Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengakui bahwa di hampir semua
keuskupan di Indonesia telah ada Pembaruan Karismatik Katolik (PKK).
Maka sudah menjadi tugas para Uskup untuk membimbing dan mengarahkan PKK
demi kesatuan, persaudaraan dan kesepahaman seluruh umat. Hal inilah
yang melatarbelakangi dikeluarkannya dokumen KWI tentang PKK,
sebagaimana yang akan kami bahas di sini, yaitu: 1) Surat Gembala
mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993; 2) Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995. Beberapa butir arahan dari KWI yang dapat kami sarikan, adalah agar PKK:
1. Bertumbuh dalam kesatuan dengan seluruh Gereja Katolik
Penekanan tentang kesatuan jelas sekali disampaikan oleh kedua
dokumen yang dikeluarkan KWI tersebut tentang PKK. Dasarnya tentu adalah
ajaran iman kita, bahwa Roh Kudus adalah Roh pemersatu yang telah dan
senantiasa menyertai Gereja Katolik sepanjang sejarah. Adanya
kebhinekaan harus dijadikan kesempatan untuk saling menghargai dan
saling memahami sebagai saudara-saudara dalam satu keluarga besar, yang
mempunyai satu Bapa, satu Tuhan, satu Roh ((lih. Surat Gembala mengenai
PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 4, lih. juga Ef 4:3-6)).
a. PKK ada dalam kesatuan dengan sejarah pembaruan dalam Gereja Katolik
Perlu untuk disadari bahwa pembaruan di dalam Gereja bukan hanya baru
pernah terjadi di zaman sekarang ini oleh gerakan Karismatik. Sejak
zaman para Rasul, kita melihat bagaimana Gereja tidak membeku dalam
kebiasaan lama (lih. Kis 15) atas gerakan Roh Kudus yang melaksanakan
pembaruan oleh kasih karunia Allah. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 8)) Pembaruan juga terjadi di abad ke-3 oleh St. Antonius dari
Mesir yang kemudian dianggap sebagai Bapa pelindung kehidupan monastik/
biarawan; dan di abad ke-5/6 oleh St. Benediktus yang mendirikan banyak
biara yang membangun peradaban di Eropa, yang dengan demikian membawa
pengaruh memajukan Gereja dan dunia. Semangat Benediktin ini dilanjutkan
oleh St. Bernardus di abad ke-11/12 sehingga ajaran iman Kristiani
semakin tertanam di dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Di Abad
Pertengahan kita mengenal banyak tokoh orang kudus yang membangun Gereja
dengan pembaruan yang mereka ajarkan, seperti St. Dominikus, St.
Fransiskus dan St. Klara dari Asisi, dan St. Thomas Aquinas. Demikian
pula, setelah Martin Luther memisahkan diri dari Gereja Katolik di abad
ke-16, Gereja Katolik mengenal beberapa orang kudus yang justru
membangun jemaat dari dalam, seperti St. Ignatius dari Loyola, St.
Theresia dari Avila, St. Yohanes dari Salib, yang diikuti oleh para
pendiri tarekat di abad ke 19. Semua ini menunjukkan karya Roh Kudus
yang selalu memperbarui Gereja. Di abad ke-20 ini pembaruan banyak
melibatkan kaum awam yang melakukan gerakan untuk membangun
spiritualitas awam, untuk pembaruan iman. PKK yang lahir dan tumbuh
dalam arus pembaruan ini, tak terlepas dari pembaruan yang terus terjadi
di dalam sejarah Gereja. Pembaruan ini bertujuan untuk menjadikan iman
sebagai sesuatu yang relevan dalam hidup, dan bahwa iman itu dapat
menyentuh lubuk hati manusia.
b. PKK adalah salah satu gerakan gerejawi dalam Gereja Katolik
Sejalan dengan pengakuan dari Tahta Suci akan keberadaan gerakan
Karismatik Katolik, maka para Uskup di Indonesia juga mengakui bahwa PKK
adalah “salah satu dari sekian banyak upaya dan bentuk dalam Gereja”
((Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 18)) yang mewujudkan tersentuhnya hati manusia oleh kekuatan Roh
Kudus. Sebagaimana gerakan lainnya dalam Gereja, PKK juga menerima
tuntutan untuk memadukan diri dalam kebersamaan seluruh Umat Allah.
((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 19)) Sebab karunia Roh Kudus sifatnya mempersatukan dan bukan
malah memisahkan PKK dengan Gereja, ataupun menjadikannya sebagai
kelompok yang tertutup bagi kalangannya sendiri.
Dengan demikian, diperlukan komunikasi dan kerjasama antara PKK
dengan badan-badan pembaruan yang lain, seperti Kelompok Pembaruan Hidup
Kristiani, Legio Mariae, Marriage Encounter, Couples for Christ,
dsb. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 48)) Kerjasama ini dapat dipakai sebagai kesempatan untuk saling
belajar, dan saling memperkaya satu sama lain.
c. PKK perlu untuk terlibat dalam pembangunan jemaat yang lebih luas
KWI mengajak agar para aktivis PKK juga turut terlibat dalam
pembangunan jemaat yang lebih luas. ((Lih. Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh,
1993, 24)). Artinya diperlukan kesediaan anggota PKK ini untuk juga
terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan, wilayah dan paroki.
Dengan demikian kelompok PKK tidak hanya menjadi kelompok yang tertutup
dan eksklusif, namun kelompok yang berbaur dengan komunitas lainnya di
paroki. Maka walaupun ada dari sejumlah persekutuan doa (PDKK) yang
mempunyai kelompok basis yaitu terdiri dari kelompok-kelompok kecil
anggotanya- namun dihimbau agar jangan sampai hal ini memisahkan mereka
dari kegiatan umat basis di paroki, ataupun kelompok gerejawi lainnya.
BPN (Badan Pelayanan Nasional) melalui Badan Pelayanan Regional
maupun Keuskupan, “perlu mengarahkan semua persekutuan doa untuk
memadukan kegiatan mereka dengan arah Gereja yang lebih luas…. ” ((Surat
Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 27)).
Dengan demikian PKK tidah menjadi gerakan yang berdiri sendiri dalam
Gereja Katolik, namun menjadi gerakan yang tumbuh, berkembang, dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Gereja Katolik.
d. Para pemimpin PKK agar memelihara ketaatan kepada Pimpinan Gereja
Selanjutnya, KWI mengingatkaan agar PKK “memelihara persatuan lahir
batin dalam kesetiaan dewasa dengan Pimpinan Gereja setempat” ((Surat
Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 24)),
yaitu pastor paroki, bapa Uskup dalam kesatuan dengan Bapa Paus. Adalah
suatu rahmat Allah yang patut disyukuri bahwa Gereja Katolik mempunyai
para pemimpin yang terhubung dengan para Rasul melalui tahbisan suci.
Roh Kudus yang sama telah membimbing mereka, bahkan secara terus menerus
sampai 2000 tahun. Oleh karena itu, sudah sepantasnya, bahwa pembaruan
yang otentik dari PKK juga menjaga kesatuan dengan para pemimpin Gereja
yang sama-sama dibimbing oleh Roh Kudus yang satu dan sama itu.
Di saat yang sama, KWI juga mengingatkan para imam untuk memberikan
bimbingan pastoral kepada seluruh umat, termasuk PKK, walaupun ia
sendiri tidak merasa terpanggil untuk bergabung dengan PKK. KWI
mengingatkan imam “agar menjauhi sikap menolak mentah-mentah atau
memusuhi PKK.” ((Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh,
1993, 27)). Oknum atau kelompok yang ‘sulit’ sekalipun tidak dapat
menjadi dalih untuk diabaikan, sebab para imam dipanggil untuk menjadi
gembala yang menyelamatkan semua umat. ((Ibid.))
2. Menghadirkan kasih Allah di dunia
Di tengah dunia kita yang kini makin sekular, konsumtif,
materialistik, PKK dalam kesatuan dengan Gereja dipanggil untuk
menghadirkan kasih Allah. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 11, 12)). Kasih Allah ini perlu diwujud-nyatakan misalnya dengan
kepedulian dan perhatian dengan sesama yang sedang berduka, yang sakit,
yang kehilangan tempat tinggal, dan dalam mengusahakan kesatuan kasih di
antara sesama anggota Kristus. Maka persekutuan doa karismatik
selayaknya menjadi keluarga umat beriman yang penuh kasih satu sama
lain, saling pengertian dan saling menguatkan. Persekutuan kasih ini
hendaknya dibawa juga ke lingkungan paroki, dan bahkan ke masyarakat
sekitar, sebagai tanda akan hadirnya Roh Allah yang memperbarui hidup.
Maka pelayanan doa syafaat, memberikan konsultasi, kunjungan kepada
yang sakit ataupun bakti sosial dst, semuanya ini menjadi kesatuan yang
tak terpisahkan dari pembaruan diri oleh Roh Kudus. Sebab Roh Kudus
adalah Roh kasih Allah, sehingga pembaruan oleh Roh Kudus selayaknya
menghasilkan kasih yang mempersatukan sebagai buahnya. Oleh karena itu,
kesatuan kasih dalam keluarga, antara sesama anggota dalam komunitas,
antara sesama komunitas gerejawi dalam paroki, maupun dengan masyarakat
yang lebih luas menjadi salah tujuan utama kegiatan PKK.
Selanjutnya KWI memberikan petunjuk untuk memeriksa, sejauh mana kita
didorong oleh Roh Kudus yang sejati, yaitu “bagaimana kita bersikap
kepada kepentingan umat dan masyarakat yang lebih luas.” ((Lih. Pedoman
PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 56))
Singkatnya, sejauh mana kita sudah berbuat kasih. Atau dengan kata lain,
sejauh mana kita telah mencerminkan buah-buah Roh Kudus (Gal 5:22-23)
dalam kehidupan keseharian kita. ((Lih. Ibid., 32, dan Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 27.))
3. Pembaharuan diri sebagai murid Kristus dalam kerendahan hati
Pengalaman kasih Allah yang telah dialami oleh setiap anggota PKK,
merupakan pengalaman yang mengubah dan memperbarui hidup sampai ke inti
diri. ((Lih. Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh,
1993, 9)) Pembaruan diri adalah penting, namun perlu disadari bahwa
pembaruan ini merupakan suatu proses yang panjang dan karenanya perlu
dijalani dengan semangat kerendahan hati. KWI mengingatkan, bahwa
“karunia fisik ataupun kejiwaan apapun tidak berarti jika tidak
dirangkum dalam kerendahan hati dan kasih Kristus, serta berguna bagi
umat.” ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 32))
a. PKK bukan satu-satunya cara pembaruan Gereja
Kerendahan hati ini ditunjukkan dengan kesediaan untuk menerima bahwa
PKK bukan satu-satunya cara pembaruan Gereja, ((lih. Surat Gembala
mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 7)) dan dengan
demikian menganggap bahwa orang yang belum mengikuti PKK adalah orang
yang belum dipenuhi dengan Roh Kudus. Pemahaman ini keliru, sebab setiap
orang yang sudah menerima sakramen Baptis, ia telah menerima Roh Kudus
((lih. KGK 1215, 1266, 1279)) dan menerima ketujuh karunia Roh Kudus
(lih. Yes 11:2-3). Bahwa oleh pencurahan Roh Kudus dalam PKK maka rahmat
Baptisan itu disegarkan kembali, itu benar, tetapi tidak mengubah
kenyataan bahwa semua orang yang telah dibaptis telah menerima Roh
Kudus. Melalui Baptisan itulah mereka memasuki pintu gerbang kehidupan
kekal, karena kehidupan ilahi yang dikaruniakan oleh Roh Kudus yang
adalah Roh Allah sendiri.
Secara lebih spesifik, KWI mengingatkan agar jangan PKK berpendapat
seakan-akan PKK saja-lah yang terbaik bagi umat Katolik. Atau kemudian
menganggap bahwa cara berdoa dalam Roh sebagai cara berdoa yang terbaik.
Terhadap kecenderungan ini KWI mengatakan, “Marilah kita setia kepada
Roh….. sehingga Roh sajalah satu-satunya yang mutlak, bukannya cara
berdoa kita. Janganlah kita berpendapat, seakan-akan cara pembaruan kita
sajalah yang menyelamatkan umat. Tidak seyogyanya kita memiliki
kesombongan rohani…. seperti umat Korintus yang ditegur Paulus.” (lih. 1
Kor 3:4). ((Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 33))
b. PKK agar memiliki kerendahan hati untuk menafsirkan Kitab Suci dalam terang ajaran Gereja Katolik
Salah satu buah dari pencurahan Roh Kudus adalah kerinduan untuk
membaca dan merenungkan Kitab Suci. Maka kecintaan terhadap Sabda Tuhan
dalam Kitab Suci memang merupakan salah satu ciri-ciri PKK. Namun perlu
disadari bahwa untuk menginterpretasikan Kitab Suci secara benar,
diperlukan bimbingan Gereja, sebab kepada Gereja-lah, Allah memberikan
Sabda-Nya. KWI mengingatkan agar kita tidak “mencupliki ayat-ayat yang
sesuai dengan kebutuhan kita tanpa memperhitungkan konteks yang lebih
luas” ((lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 35)) dan karena itu mengartikannya hanya semata sesuai dengan
keinginan kita, tanpa mempelajari makna yang lebih dalam yang terkandung
di dalamnya, dalam hubungannya dengan keseluruhan isi Kitab Suci. Oleh
karena itu kesediaan untuk mempelajari ajaran Gereja menjadi sangat
penting.
c. PKK tidak berarti menjamin seseorang pasti sudah di puncak kekudusan
Pencurahan Roh Kudus yang dialami dalam Seminar Hidup dalam Roh
Kudus, hendaknya tidak dianggap sebagai segala-galanya, yang sudah
menghantar kepada puncak kekudusan. ((Lih. Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh,
1993, 15)). Sebab kekudusan merupakan proses yang harus terus
diusahakan. Para anggota PKK tetap harus bertumbuh dalam pengenalan akan
Allah dan dalam menghadirkan Kristus Sang Pengudus dalam hidup dan
perbuatan sehari-hari. Caranya adalah: dengan terus mengusahakan saat
teduh setiap hari, dengan mengambil bagian dalam sakramen-sakramen
Gereja, bertumbuh dalam komunitas dan pelayanan kepada sesama yang
menderita ataupun yang membutuhkan bantuan. KWI mengingatkan kita bahwa
jalan kekudusan itu merupakan jalan yang panjang, ((Ibid., 15))
yang senantiasa harus diusahakan. Sebab kekudusan itu berhubungan
dengan kesediaan kita untuk menghadirkan Kristus di dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan
proses yang melibatkan jatuh bangunnya kita sebagai murid Kristus, dan
kesediaan untuk “terus menerus mengarahkan diri kepada Tuhan dengan
sikap pertobatan tanpa henti”. ((Lih. Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 37,38.))
4. Mengikuti teladan Bunda Maria
Teladan pemuridan ini secara sempurna kita temui di dalam diri Bunda
Maria. Diperlukan kerendahan hati dari kita semua untuk mengakui bahwa
betapapun intens pengalaman rohani kita oleh pencurahan Roh Kudus,
tidaklah akan dapat dibandingkan dengan kesatuan Bunda Maria dengan Roh
Kudus. Bunda Maria telah dinaungi oleh Roh Kudus, sehingga Kristus,
Putera Allah dapat menjelma menjadi manusia di dalam rahimnya. Jika
pengalaman pencurahan Roh Kudus yang mungkin dialami dalam sekian menit
dalam SHDR dapat dianggap sebagai pengalaman rohani yang menakjubkan,
bagaimana mungkin itu dapat dibandingkan apalagi disejajarkan dengan
pengalaman Bunda Maria, yang mengandung Sang Putera Allah di dalam
rahimnya selama 9 bulan, dan hidup bersama dengan Kristus di bawah satu
atap selama 30 tahun? Bahkan sejak di kandungan ibunya, St. Anna, Bunda
Maria sudah dikuduskan Allah dan tidak bernoda dosa, dan dengan demikian
menunjukkan kesatuannya dengan Roh Kudus. Bunda Maria yang dalam
keadaan erat bersatu dengan Tuhan-pun tetap menyebut dirinya sebagai
“hamba Tuhan” (Luk 1:38), memberikan teladan kerendahan hati, bahwa
seberapapun dekatnya kita dengan Kristus Tuhan kita; Ia tetaplah Tuhan
kita, dan kita ini adalah ciptaan-Nya.
Itulah sebabnya tak berlebihan jika KWI mengingatkan kepada kita
bahwa “Bunda Maria adalah manusia pertama yang secara mendasar adalah
‘orang yang berkarisma’ (lih. Luk 1:28). ((Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh,
1993, 6)) Dengan demikian, tepatlah jika PKK “menemukan teladan dan
pembimbing surgawinya dalam diri Santa Perawan Maria.” ((Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 24)). Jika PKK ingin semakin erat bersatu dengan Roh Kudus, maka
tak ada teladan yang lebih tepat untuk dicontoh daripada Bunda Maria.
5. Jangan mengejar karunia- karunia
Roh Kudus memberikan karunia pada tiap-tiap orang demi kepentingan bersama, ((lih. 1 Kor 12:7; lih. Konsili Vatikan II, Lumen Gentium
12)) artinya untuk membangun jemaat (lih. 1 Kor 12:8-10).
Karunia-karunia yang disebutkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya itu
adalah karunia-karunia karismatis. Karena karunia itu sifatnya adalah
pemberian yang cuma-cuma, maka tidak dapat dikejar ataupun direbut.
((Lih. Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh,
1993, 16)) Karunia bahasa lidah, yang umum dicurahkan dalam SHDR
merupakan suatu cara berdoa dengan bahasa cinta ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 29)), entah itu doa pujian atau permohonan. Betapapun indahnya
cara berdoa ini, namun tidak untuk dimutlakkan bagi semua umat. Sebab
yang mutlak adalah Roh Kudusnya, dan bukan cara berdoanya. ((Lih. Surat
Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 33)) Selanjutnya KWI menghimbau agar penggunaan ‘bahasa Roh’ ini dilakukan secara bijaksana. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 29))
Karunia selanjutnya adalah karunia nubuat, “yang biasanya merupakan
hiburan untuk meneguhkan atau mendorong orang lebih berbakti dalam
jemaat” ((Lih. Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993, 16)). Karunia nubuat memerlukan tafsir dari orang yang mempunyai karunia discernment,
yaitu dapat memilah-milah jenis pengaruh Roh dan akibat-akibatnya. Di
sini penting peran pemimpin doa yang bijak agar dapat menyampaikan
kepada umat yang bersekutu dalam doa tersebut, entah itu penghiburan,
peneguhan, ataupun dorongan ke arah yang baik. Nubuat yang sejati
mengungkapkan kehendak Allah “pada saat dan tempat tertentu dan perlu
selalu diuji oleh umat, melalui orang yang bertanggung jawab. Pada
kasus- kasus tertentu karunia ini malah perlu diuji oleh Uskup.”
((Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995,
28)).
Karunia penyembuhan yang sering menonjol dalam PKK harus diarahkan
tidak semata-mata kepada penyembuhan jasmani dan rohani, tetapi kepada
penyadaran akan karya Roh Kudus dan kehadiran Kerajaan Allah. ((Pedoman
PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 30))
Selanjutnya perlu disadari bahwa dalam Gereja Katolik penyembuhan yang
otentik adalah penyembuhan yang menyeluruh bagi hubungan manusia dengan
Tuhan, dan ini terungkap dengan lengkap dalam sakramen-sakramen,
terutama sakramen Tobat dan sakramen Pengurapan Orang Sakit. Maka PKK
diundang untuk turut menghidupkan kembali perayaan-perayaan kedua
sakramen tersebut. Sedangkan sakramen Ekaristi, yang adalah perayaan
kurban Kristus di salib demi penebusan kita dan persatuan kita dengan
Dia dan dengan sesama, adalah perayaan penyembuhan yang paling utama.
Jika dihayati dengan sungguh maka perayaan ini dapat membawa ketenangan
hati, kesembuhan rohani dan pemulihan hubungan dengan sesama, ((Ibid.))
sebab kita diarahkan untuk menyadari bahwa Allah memilih jalan Salib
untuk menyembuhkan dan memulihkan hubungan antara Allah dan manusia.
Maka kitapun diajak untuk dengan tabah memikul penderitaan yang Tuhan
izinkan terjadi dalam kehidupan kita, dan menyatukannya dengan
penderitaan Kristus, demi keselamatan diri kita sendiri maupun sesama.
Dengan cara inilah kita mengambil bagian dalam Salib Kristus, agar dapat
mengambil bagian pula dalam Kebangkitan-Nya. Maka Gereja Katolik tidak
menekankan hanya kebangkitan dan kemenangan tanpa Salib, sebab Kristus
sendiri menunjukkan bahwa Ia memilih Salib untuk sampai kepada
kemuliaan-Nya (lih. Ibr 2:10).
KWI mengingatkan kita juga agar tidak terpaku kepada karunia-karunia
karismatik yang mencolok, seperti karunia berbahasa Roh dan bernubuat;
tetapi kepada buah-buah Roh yang nampak sederhana tetapi penting, yaitu
pengendalian diri, kesetiaan, yang nyata dalam disiplin dan ketekunan,
dan kebijaksanaan. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 32)). Tuhan berbicara kepada umat-Nya melalui banyak cara dan
membagi-bagikan karunia-Nya seturut kehendak-Nya. Dengan demikian, kita
terhindar dari sikap mendesak-desak Tuhan untuk melakukan mukjizat
ataupun membagikan karunia-Nya dengan cara yang kita inginkan. ((Ibid.))
Kita perlu menyadari bahwa Allah-lah Sang pemberi karunia, dan karunia
karismatik Roh Kudus itu diberikan untuk membangun jemaat (1 Kor 14:12).
Maka karunia itu bukan keistimewaan dan teknik tertentu untuk berdoa
ataupun melayani umat, namun merupakan cara mewujudkan iman Kristiani.
Sebab segala karunia tidaklah berarti jika tidak dibarengi oleh iman,
pengharapan dan kasih (lih. 1 Kor 13:4-7).
6. PKK agar setia bertumbuh dalam ajaran iman Katolik
Ada pepatah: “Rumput tetangga nampak lebih hijau daripada rumput
dalam halaman rumah sendiri”. Agaknya kita perlu merenungkan juga betapa
pepatah ini menjadi relevan bagi umat Katolik yang kerap kurang
menghargai warisan iman Gerejanya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi
di kalangan PKK.
PKK dapat membuka kesempatan bagi banyak umat Katolik untuk berjumpa
dengan umat Kristen non-Katolik. Pertemuan ini dapat membuka kepada
dialog yang membangun iman atas dasar saling menghormati. Namun
demikian, hal persekutuan ekumenis ini juga perlu diwaspadai, sebab jika
tidak diimbangi dengan pemahaman ajaran iman Katolik yang baik, maka
dapat terjadi, pihak Katolik itulah yang menjadi terpengaruh, meragukan
ajaran imannya, dan bahkan mulai meninggalkan kehidupan sakramental
Katoliknya. Ini berlawanan dengan arahan KWI tentang ekumene, yang
mengatakan demikian:
“…. ekumene tidak dapat disamaratakan
dengan asal berdoa bersama dan menerima apa-apa saja yang dilakukan oleh
umat atau gereja lain. Ekumene yang baik memiliki tolok ukur sebagai
berikut: pesertanya saling menghargai, memiliki sikap tahu diri yang
sehat, serta mengenal tradisi maupun ajaran gerejanya masing-masing.
Ekumene dan Pembaruan Karismatik dapat didukung kalau sekaligus
mendorong meningkatkan pengetahuan dan pengamalan kebiasaan, maupun
prinsip ajaran serta hidup sakramental Katolik.” ((Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 50))
Oleh karena itu KWI menghimbau agar Badan-badan Pelayanan perlu
menjaga dan melindungi anggota PKK, terutama mereka yang baru menjadi
Katolik, agar tidak mengikuti persekutuan doa ekumenik ((lih. Pedoman
PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 39)), agar terhindar dari kebingungan ataupun keraguan akan iman Katolik.
Maka berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat diterapkan agar PKK dapat menjadi ‘semakin Katolik’:
a. Bersikaplah bijak terhadap ajaran-ajaran non-Katolik.
Kita kerap mendengar bahwa kerabat ataupun sahabat-sahabat kita -yang
karena pengaruh persekutuan doa ekumenis- malah meninggalkan
penghormatan kepada Bunda Maria dan para orang kudus, dan kurang
menghargai sakramen-sakramen Gereja; karena mereka menganggap bahwa
semua itu adalah aturan manusia, merupakan ajaran tambahan dari Gereja
dan tidak sesuai dengan Kitab Suci. KWI menyadari adanya fenomena ini,
bahwa keterlibatan anggota PKK dalam persekutuan ekumenis berpotensi
membawa pemisahan, terutama jika memutlakkan Kitab Suci sebagai
satu-satunya sumber ajaran iman. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 29)) Karena perbedaan yang mendasar ini, maka KWI pun
mengingatkan agar jangan meminta seorang yang non-Katolik untuk mengajar
dalam persekutuan doa umat Katolik ((Lih. Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh,
1993, 30)), karena mau tidak mau, hal ini akan mewarnai pengajarannya
yang dapat mempengaruhi penghayatan umat Katolik yang mendengarkannya.
Konsekuensi logisnya adalah, bahwa para pengajar Katolik dalam PKK juga
selayaknya tidak menimba pengetahuan di luar Gereja Katolik, karena
berpotensi memasukkan juga ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran
iman Katolik. Maka kesetiaan untuk bertumbuh dalam iman Katolik ini
ditunjukkan salah satunya dengan tidak mengadopsi ajaran ataupun tradisi
non-Katolik untuk diterapkan di dalam PKK.
Sebaliknya, PKK, terutama para pemimpin dan pewartanya, memiliki
tugas untuk semakin ‘mengisi pundi-pundi rohaninya’ dengan pemahaman dan
penghayatan akan ajaran iman Katolik. Sebab dalam Gereja Katolik yang
telah berdiri selama 2000 tahun, telah tersimpan banyak harta rohani
yang dipercayakan kepadanya oleh tuntunan Roh Kudus. Maka sesungguhnya
para anggota PKK tidak perlu mencari jauh-jauh untuk menimba pengetahuan
ajaran iman di persekutuan-persekutuan doa non- Katolik, karena hal ini
sedikit banyak akan berpotensi mengaburkan penghayatan imannya sendiri
sebagai seorang Katolik. Kita semua, terutama para pewarta Katolik,
perlu mempelajari dan menghayati ajaran Gereja Katolik, agar apa yang
diwartakannya tidak berseberangan dengan ajaran Katolik itu sendiri.
Beberapa topik krusial yang perlu diwaspadai, contohnya adalah sumber
ajaran iman hanya Kitab Suci saja, hanya iman saja yang perlu untuk
keselamatan, teologi kemakmuran (asal ikut Tuhan pasti diberkati secara
jasmani), berbagai klaim wahyu pribadi, akhir zaman, paham bahwa semua
Gereja sama saja, bahwa semua orang berdosa, maka tak ada orang kudus,
dan tak ada yang istimewa dari Bunda Maria, tak ada gunanya mendoakan
jiwa-jiwa orang meninggal dst. Jika kita merasa bahwa kita kurang
memahami tentang ajaran- ajaran ini, sudah seharusnya kita mencari tahu
penjelasan dasar-dasarnya dari Gereja Katolik tentang hal ini, dan
bukannya menerima begitu saja pemahaman pribadi. Perlu kembali kita
ingat di sini bahwa Tuhan Yesus menjamin kuasa mengajar yang tidak
mungkin salah, kepada Rasul Petrus, para rasul lainnya dan penerus
mereka (lih. Mat 16:18-19, 18:18, 28:19-20), namun tidak kepada semua
individu. Hal ini seharusnya menumbuhkan kerendahan hati di setiap umat
Katolik untuk tidak menempatkan pemahaman pribadinya di atas ajaran
Gereja.
b. Galilah kekayaan iman Katolik dalam Gereja Katolik
“Pewartaan dalam Gereja Katolik bukanlah pewartaan pendapat sendiri
melainkan pewartaan Sabda Allah, seperti yang diakui dan diajarkan oleh
Gereja Semesta.” ((Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai
Karisma Roh, 1995, 28)). Sudah saatnya para anggota PKK, terutama para
pewartanya, mempelajari dan mendalami ajaran Gereja Katolik, agar yang
diwartakan bukan pemahaman pribadi, melainkan ajaran Gereja. Ungkapan
pewarta seperti, “Roh Kudus berbicara kepada saya demikian….. ”
sejujurnya agak problematik, terutama jika kemudian yang disampaikan
malah bertentangan dengan yang diajarkan oleh Gereja yang jelas-jelas
sudah dibimbing oleh Roh Kudus selama 2000 tahun. Diperlukan kerendahan
hati, terutama dari pihak pewarta, untuk menerima bahwa Roh Kudus juga
‘berbicara’ kepada kita melalui ajaran Gereja untuk menjelaskan Sabda
Allah. Hal ini telah teruji selama 2000 tahun mempersatukan Gereja.
Adalah sesuatu yang menjadi ajakan atau bahkan anjuran bagi kita
semua umat Katolik, termasuk anggota PKK, untuk mau membaca Katekismus
Gereja Katolik atau Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Kini bahkan
Penerbit Kanisius sudah menerbitkan terjemahan UCat– Katekismus
untuk kaum muda. Semoga kehausan kita akan pemahaman Sabda Allah
membawa kita untuk mau mempelajari bagaimana Gereja memahami dan
mengajarkannya, agar hidup kita semakin dipimpin oleh Sabda Allah itu
sebagaimana dikehendaki oleh-Nya.
Demikianlah, pendalaman akan Sabda Allah yang diwartakan Gereja, akan
menghantar pada pemahaman bahwa penghormatan kepada Bunda Maria dan
para kudus, serta ajaran mengenai sakramen-sakramen Gereja justru
merupakan pelaksanaan secara lengkap ajaran Kristus, dan mempunyai
dasarnya dari Sabda Tuhan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci para Rasul.
Sebab Tradisi Suci ada lebih dulu dari Kitab Suci dan Kitab Suci itu
lahir dari Tradisi Suci. Karena keduanya berasal dari sumber yang sama,
yaitu dari Allah, maka Tradisi Suci dan Kitab Suci tak dapat dipisahkan.
Menyadari akan begitu pentingnya peran pewarta dalam PKK, maka KWI
mendukung keinginan Badan Pelayan Nasional, Badan Pelayanan Regional dan
Badan Pelayanan Keuskupan, untuk menciptakan kader-kader untuk
mewartakan Sabda Tuhan secara benar. KWI mendukung keinginan untuk
meningkatkan kemampuan para pewarta, entah melalui sekolah pewarta,
kerjasama dengan Lembaga Pendidikan Imam, Lembaga Pendidikan Kateketik,
dan berbagai pakar, untuk maksud tersebut. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 46)). Para Moderator mempunyai tugas untuk mengusahakan agar
program-program pendidikan peserta maupun pewarta, benar-benar sesuai
dengan kebutuhan umat dan selaras dengan ajaran Gereja, sebab pewartaan
Gereja adalah pewartaan Sabda Tuhan. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 41))
c. Jangan mengambil tradisi non-Katolik
Kita memang perlu mengakui, bahwa ada banyak lagu-lagu rohani Kristen
non- Katolik yang indah yang dapat membantu untuk mengarahkan ataupun
mengangkat hati untuk berdoa. Tentu jika liriknya sesuai dengan ungkapan
iman kita, maka lagu-lagu ini dapat dipergunakan dalam persekutuan.
Namun, perlu juga diperhatikan, terutama oleh para pemimpin PDKK, agar
“tidak mudah mengambil alih kebiasaan dan lagu-lagu yang berasal dari
tradisi dan teologi yang tidak sesuai dengan khasanah Gereja Katolik”
((Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 39)). Adalah penting disadari bahwa tidak semua lirik lagu-lagu rohani tersebut sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
Contoh sederhana, misalnya lagu ini:
Abba, kupanggil Engkau ya Bapa
Kau layakkan aku jadi anak-Mu,
memanggil-Mu, Yesus….
Kau layakkan aku jadi anak-Mu,
memanggil-Mu, Yesus….
Lagu ini enak didengar, namun secara teologis liriknya agak rancu.
Sebab kita memanggil Allah Bapa sebagai ‘Bapa’ (sebagaimana dalam doa
Bapa Kami), dan Putera-Nya Yesus, sebagai Yesus, dan kita tidak
mengacaukan antara kedua-Nya. Kedua Pribadi Allah tersebut tidak sama,
walaupun hakekat Keduanya satu dan sama. Jika kita menganggap lagu
pujian sebagai doa dan ungkapan iman kita, maka kita perlu memilih lagu
dengan lirik yang sesuai, agar menambah pemahaman akan iman kita
sendiri.
d. Tumbuhkan penghargaan terhadap sakramen-sakramen dan devosi.
KWI juga menghimbau agar dalam usaha pembinaan iman bagi anggota PKK
dipadukan dengan penerimaan sakramen-sakramen. ((Lih. Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 39)) Ini penting, sebab kita sebagai umat Katolik selayaknya
menyadari bahwa peran persekutuan tidak dapat menggantikan peran
sakramen-sakramen Gereja. Penghayatan akan hidup dalam Roh Kudus
selayaknya mendorong kita untuk lebih menghayati sakramen-sakramen, yang
melaluinya kita menerima rahmat Allah, yang turun atas kita, karena
kuasa Roh Kudus. Terutama di sini adalah sakramen Ekaristi dan sakramen
Tobat. ((Ibid., 30))
Demikian pula, peran persekutuan tidak dapat menghilangkan pentingnya
doa-doa pribadi dan devosi, termasuk di sini adalah devosi kepada Bunda
Maria. Sebab melalui devosi kepada Bunda Maria yang memberi teladan
yang sempurna tentang hidup dalam pimpinan Roh Kudus, kita dapat semakin
bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih, sebagaimana yang telah
dinyatakan oleh Bunda Maria. Maka devosi kepada Bunda Maria perlu
semakin dipupuk dengan kasih sejati, dengan cara yang tepat ((Lih.
Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh,
1995, 24)), supaya dalam bimbingan Bunda Maria, setiap anggota PKK dapat
menghasilkan buah-buah Roh Kudus di dalam hidup sehari-hari.
7. Penutup: Roh Kudus adalah Roh Persatuan
Akhirnya mari senantiasa menyadari bahwa Roh Kudus, yaitu Roh yang
senantiasa memperbarui Gereja, adalah Roh Persatuan. ((Lih. Pedoman PKK:
Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995, 59))
Maka, segala gerakan pembaruan dalam Gereja selayaknya mempererat
persatuan sesama anggota Gereja, dan bukan sebaliknya. Dengan demikian,
terpenuhilah apa yang ditulis dalam surat Rasul Paulus tentang
karunia-karunia Roh Kudus, yaitu bahwa yang terbesar dari semua karunia
tersebut adalah kasih (lih. 1Kor 13:1-13), yaitu kasih yang
mempersatukan.
Mari memohon dukungan doa Bunda Maria, Bunda yang selalu menyertai
Gereja yang hidup dalam bimbingan Roh Kudus, agar kita semua dapat
bertumbuh dalam kasih dalam peziarahan hidup kita, menuju Allah Bapa,
dalam kesatuan dengan Kristus dan Roh Kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !