1. Pengantar
Orang Muda Katolik (OMK/KOMKA) Indonesia sebagaimana orang muda pada
umumnya ialah penentu masa depan. Gelora semangat orang muda menjadikan
orang yang tidak muda lagi, memiliki berpengharapan. Jika Gereja dan
bangsa memiliki orang muda yang bersemangat, penuh kasih, bertanggung
jawab, berwatak luhur, beriman, maka sebagian besar dari kita tentu
sepakat bahwa kita memiliki masa depan yang cerah, bahwa Gereja kita
bukan calon museum belaka, dan bangsa kita bukan calon negara gagal.
Tanggungjawab kita-lah untuk menentukan masa depan itu, sebagaimana kita
dididik oleh para pendahulu kita sampai menjadi seperti sekarang ini.
OMK memerlukan bimbingan dari para pendamping. Para pembina OMK mesti
mewujudkan syukur atas pendidikan yang mereka terima dengan ikut
bertanggungjawab mendidik orang muda demi masa depan. Maka kita mesti
mengenal ciri pokok orang muda, dan mengenal apa kompetensi menjadi
pendamping OMK.
2. Tiga Ciri Orang Muda: Jati Diri, Ketidakpastian, Hubungan-Hubungan
Jati Diri: OMK dipanggil untuk menjadi dirinya sendiri –
yaitu menjadi diri sendiri seperti yang dikehendaki Tuhan. Hanya
dengan mengetahui jati dirinya sesuai yang dikehendaki Tuhan, maka OMK
bisa membangun dunia dan handal. Meminjam kata-kata Santa Katharina dari
Siena (1347-1380), “Be who God meant you to be and you will set the world on fire”.
Namun, orang muda masa kini, tak terkecuali di tempat kita, sedang
mengalami ketimpangan biologis-psikososial. Kebutuhan untuk
meningkatkan pendidikan dan pelatihan telah memperpanjang masa muda
mereka, dan menunda masa “mentas” mereka. Di alam pedesaan tradisional
pemuda dinyatakan lulus dari remaja ke dewasa dengan pernikahan dini.
Sekarang orangtua diharapkan untuk merawat orang dewasa muda lebih lama
lagi. Sementara itu perbaikan diet dan kondisi lingkungan yang lebih
baik telah mengakibatkan pubertas awal. Jadi, anak-anak secara biologis
siap untuk menikah lebih awal daripada di masa lalu, namun kini mereka
harus menunda pernikahan karena alasan psikososial. Ada ketimpangan
antara perkembangan biologis yang lebih cepat dan kematangan psikososial
yang lebih lambat. Pengenalan Jati diri menjadi makin susah dalam
situasi ini.
Ketidakpastian: Dari sisi sosio-ekonomi, Umat Katolik
Indonesia terbagi menjadi dua: sekitar separuh menikmati kesejahteraan
yang membuat mereka gampang meraih apa yang mereka inginkan, dan separuh
masih berjuang untuk meningkatkan taraf kesejahteraan mereka. Bagi
Orang Muda Katolik (OMK) dari kalangan kaum beruntung, sering ada
beberapa pilihan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka. Bagi OMK yang
dari kalangan kurang beruntung, hampir tidak ada pilihan sama sekali.
Setengah pengangguran atau pindah-pindah kerja (bekerja tidak sesuai
dengan ilmu yang dipelajari) mengalami peningkatan jumlah. Bagi
kebanyakan OMK, wajah mereka menampakkan ketidakpastian masa depan.
Hubungan-Hubungan: Sementara OMK masih bergulat dengan jati
diri yang tak kunjung jelas, dan berjuang mendapatkan pekerjaan, maka
OMK harus belajar membangun relasi antar-pribadi dalam keluarga, teman
sebaya dan menemukan jodoh atau panggilan hidup (mau pacaran dan
menikah, atau melajang, atau selibat demi Kerajaan Allah?). Suatu
relasi-relasi yang membelit mereka dan bisa membingungkan jika tidak
didampingi secara bijaksana. Mereka membutuhkan relasi yang bermakna,
bukan hanya “just for fun” maupun main-main.
3. Dunia Kita
OMK, seperti sebagian dari kita juga, hidup dalam beberapa dunia.
Tidak aneh, karena kita ini multidimensional. Sekularisasi yang baik
membawa di dalamnya cara pandang buruk sekularistik: penyembahan
dewa-dewi ilmu pengetahuan (idols of science), teknologi dan
kemajuan wahana elektronika, pengejaran tiada henti atas pertumbuhan
ekonomi, agama konsumeristis dengan “katedral-katedral shopping mall”,
proses peningkatan budaya, bukan saja gaya hidup impor dan perilaku,
atau jeans dan KFC yang tampak fisik, namun juga penerimaan tanpa sadar
atas nilai-nilai konsumeristis dalam budaya instan dan budaya “klik
copy-paste”.
Sekarang, giliran kita berpikir. Bagaikan permainan bola sodok,
manakah bola putih yang ketika kita sodok, maka akan mengenai bola-bola
lainnya? Manakah yang pertama-tama kita bidik, agar OMK bisa memecahkan
aneka masalah mereka sekaligus membuat mereka beranjak dewasa? Saya
setuju dengan pandangan bahwa semua persoalan mesti kita dekati
mula-mula dengan Spiritualitas. Namun spiritualitas yang mana? Tentu
saja Spiritualitas Katolik/Kristiani, dengan mengindahkan spiritualitas
lokal kita yang khas sebagai bangsa Indonesia atau Asia Tenggara, atau
khas Asia. Karena Yesus orang Asia dan para nabi pun tiada beda
dengan-Nya, ialah orang Asia.
4. Spiritualitas Dialog
Gereja mengharapkan OMK tangguh imannya dan tanggap –peduli terhadap
keprihatinan masyarakat. ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
warga masyarakat khususnya yang miskin dan menderita, merupakan
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan OMK pula ” (bdk GS 1). Jika
kunci yang bisa membuka pembinaan OMK ialah spiritualitas, maka
spiritualitas dialog merupakan jalan utama menuju pembinaan OMK di
berbagai pembinaan.
Sekarang, dialog merupakan cara satu-satunya bagi perdamaian dan
bahkan bagi pembentukan karakter manusia. Karena itu, dengan
memperhatikan ciri-ciri dan konteks di atas, kita hendaknya
mengembangkan spiritualitas dialog sebagai dasar dari pembinaan OMK.
5. Jago Kandang Saja ?
Ada ungkaan mengatakan: ”OMK itu jago kandang saja. Beraninya
berkokok di kandang sendiri seperti ayam jantan kate, tidak berani
bergaul dengan kelompok di luar kelompoknya sendiri.” Benarkah? Ada
benarnya walaupun tidak sepenuhnya. Jika demikian, prinsip-prinsip
kaderisasi macam apa yang dibutuhkan untuk menjawab harapan OMK yang
beriman mendalam dan tangguh serta berani terlibat dalam kehidupan
bermasyarakat Indonesia yang plural ini?
Saya menawarkan spiritualitas dialog sebagai landasan kaderisasi.
Spiritualitas yang pada dasarnya tidak asing bagi OMK, yaitu yang
mengalir dari dialog Allah sendiri dengan manusia, melalui Yesus Kristus
Putera-Nya dalam Roh Kudus. OMK sendiri harus mengalami hidup nyata
yang dibimbing oleh-Nya, mengalami Allah dalam kehidupan. Mereka mesti
diajak refleksi untuk menemukan makna iman atau nilai kehidupan tertentu
dalam peristiwa dan perjumpaan dengan sesama yang beraneka ragam.
Setelah prinsip dasar spiritualitas, barulah menyusul aneka kemampuan
lainnya untuk diberikan dalam kursus kaderisasi. Namun demikian,
kaderisasi sejati bukan pada kursus kaderisasi yang hanya empat-lima
hari atau satu minggu atau satu bulan. Tidak demikian. Kaderisasi sejati
ada dalam pendampingan OMK terus menerus sampai mereka mentas. Biarkan
mereka mengalami sendiri dinamika hidup itu, kemudian didampingi dengan
mengajak mereka merefleksikan pengalaman dalam Tuhan, lalu beraksi
kembali dan seterusnya. Inilah prinsip ”see-judge-act” yang
menjadi pokok pendampingan dan kaderisasi. Sebenarnya, inti kaderisasi
sederhana saja, yaitu penemuan jatidiri yang dikasihi dan dikehendaki
Allah untuk berbuat nyata dalam kehidupan yaitu mau berdialog dengan
realitas kemiskinan, dialog dengan realitas budaya-budaya dan dialog
dengan agama-agama. Intinya, OMK yang berbuat kebaikan konkret.
6. Pendamping yang Tangguh
Di balik sosok OMK yang tangguh dan berkiprah dalam masyarakat, ada
pendamping yang tangguh pula. Tak mungkin seorang pemain sepakbola
berprestasi tanpa seorang pelatih yang bertangan dingin dan
berpengalaman. Maka yang diperlukan sekarang ialah para pendamping yang
sadar akan jati dirinya sebagai pendamping, mengalami kasih Allah
sendiri dan mengasihi OMK. Justru sekarang, fokus kami Komisi Kepemudan
KWI ialah para pendamping yang kami cita-citakan: memiliki pengalaman
rohani yang dalam, mau belajar mengembangkan diri, memiliki hati dan
cinta yang besar untuk OMK yang didampingi, serta menjadi teladan dalam
menggereja dan memasyarakat. Para pendamping itu pertama-tama ialah
orangtua dalam keluarga. Berikutnya ialah para pendamping yang ditugasi
oleh paroki serta keuskupan. Sedangkan kami membantu melengkapi dengan
pendidikan para pendamping di tingkat regio dan keuskupan.
7. Kemampuan Pembina: Penggerak (Animator), Pendamping (Chaplain), Pembina/Pemimpin (Leader)
7.1 Penggerak (Animator)
Kemampuan yang dituntut dari seorang penggerak adalah:
1. Kepribadian: mengenal diri (kecenderungan psikologis,
seksual-hormonal, sosial-budaya sekitar); daya empati-simpati; daya
juang, ingin lebih maju/ menanggapi secara positif.
2. Hidup Rohani: punya kemauan untuk makin mengenal Kristus dlm
GerejaNya (keinginan menggeluti Kitab Suci, Sakramen, pernah mengerti
dokumen Gereja dan beberapa kutipan penting).
3. Hidup Intelektual: keingintahuan (indikasi: membaca, menulis). Menguasai bidang minat tertentu..
4. Berminat pada Pergaulan – Budaya – Kesenian – dan Badan yg sehat
5. Memiliki (dan dimiliki oleh) sebuah Komunitas
6. KETRAMPILAN :
– memimpin animasi (gerak-lagu) bahkan secara spontan.
– memimpin pertemuan terbatas, misalnya 10-20 orang
– memimpin doa bersama dan ibadat sabda ringkas
7.2 Pendamping (Chaplain)
Memiliki Kemampuan Dasar Penggerak ditambah beberapa hal berikut ini:
1. Kepribadian: Daya Tahan (asertif), terbuka terhadap perkembangan, memiliki penguasaan diri secara emosional.
2. Rohani: Mulai mengalami kedalaman relasi dengan Kristus dalam Gereja-Nya
3. Penghubung antar komunitas
4. Ketrampilan memotivasi agar yang didampingi berani maju / Public appearance meyakinkan.
7.3. Pembina/Pemimpin (Leader)
Memiliki kemampuan Penggerak + Pendamping ditambah hal-hal berikut ini:
1. Kepribadian: Daya ubah dari dalam (transformatif) menuju keadaan rendah hati.
2. Rohani: Kemampuan menangkap rahmat untuk tetap tinggal bersama
Kristus dalam GerejaNya pada situasi tekanan, kesimpangsiuran, maupun
kesepian rohani yang akut. Mulai menjadi pesan Injil, bukan hanya
penyampai pesan Injil. Menjadi tanda harapan. Berserah, semua untuk
Tuhan saja. Demi makin besarnya kemuliaan Tuhan dan keselamatan
jiwa-jiwa OMK (bdk. St Ignatius Loyola, ”Latihan Rohani”no 23, azas dan
dasar), yang bisa diartikan demi makin besarnya OMK yg kupimpin.
3. Intelektual: Visioner dan memiliki kebijaksanaan.
8. Penutup
Sebagai pembina OMK, kita di tingkat mana? Semoga Pembina OMK
mendampingi Orang Muda Indonesia, bersemangat dan terampil menyambut
estafet kepemimpinan dan pembudayaan Gereja Katolik dan bangsa Indonesia
sekarang dan ke depan.
Jakarta, Februari 2012
(Penulis: Yohanes Dwi Harsanto Pr, Imam Keuskupan Agung Semarang,
saat teks ini diunggah masih bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif
Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia/KWI. Teks ini diolah
ulang dari teks sama yang dimuat di Majalah ”Inspirasi” bulan Oktober
2011. Pemikiran ini diilhami oleh tantangan Dr John Manford Prior SVD,
dalam makalah untuk FABC Office of Laity and Family Southeast Asia 2
Consultation Meeting on Youth: “ Youth and Asian Spirituality” Juni
2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !