digabungkan semua untuk menumbuhkan kasih sang imam kepada Allah yang Mahatinggi yang kepada-Nya ia telah berkaul dan untuk semua umat yang tergantung kepada pelayanannya sebagai imam. Dengan melakukan kebiasaan adorasi ini, maka kehidupan rohani para imam akan terus bertumbuh dan diperkaya, memberi kekuatan bagi kegiatan-kegiatan misi. Namun meskipun Paus menganjurkan para imam untuk berdoa di depan altar, Paus tetap mengingatkan mereka bahwa “Doa Ekaristi dalam arti yang penuh adalah Kurban Misa Kudus” (Sacredotii Nostri Primordia, 11 Agustus 1959).
Pada malam sebelum diadakannya Konsili Vatikan II, Paus St. Yohanes XXIII berpartisipasi dalam prosesi Sakramen Mahakudus di Roma. Ia menyusun doa bagi Konsili demikian:
“O Yesus, lihatlah kepada kami dari Sakramen-Mu seperti seorang Gembala yang baik… O Yesus, Sang Gembala yang baik, inilah kawanan-Mu yang telah Engkau kumpulkan dari ujung-ujung bumi, kawanan yang mendengarkan Sabda kehidupan, dan bermaksud menjaganya, melaksanakannya, dan mewartakannya. Ini adalah kawanan yang mengikuti Engkau dengan taat, O Yesus, dan berharap dengan sangat untuk melihat, di dalam Konsili ekumenis ini, cerminan dari wajah-Mu di dalam sifat-sifat Gereja-Mu, sang ibu dari semua orang, sang ibu yang membuka lengannya dan hatinya untuk semua orang, dan di sini menantikan, dengan gemetar dan dengan penuh harap, kedatangan semua Uskup-uskupnya” (21 Juni, 1962).

Paus Paulus VI

Meskipun Paus Yohanes XXIII yang membuka Konsili Vatikan II dan masih hidup sampai sesi pertama Konsili di tahun 1962, namun yang mempromulgasikan ke-16 dokumen Konsili adalah penerusnya, yaitu Paus Paulus VI. Dokumen Konsili pertama yang dipromulgasikan adalah Konstitusi tentang Liturgi Suci (4 Des 1963) sekitar 2 tahun kemudian, Paus mengeluarkan ensiklik Mysterium Fidei (3 Sept 1965), yang merupakan tulisan yang memaparkan analisa pengajaran tentang Kehadiran Yesus yang nyata dalam Sakramen Ekaristi: kehadiran Yesus dalam rupa roti dalam Sakramen Mahakudus, dan penyampaian rahmat-Nya melalui kehadiran-Nya secara Ekaristis sekarang di dunia.
  1. Kehadiran-Nya secara nyata dalam Ekaristi.
    Cara yang membuat Kristus hadir di dalam Sakramen ini tidak lain adalah dengan perubahan seluruh substansi dari roti menjadi Tubuh-Nya dan semua substansi anggur menjadi Darah-Nya, dan bahwa perubahan yang unik dan mengagumkan ini yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi . Akibatnya, rupa roti dan anggur memperoleh arti baru dan tujuan akhir yang baru, sebab mereka tidak lagi menjadi roti dan anggur biasa, tetapi menjadi tanda sesuatu yang sakral, tanda makanan rohani…. Tidak ada lagi, apa yang dikandung oleh rupa tersebut sebelumnya, sekarang menjadi sepenuhnya berbeda. Mengapa? Tidak saja karena iman Gereja, tetapi dalam kenyataan obyektif. Setelah perubahan substansi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, tidak ada yang tertinggal pada roti dan anggur itu kecuali rupa yang terlihat, yang di dalamnya Kristus, secara keseluruhan, dalam kenyataan fisik, hadir secara jasmani (Mysterium Fidei, V)
  2. Penyampaian Rahmat Allah. Jika Kehadiran Yesus dikenali, maka logis jika kita menyembah Sang Penyelamat kita dalam Sakramen Mahakudus.
    Paus mengutip ajaran dari St. Silirus dari Aleksandria, yang mempertahankan kehadiran fisik kemanusiaan Kristus dalam Inkarnasi, seperti halnya juga dalam Ekaristi. St. Sirilus menolak pandangan bahwa jika Ekaristi dibiarkan sampai hari berikutnya, maka tidak lagi menyampaikan rahmat pengudusan. St. Sirilus mengajarkan, “Kristus tidaklah berubah, ataupun Tubuh-Nya yang kudus berubah, tetapi kekuatan dan rahmat yang menghidupkan kembali tetap ada padanya.” (MF VI).
    Begitu roti dan anggur telah dikonsekrasikan dan transubstansiasi telah terjadi, Kristus tetap ada sepanjang rupa Ekaristi tetap ada. Karena itu, sebab Kristus hadir, kemanusiaan-Nya tetap menjadi sumber rahmat yang menghidupkan. Dalam pernyataan kedua bahwa Ekaristi adalah saluran rahmat, Paus Paulus menyebutkan Ekaristi sebagai Kurban dan Komuni, dan Ekaristi sebagai Kehadiran Tuhan. Tidak hanya pada saat Kurban dipersembahkan dan sakramen diterima, tetapi sepanjang Ekaristi disimpan di gereja-gereja/ kapel kita, Kristus adalah sungguh Emmanuel, yaitu “Allah bersama kita”. Siang dan malam Ia ada di tengah kita. Ia tinggal bersama kita, penuh rahmat dan kebenaran… (MF VI)
  3. Tak diragukan lagi, Sang Penyelamat kita yang hidup hadir dalam Sakramen Mahakudus. Namun harus ada iman dari sisi kita. Siapapun yang datang kepada sakramen ini dengan devosi yang istimewa dan berusaha untuk membalas kasih Kristus yang tak terbatas ini, akan mengalami dan memahami secara penuh… betapa berharganya hidup tersembunyi dengan Kristus di dalam Tuhan, dan betapa besar nilainya percakapan dengan Kristus. Sebab tak ada yang lebih menghibur di dunia ini, tak ada yang lebih berdayaguna bagi kemajuan di jalan kekudusan (MF VI).

Paus Yohanes Paulus II

Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai Paus yang paling mengajarkan tentang Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi. “Ekaristi, di Misa dan di luar Misa, adalah Tubuh dan Darah Yesus Kristus, dan karena itu, layak menerima penyembahan yang diberikan kepada Allah yang hidup…” (29 September 1979)
Ekaristi adalah sekaligus sebuah Sakramen Kurban, Sakramen Komuni dan Sakramen Kehadiran (Redemptoris Hominis, IV, 20)
Adalah “Sang Penebus manusia” yang oleh sengsara dan wafat-Nya memperoleh rahmat bagi penyelamatan kita. Tetapi adalah melalui Ekaristi, Kristus yang sama itu sekarang menyalurkan rahmat-Nya ini kepada umat manusia yang berdosa. Gereja hidup dari Ekaristi, oleh kepenuhan Sakramen ini. Melalui Gerejalah rahmat Tuhan yang tak kelihatan dan pengudusan disampaikan kepada jiwa manusia.
Dengan kurban ini, Allah memberikan rahmat-Nya dan kurnia pertobatan, dan Ia mengampuni dosa-dosa. Berkat penebusan Kristus yang diberikan-Nya kepada kita melalui kematian-Nya yang berdarah di Kalvari, kini “kita terima secara berlimpah melalui kurban-Nya yang tidak berdarah” (17 September 1562).
Adalah kehendak Kristus bahwa “Sakramen ini diterima sebagai santapan rohani, untuk mempertahankan dan membangun mereka yang hidup dengan hidup-Nya. Itu juga menjadi “obat untuk membebaskan kita dari kelemahan-kelemahan dan untuk menghindari kita dari dosa berat” (11 Oktober, 1551).
Kehadiran Kristus yang nyata adalah Sakramen dengan cara yang sama seperti kemanusiaan Kristus adalah saluran rahmat bagi mereka yang percaya bahwa Putera Allah menjadi manusia untuk keselamatan kita.

Paus Benediktus XVI

Dalam Ekshortasi Apostoliknya, Sacramentum Caritatis, Paus mengajarkan:
“Dalam Ekaristi, Putera Allah datang untuk menjumpai kita dan menghendaki untuk menjadi satu dengan kita. Adorasi Ekaristi adalah konsekuensi yang kodrati dari perayaan Ekaristi, yang adalah ibadah Adorasi tertinggi bagi Gereja. Menerima Ekaristi artinya menyembah Dia yang kita terima. Hanya dengan cara ini kita menjadi satu dengan Dia, dan kita diberikan, seolah-olah, kesempatan mencicipi keindahan liturgi surgawi. Ibadah Adorasi di luar Misa memperpanjang dan memperdalam semua yang terjadi di sepanjang perayaan liturgi itu sendiri. Sungguh, hanya dalam penyembahanlah, penerimaan yang mendalam dan tulus akan bertumbuh dewasa. Perjumpaan pribadi dengan Tuhanlah yang memperkuat misi sosial yang terkandung dalam Ekaristi, yang meruntuhkan tidak saja dinding-dinding yang memisahkan Allah dengan diri kita, tetapi juga dan secara khusus, dinding-dinding yang memisahkan kita satu sama lain.” (SC, 66)
“Dengan sidang Sinoda, maka saya dengan sungguh merekomendasikan para imam dan para umat untuk melaksanakan Adorasi Ekaristi, baik secara perorangan maupun dalam komunitas. Keuntungan yang besar akan diperoleh dari katekesis yang memadai kepada umat beriman akan pentingnya ibadah penyembahan ini, yang memampukan umat beriman untuk mengalami perayaan liturgi dengan lebih penuh dan menghasilkan buah…. Saya juga menganjurkan, dalam pengajaran katekese, dan secara khusus dalam persiapan penerimaan Komuni Pertama, anak-anak diajarkan arti dan indahnya menghabiskan waktu dengan Yesus dan membantu menanamkan rasa kagum di hadapan kehadiran-Nya dalam Ekaristi…” (SC 67)

Penutup: Rahmat melalui kemanusiaan Kristus

Tema di balik ajaran Gereja tentang Ekaristi adalah kehadiran Kristus yang menghibur/ menopang di dalam Sakramen Mahakudus. Kehadirannya yang nyata dalam arti yang sepenuhnya, kehadiran-Nya yang substansial di mana hadirlah Kristus seluruhnya, [sebagai] Allah dan manusia (Paus St. Yohanes Paulus II, 29 Sept 1979).
Jika ini dihayati, maka tak sulit untuk melihat mengapa doa-doa di hadapan sakramen Mahakudus menjadi sangat berdayaguna. Sebab sakramen ini tidak hanya menyampaikan rahmat, namun mengandung Sang Sumber rahmat itu sendiri, yaitu Yesus Kristus. Yesus yang dahulu melakukan banyak mukjizat, menyembuhkan banyak orang sakit, mengajar dengan penuh kuasa, menubuatkan sengsara dan wafat-Nya… Yesus Sang Putera Allah yang Tunggal yang menjadi manusia, tak hanya pernah hidup di dunia, namun dalam Ekaristi, sekarang tetap hidup di antara kita.
Namun untuk menimba kebijaksanaan dan kekuatan yang tak terbatas dari Ekaristi, kita harus percaya terlebih dahulu. Dalam Ekaristi, hadirlah Kristus, Sang Penyelamat yang sama yang telah mengambil rupa manusia untuk wafat bagi kita di Kalvari, yang telah bangkit dan yang sekarang menyampaikan melalui kemanusiaan-Nya yang kini telah dimuliakan, berkat-berkat keselamatan.
Betapa kita sebagai umat Katolik perlu memohon kepada Tuhan Yesus, agar membantu kita supaya hari demi hari kita dapat semakin menghayati kehadiran-Nya yang nyata dalam Ekaristi. Betapa kita  sepantasnya terus mensyukuri kehadiran Kristus dalam Ekaristi, yang selalu menyertai Gereja-Nya. Saat kita mengumandangkan lagu Panis Angelicus, biarlah hati kita juga terangkat untuk mengakui bahwa Kristus sungguh adalah Sang Roti dari Surga, yang senantiasa dicurahkan untuk menjadi santapan bagi kita yang masih berziarah di dunia ini, dan yang memandang kepada-Nya dalam kerendahan kita, agar Ia menuntun kita sampai kepada terang Ilahi-Nya di Surga. Semoga Kristus membantu kita mengenali Dia yang tersembunyi dalam rupa Hosti kudus, dan tidak membiarkan kita mengeraskan hati seperti orang Farisi, yang karena kedegilan hati, menolak untuk percaya akan Sang Putera Allah yang pernah hadir di hadapan mereka sendiri dalam rupa manusia.
Tuhan Yesus, celikkanlah mata hatiku, agar dapat mengenali kehadiran-Mu yang terselubung, saat aku memandang Ekaristi kudus. Semoga Engkau mengizinkan aku memandang Engkau kembali, saat tiada lagi selubung yang menyembunyikan kemuliaan-Mu, dalam Kerajaan-Mu.

Ingrid Listiati
Ingrid Listiati telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !