Selamat datang di Blog Gereja Katolik Sampit - Keuskupan Palangkaraya - Kalimantan Tengah

Halaman

Jumat, 26 Juli 2019

PEMBARUAN HIDUP KRISTIANI SEBAGAI KARISMA ROH



Pedoman Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia 1995
Konferensi Waligereja Indonesia
Penerbit OBOR
Jl. Gunung Sahari 91
Jakarta Pusat 10610
Telp. 3860726

SURAT PENGANTAR PARA USKUP UNTUK PEDOMAN KARISMATIK 1995

Para imam, biarawan-biarawati, Pengurus Badan-badan Pelayanan Karismatik Katolik dan segenap umat beriman yang terkasih,
Melalui Anda sekalian, Pembaruan Karismatik Katolik sudah hadir secara resmi di Jakarta pada tahun 1976 dan dari situ menyebar ke beberapa daerah. Pedoman Pastoral para Uskup Indonesia mengenai Pembaruan Karismatik telah kami terbitkan pada tahun 1983. Sekarang Pembaruan Karismatik Katolik telah ada di hampir semua Keuskupan di Indonesia. Banyak pihak merasa memerlukan suatu bimbingan pastoral lagi dari para Bapa Uskup mengenai Pembaruan Karismatik Katolik. Maka kami telah menerbitkan Surat Gembala mengenai Pembaruan Karismatik pada tanggal 10 November 1993; tertuju kepada seluruh umat katolik demi kesatuan, persaudaraan dan kesepahaman seluruh umat. Sekarang kami, para Uskup seluruh Indonesia ingin menyampaikan suatu Pedoman yang terutama ditujukan terutama kepada anda sekalian yang tergabung dalam Pembaruan Karismatik Katolik. Dengan pedoman ini kami bermaksud memenuhi permintaan Badan Pelayanan Nasional Karismatik Katolik di Indonesia untuk membarui dan sekaligus melengkapi Pedoman yang dikeluarkan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia pada tanggal 11 Februari 1983 itu.
“Pembaruan Gereja terus menerus” yang terjadi lewat interaksi semua kelompok pembaruan dan umat dalam seluruh Gereja menjadi latar belakang seluruh Pedoman ini. Kami, para uskup ingin bersama anda, para peserta Pembaruan Karismatik, dan bersama dengan kelompok-kelompok lainnya pula, selalu mencari kehendak Allah, serta menemukan bimbingan Roh Kudus bagi Gereja. Usaha “Mencari Bersama” itu kami laksanakan dalam rangka kesediaan untuk menyambut karisma Roh dalam Yesus Kristus.
Saudara-saudari yang terkasih, dengan penuh syukur kami telah mengalami peran-serta banyak dari anda dalam menggairahkan hidup rohani Gereja Indonesia. Justru karena kami menghargai buah-buah baik yang ada, dan ingin menjauhkan kita semua dari buah-buah yang tidak baik, maka kami menyampaikan Pedoman baru ini, dan menempatkan Pembaruan Karismatik Katolik di tengah pergumulan iman katolik seluruh umat.
Mengingat bahwa Pedoman ini bersifat umum, untuk seluruh Indonesia, kami memohon agar setiap Keuskupan, setiap daerah, dan setiap kelompok karismatik menangkap arahan pokoknya dan menerapkan Pedoman ini dalam keserasian dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu, di setiap Keuskupan perlu ada Badan Pelayanan Keuskupan (BPK). Di situ suatu Buku Pegangan, yang lebih sesuai dengan kebutuhan serta situasi iman umat setempat, dapat dibuat bersama bersama dengan wakil yang ditunjuk oleh Pimpinan Keuskupan, sehingga sesuai dengan kebijakan dan bimbingan Uskup setempat. Badan Pelayanan Nasional diharapkan membantu pelaksanaannya. Bahkan jika situasi dan keadaan umat, lebih-lebih corak iman umat, begitu rupa, kami dapat mengerti bahwa demi perkembangan iman umat, seorang Uskup mengambil kebijakan untuk sementara waktu tidak memasukkan Persekutuan Doa Karismatik di daerah tertentu atau di seluruh Keuskupannya.
Kami harap, dengan sikap dasar yang digariskan dalam Pedoman ini, Gereja Indonesia tumbuh dan berkembang, berkat sikap saling mempengaruhi dari semua kelompok yang ada di dalamnya, saling membagikan apa yang baik yang berasal dari satu Roh Pembaru. Dengan demikian, meski ada bermacam-macam kelompok yang berbeda satu sama lain, Gereja tetap bersatu, bahkan diperkaya karenanya. Maka bersama St. Paulus kami para Uskup berseru kepada seluruh umat katolik “berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai: satu tubuh dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef 4:3-6)

Atas nama Para Uskup Indonesia,
Ketua                                                                                         Sekretaris Jendral
(Julius Kardinal Darmaatmadja, S.J.)                        (Mgr.Martinus Situmorang, OFMCap)

 

ROH KUDUS PENDORONG EVANGELISASI BARU

1. Roh Kuduslah yang mengantar Gereja ke seluruh kebenaran, mempersatukan dalam persekutuan dan pelayanan, melengkapi dan membimbing dengan aneka karunia hirarkis serta karismatis. ((Bandingkan Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.14.)) Akhir-akhir ini, oleh Hirarki, yaitu dalam diri Paus Yohanes Paulus II, Gereja dibimbing menuju ke suatu Evangelisasi Baru, karena keadaan dunia berubah amat cepat. Semua anggota Gereja, terutama yang menggabungkan diri dalam arus pembaruan Gereja, diharapkan membarui diri dalam arah itu pula.
2. Maka dari itu, kita, seluruh umat katolik, perlu selalu mawas diri untuk menilai kembali apa-apa yang telah biasa kita lakukan. Kita harus mengkaji kembali, sejauh mana perlu ada perubahan dan pembaruan pada apa yang telah lazim dihidupi dan dijalankan, bahkan mungkin perlu mencari, menciptakan langkah dan cara baru, mengingat konteks kehidupan sudah berubah banyak. Bersama seluruh Gereja, Pembaruan Karismatik Katolik juga perlu membarui diri tanpa henti. Untuk itulah kami, para Uskup Indonesia, merasa perlu menyampaikan Pedoman Pastoral baru mengenai Pembaruan Hidup Kristiani dengan menyelami makna Karisma Roh yang saat ini berwarna dasar “membarui keterlibatan kita pada Evangelisasi Baru dalam kesatuan dengan seluruh umat”.

I. BERIMAN DI TENGAH MASYARAKAT YANG BERUBAH CEPAT

A. SITUASI MASYARAKAT

3. Bangsa kita dan banyak bangsa lain merasakan adanya kehausan untuk semakin meningkatkan kesejahteraan hidup. Kehausan itu dapat dipahami sebagai pelaksanaan pengutusan seluruh umat manusia dari Firdaus untuk menggarap dunia. ((Kej 1-2)) Dari pengalaman ternyata perbaikan ekonomi dapat membawa sejumlah perbaikan hidup, namun sebaliknya juga mengakibatkan munculnya hal-hal yang merugikan. Ekonomi sering disamakan dengan mengejar atau menumpuk harta dan materi. Meski bahaya materialisme negara ateis sudah susut dengan hancurnya negara-negara dengan sistem komunis, tetapi kapitalisme yang seringkali mendewa-dewakan materi dan modal kerap menginjak-injak harkat manusia. Dalam pola pembangunan semacam itu, orang mudah meremehkan hidup rohani, suara hati dan moral hidup keagamaan. Kita semua prihatin dengan situasi tersebut.
4. Jika orang merendahkan pribadi, meremehkan hidup iman dan hidup rohani, maka masyarakat tidak akan menghargai hidup bersama. Individualisme dan kecenderungan mencari kesenangan dan kepuasan diri akan menjadi warna utama setiap upaya di dunia politik, ekonomi, sosial, dan budaya, bahkan juga agama. Memang erat dan mendalamlah hubungan antara kepincangan di dunia politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan kemerosotan iman, moral, maupun hidup rohani.
5. Itulah sebabnya mengapa akhir-akhir ini pada banyak bangsa dan dalam pelbagai agama muncul aneka gerakan, baik untuk membarui hidup rohani, menghargai pribadi manusia, menjunjung tinggi persaudaraan, kebersamaan dan solidaritas, sampai dengan memperhatikan lingkungan hidup dan alam semesta. Namun demikian, tawaran dari pihak agama sering begitu banyak sehingga tidak sedikit umat kita menjadi bingung. Karena itu, orang berterimakasih sekali kalau ada yang menawarkan pandangan hidup yang utuh, pasti, dan memikat. Kami mengakui, bahwa bagi banyak orang, Pembaruan Karismatik Katolik berperan penting dalam pembaruan tersebut.

B. SITUASI GEREJA

6. Bersama dengan seluruh masyarakat Indonesia, kita juga mengalami “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan”. ((Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II mengenai “Gereja dalam Dunia”, a.1.)) Kita bersyukur bahwa kemakmuran meningkat, namun kita semua ikut cemas dan merasa terancam oleh bahaya materialisme, individualisme, konsumerisme, hedonisme, pan seksualisme sampai ke bentuk-bentuk kemasyarakatannya dalam aneka penyelewengan.
7. Dalam pergumulan itu setiap bagian Gereja disentuh oleh Roh Kudus secara bersama-sama dan sekaligus secara khusus sesuai dengan kharisma masing-masing. Dalam arus pencurahan Roh Kudus, para Rasul menyaksikan Yesus diutus Bapa, mula-mula lewat peristiwa pembaptisanNya oleh Yohanes, ((Luk.3:1-20)) namun mereka akhirnya merasakan, daya pembebasanNya juga dinyatakan melalui diri mereka setelah KebangkitanNya, yakni lewat pencurahan Roh Kudus dengan peristiwa Pentakosta. Demikianlah umat perdana menghayati pengutusan mereka. ((Bdk. Kis. 1:5 dan 2:17-36))
8. Dalam proses tersebut kita bersatu dengan gerak pembaruan Gereja semesta sepanjang segala abad. Gereja sendiri muncul sekitar Yesus, bersamaan dengan lahirnya aneka gerakan keagamaan yang tidak puas dengan pelaksanaan agama Yahudi saat itu. Kisah para Rasul Bab 15 dan banyak tulisan Perjanjian Baru menunjukkan bagaimana para murid Yesus Kristus tidak mau beku dalam kebiasaan lama. Ketika Santo Antonius dari Mesir dan pengikutnya menyepi ke gurun, tatkala Santo Benediktus mendirikan biara-biara, sampai ke jaman Santo Bernardus, tersiarlah karya Roh untuk selalu membarui hidup Gereja. Santo Dominikus, Santo Fransiskus dan Santa Clara dari Assisi, Santo Ignasius dan Loyola, Santa Theresia Avila dan Santo Yohanes dari Salib serta para pendiri tarekat di abad ke-19 adalah deretan orang-orang yang berusaha setia kepada panggilan Gereja untuk mendengarkan bimbingan Roh tanpa henti. Pada abad ke-20 banyak sekali orang awam yang terjun dalam “Gerakan Awam” dan membangun spiritualitas awam karena merasa didesak oleh Roh untuk membarui iman dan hidupnya. Pembaruan Karismatik Katolik pada hakikatnya tumbuh dalam arus pembaruan dari abad ke abad tersebut.

C. TANTANGAN TERHADAP UMAT BERIMAN

9. Dalam masyarakat massal dan dalam persekutuan-persekutuan umat yang pengikutnya melimpah ruah, sering diperlukan kesaksian bahwa iman menyentuh lubuk hati manusia. ((Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II mengenai “Gereja dalam Dunia”, a.7.)) Meski iman mempunyai segi sosial, ((1 Kor.14:24)) namun perlu disambut oleh masing-masing secara pribadi. Iman yang utuh itu dapat dilihat dan didengar orang serta dapat dikomunikasikan secara inderawi pula. ((Bdk. Kis. 2:33-37 dan 1 Yoh.1:1-3)) Cara hidup semacam itu hanya dapat terwujud dengan mengambil inspirasi Roh Kudus dan mengikuti jejak Sang Putera yang mengajarkan cara, bagaimana iman kepada Allah Bapa menjadi nyata di tengah gejolak dunia.
10. Keadaan masyarakat dan Gereja semacam itu menantang kita untuk memiliki pendirian dan sikap kristiani yang teguh. Kita dipanggil untuk berani menunjukkan bahwa hidup rohani yang diisi oleh Roh Cintakasih Ilahi itu sungguh bagian hidup masa-kini. Dunia memerlukan saksi-saksi iman yang dengan kata dan perbuatan memperlihatkan bahwa Roh sekarang ini masih berperan.

II. PENGUTUSAN GEREJA

11. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang “memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan tentang hidup dalam kasih karunia yang berlimpah-limpah”. ((Bdk. Kis 4:33)) Persekutuan ini bertekun dalam doa dan melibatkan diri dalam usaha meningkatkan kesejahteraan hidup bersama. ((Kis.2:41-47)) Itulah wujud nyata dari pengutusan Gereja yang dipesankan Kristus saat keberangkatanNya untuk “duduk di sisi Bapa”. ((Luk. 24:46-49 dan Kis. 1:6-11)) Gereja diutus untuk menghadirkan kasih Allah di tengah hidup manusia yang terlibat penuh dalam pembangunan masyarakat sejahtera.
12. Untuk memberi wujud nyata pelayanan kita di tengah masyarakat diperlukan banyak upaya. Ada yang teknis, seperti di pelbagai tindakan pembenahan lalulintas dan ekonomi serta perdagangan. Ada pula segi-segi pembangunan rasa berbangsa dan pembentukan ideologi pembangunan yang tepat. Ada pula pelayanan membela hak-hak asasi manusia dan perbaikan lingkungan hidup, mengabdi di bidang pelayanan pendidikan, sosial ekonomi dan kesehatan, maupun menyantuni para yatim piatu. Di sana Gereja diutus memancarkan hembusan cintakasih di mana-mana, sehingga “tanah menjadi wujud kasih Allah” ((Bdk. Kej.2:4b-7)) serta “persaudaraan antar manusia, dan aneka kesibukan sederhana harian kita merupakan tanda bahwa sekarang pun Allah tetap menyayangi manusia dan membagikan cintaNya kepada seluruh umatNya”. ((Bdk. Rom. 12:9-21)) Begitulah Gereja diutus untuk membagikan pembaruan sikap hidup dari kehangatan cintakasih Roh Allah.

A. ANEKA WUJUD PENGUTUSAN GEREJA

13. Bersama seluruh Gereja sejak jaman para Rasul sampai kepada Ibu Teresa dari Calcutta kita menemukan bahwa daya kekuatan cinta Roh Allah perlu diwujud-nyatakan: dalam pelayanan satu sama lain untuk mencari nafkah sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat secara nyata; dalam pengabdian kita di tengah orang-orang yang mengalami kedukaan, penyakit, kehilangan tempat tinggal atau kebebasan politiknya; dalam upaya kita menciptakan persatuan antara kita sendiri maupun dengan semua orang yang berkehendak baik; dalam aneka usaha untuk lebih memahami rahasia alam sebagai misteri Rencana Penyelamatan Allah; dalam aneka bentuk ibadat dan persekutuan doa yang mau mengungkapkan rasa bakti kita kepada Tuhan yang penuh kasih.
Sebenarnya kita semua dipanggil untuk memberi bentuk pribadi kepada semua wujud itu. Akan tetapi, keterbatasan menyebabkan kita memilih sesuatu wujud yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita yang konkret sehingga dapat kita laksanakan, tanpa meremehkan wujud pengutusan yang lain. Kepada setiap orang dikaruniakan karisma Roh Allah itu untuk kepentingan bersama. ((Bdk. 1Kor. 12:7))

B. ANEKA CARA MELAKSANAKAN PENGUTUSAN GEREJA

14. Paulus menunjukkan dengan jelas bahwa Roh Allah menghendaki agar masing-masing dari kita melaksanakan pengutusan dengan aneka cara yang Dia anugerahkan. ((1Kor.12)) Jadi, berdasarkan kemampuan yang ada. Ada yang caranya dengan berkotbah, lainnya dengan cara membagikan pengetahuannya, yang lainnya lagi dengan cara membuat mukjizat, yaitu kata-kata dan tindakan yang membuat orang tertegun sehingga sadar bahwa dalam kejadian itu Allah menunjukkan kasihNya. Dalam kerangka ini, umat diperkaya oleh Roh dengan sejumlah orang yang diberi karisma untuk memimpin umatNya ((1 Kor.12:28-30)) dan juga para nabi yang menafsirkan tanda-tanda jaman.
15. Setiap nabi dan utusan Tuhan mengingatkan manusia akan kehadiran dan karya Roh dalam dunia. Mereka itu merasakan bahwa Allah mau menghembuskan nafas hidupNya dalam dunia, betapapun banyak kesulitan yang menghimpit. Para nabi dipanggil untuk menafsirkan arah hembusan Roh Allah. Mereka itu dikaruniai kemampuan untuk menemukan sabda Tuhan yang sulit dipahami manusia: bukan dalam arti bahwa mereka mempergunakan kata-kata yang sulit, melainkan bahwa mereka menyampaikan pesan yang tidak mudah ditangkap oleh manusia yang terlalu memusatkan perhatiannya kepada dunia dan enggan menatapkan mata-hatinya kepada Allah. ((Kita ingat, bagaimana Musa memerlukan aneka bukti untuk dapat mengkomunikasikan kehendak Allah kepada Firaun. Nabi Natan mempergunakan perumpamaan guna menunjukkan kehendak Tuhan kepada Daud. Yohanes Pembaptis memakai kata-kata keras dan tajam kepada umat Israel pada jaman Yesus. Mereka memakai bahasa dengan tatabahasa jelas; tetapi pesannya tidak mudah dipahami.))
Kesulitan orang menangkap pesan para nabi disebabkan oleh kedegilan hati pendengarnya. Kedegilan itu menyebabkan orang salah menangkap maksud terdalam dari ucapan-ucapan kenabian atau malah tidak mendengar sama sekali. Diperlukan seorang Dominikus untuk menangkap perlunya pewartaan paham-paham iman yang tepat dan jelas. Dinantikan kedatangan Fransiskus dari Assisi untuk mengerti bahwa kekayaan itu bukan pegangan dasar manusia guna memperoleh keselamatan kekal. Ibu Teresa Calcutta kita sambut untuk menyelami perlunya perwujudan solidaritas manusia bagi saudara-saudara yang secara fisik menderita.
16. Sekarang ini dunia mengalami persoalan besar: di satu pihak persatuan amat didambakan, di lain pihak perang dan permusuhan berkecamuk di mana-mana. Diperlukan gerakan yang membarui dunia agar bisa benar-benar mewujudkan persaudaraan sejati yang teraba dan terasa. Persaudaraan itu harus mengakar pada jiwa orang dan tidak hanya berlandas pada kepentingan biologis, ekonomi, dan politik. Iman dan agama harus mendasari usaha tersebut. Umat manusia memerlukan bukti yang menyentuh darah dan daging, bahwa iman dan agama sungguh mampu melahirkan persaudaraan sejati. Oleh karena itu, masing-masing pribadi, petugas, dan kelompok diajak untuk mewujudnyatakan karisma persaudaraan dari Roh yang satu itu. Sebab karunia manapun akhirnya tidak berarti kalau tidak ada Roh Cintakasih Yang Satu itu.
17. Dalam suasana itu kami, para Uskup, menyambut dengan gembira anda yang berjumlah banyak, yang merasa “lahir kembali dalam Roh” karena mengalami “secara istimewa terjamah oleh Roh”. Di situ kami melihat pangkal penting dari kebersamaan anda sekalian, para peserta Pembaruan Karismatik Katolik. Anda sekalian merupakan kelompok yang merasakan sentuhan kasih Kristus yang menyelamatkan diri anda pribadi, dan sekaligus disentuh oleh keprihatinan Kristus yang terdalam untuk menyelamatkan semua bangsa. ((Mat. 28:18-20)) Yang menggembirakan kami adalah bahwa banyak di antara anda yang terpikat oleh kasih Allah itu tersebar di berbagai pemukiman, kampus perguruan tinggi, lingkungan pabrik dan usaha, yang sampai kini dianggap kering dari pengaruh hidup rohani. Bahkan dari antara anda yang sering terdorong untuk secara berani mewartakan kabar Gembira: kadang dengan bijaksana dan halus, kadang pula secara agak mendesak dan kurang tenggang-rasa. Sementara itu pantaslah kita ingat bahwa Roh berhembus di mana ia mau. ((Bdk. Yoh.3:8)) Tuhanlah yang menentukan, kapan dan bagaimana Ia mau menyentuh umatNya. Dapat terjadi bahwa Ia berbicara dan berkarya justru melalui orang yang tidak kita duga. Maka dari itu, kita perlu menyampaikan Kabar Baik dengan rendah hati.

C. PENGUTUSAN PEMBARUAN KARISMATIK KATOLIK

18. Di tengah kemajemukan wujud dan gairah pengutusan murid Tuhan itulah, kami menyaksikan, bagaimana banyak umat terpanggil bergabung dalam Pembaruan Karismatik Katolik. Maka dari itu Pembaruan Karismatik Katolik kami akui sebagai salah satu dari sekian banyak upaya dan bentuk dalam Gereja yang mengejawantahkan tersentuhnya hati manusia oleh daya kekuatan Roh Allah.
19. Kita catat dari sejarah, bahwa pada tahun 1970-an muncul pelbagai persekutuan doa ekumenik, yang dengan cepat memukau banyak orang katolik. Untuk menolong mereka ini, dalam kerangka penggembalaan gerejawi, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Sukoto, S.J. mengundang tokoh pembaruan karismatik katolik. Pada bulan Mei 1976 Pastor O’Brien, S.J. dan H. Schneider, S.J. diminta oleh Bapa Uskup untuk menyelenggrakan “Seminar Hidup Baru” di Jakarta. Sejak saat itu, secara berangsur-angsur Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia tumbuh dan berkembang. Seperti setiap unsur dalam Gereja, Pembaruan Karismatik Katolik mempunyai wujud khasnya tetapi juga menerima tuntutan untuk memadukan diri dalam kebersamaan seluruh Umat Allah secara tulus.

III. POKOK-POKOK PEMBARUAN KARISMATIK

A. IMAN AKAN TRITUNGGAL

20. Pembaruan Karismatik pertama-tama kami pandang sebagai salah satu unsur dinamika Gereja yang mengakui bahwa hidup kita di dunia dihayati dengan iman, yang diakui sebagai karisma, yaitu anugerah Roh. Iman kita berakar pada Tritunggal Yang Mahakudus: yaitu percaya bahwa hidup kita diberikan oleh Allah Bapa Sang Pencipta, ditebus oleh Allah Putra Sang Juruselamat, dan diurapi oleh Allah Roh Kudus Sang Penghibur. Hidup Gereja adalah hidup bersama yang diimani sebagai wujud manusiawi dari karya Roh yang menggerakkan seluruh umat manusia dalam cintakasih seturut ajaran Kristus menuju kepada persatuan kekal dengan Allah.
21. Dalam pengertian itu Gereja mulai ada ketika para Rasul berhimpun dalam persaudaraan di sekitar Yesus Kristus, menanggapi panggilan Sang Guru. Sekarang Gereja tetap menjadi persekutuan murid-murid Kristus. Oleh karena itu, dinamika menjadi murid Kristus ((Seringkali hal itu diberi istilah “pemuridan”, walaupun dari sudut pembentukan kata bahasa Indonesianya tidak serasi)) adalah dinamika dasariah dalam hidup menggereja. Kami bergembira melihat, bahwa salah satu segi iman yang kerap ditekankan dan diperdalam oleh Pembaruan Karismatik Katolik adalah kesadaran menjadi murid Kristus. Dari Yesus Sang Guru kita beriman kepada Bapa Sang Pencipta yang hidup tanpa ada yang pernah melihatNya ((Bdk. Yoh.1:18; 5:37; 1 Tim.6:16)) kecuali Sang Putera. ((Yoh 6:46)) Setelah menghadap BapaNya dan Bapa kita, Kristus mewariskan kepada kita Roh Kudus. ((Yoh. 14:26 dan 16:13)) Maka sebagaimana kita mengenal Bapa hanya melalui Putera, kita pun sampai kepada Putera hanya melalui Roh Kudus. ((Ef. 2:18)) Dengan kata lain, iman akan Roh Kudus hanya dapat dihayati dalam kesatuan dengan kepercayaan akan Bapa dan Putra. Iman akan Roh Kudus kita peroleh juga lewat kepercayaan kepada Yesus Kristus : ((Yoh. 14:6)) dengan menjadi murid Yesus Kristus. Kami berharap bahwa Pembaruan Karismatik Katolik menjadi ragi dalam Gereja, supaya umat lebih menyadari konsekuensinya menjadi murid Kristus: yaitu terus menerus berusaha semakin memahami ajaran Kristus serta melaksanakannya secara utuh.

B. ROH KUDUS: SANG KARUNIA

22. Berkat Paska, para Rasul mengimani kesatuan hidup Kristus dengan Bapa. Kesatuan Bapa dengan Putera itu terjadi berkat Roh Kudus yang menjadi Sang Karunia, sehingga Yesus Kristus hidup dalam Bapa. Penginjil menunjukkan peranan Roh Kudus, Sang Karunia, sejak awal mula dan dalam seluruh hidup Yesus Kristus serta pengutusanNya sebagai Mesias. ((Mrk. 1:10)) Hal itu dirumuskan dengan ungkapan Yohanes Pembaptis “Orang Yang kamu lihat dicurahi Roh dan ditinggali Roh adalah Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus”. ((Yoh.1:33)) Ungkapan itu memperlihatkan bahwa seluruh pengutusan Yesus sebagai Messias itu terangkum dalam arus karya Roh Kudus, kasih karunia Bapa. Maka, baptisan dalam Roh di situ menunjuk kepada seluruh cara hidup dan pelayanan Yesus Kristus sebagai Utusan Allah, sebagaimana misalnya ditampilkan dalam Luk 4:18-19. Hubungan Yesus dengan Roh Kudus dan Allah Bapa terlaksana dalam Ia mewartakan Kabar Gembira, baik dengan kata maupun dengan perbuatan; bahkan dengan sengsara di salib dan mati, sampai dibangkitkan kembali.
23. Karena menerima Roh Kudus itulah, maka kita dapat beriman dan disatukan dengan Tubuh Kristus. ((Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.4)) Roh Kudus pula yang menyebabkan kita semua bersatu. ((1 Kor.12:3)) Melalui Roh Kudus, Kristus hadir di antara kita, sebab Ia adalah Roh Kristus sendiri. ((Rom. 8:9 dan Gal 4:6))
Karena Gereja hidup dari Roh Kudus, maka seluruh Gereja dan setiap orang kristiani itu sesungguhnya bersifat ‘karismatik’ ((Misalnya Ireneus, Adversus Haereses III, 24, 1 (PG 7:966))) Dalam pengertian itu, Pembaruan Karismatik Katolik merangsang Gereja untuk merasakan sepenuh-penuhnya bahwa seluruh kemanusiaan kita sungguh diresapi oleh daya Roh Kudus. Maka kekhususan Pembaruan Karismatik Katolik pertama-tama terdapat dalam mendarah-dagingnya iman akan hidupnya Roh Kudus dalam umat kristiani secara keseluruhan. Dalam kepercayaan itu, Pembaruan Karismatik Katolik menggarisbawahi suatu segi penting iman katolik yang kadangkala kurang terasa pada lingkungan lain dalam Gereja. Demikianlah dapat dikatakan bahwa Pembaruan Karismatik Katolik bersifat dan harus bersifat gerejawi. ((Tokoh Karismatik, seperti Kardinal Suenens dari Belgia, sangat menekankan pendirian ini.))
24. Iman dalam Pembaruan Karismatik Katolik yang amat akrab dengan Roh Kudus, menemukan teladan dan pembimbing surgawinya dalam diri Santa Perawan Maria. ((Bdk. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.53)) Pada hari Pentakosta para Rasul ditemani oleh Bunda Gereja ((Bdk. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.63)) ini untuk menyambut Roh Kudus, Sang Penghibur. Hal itu mengokohkan kepercayaan umat bahwa sejak awal mula Maria memang bersatu dengan Roh Kudus. Bahkan Gereja percaya bahwa Maria terkandung tanpa noda dosa, justru berkat daya pengudusan Roh Tuhan. ((Bdk. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.56)) Jadi, kuasa Roh Kudus menjangkau sampai ke saat Maria sendiri mulai dikandung. Itulah sebabnya, secara istimewa Maria kita sebut “Putri Allah Bapa”. Kita percaya bahwa karunia Roh Kudus tidak ditentukan oleh batas waktu, tempat, dan kondisi lahiriah manusia. Bahkan kita percaya, bahwa Maria menjadi Bunda Allah karena Roh Kudus menaunginya. ((Luk 1:26-38. Lih. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.57 )) Maka Maria kita sebut juga “Mempelai Allah Roh Kudus”.
Kami bergembira bahwa dalam Pembaruan Karismatik Katolik bergema terus bakti kepada Bunda Maria tersebut demi iman akan Yesus Kristus. Kita percaya, bahwa kekuatan Roh tidak dibatasi oleh kehendak manusia manapun. Kita dipanggil untuk menyerahkan hati, budi, kehendak, dan seluruh karya kita kepada Tuhan. Hanya karena persatuan penuh dengan Roh Kudus itulah, Maria menjadi “Bunda Allah Putra”. ((Begitulah kita mengetahui nilai iman dari Doa Rosario, khususnya ketiga butir Doa Salam Maria sesudah “Syahadat”.)) Hubungan batin itu ditegaskan lagi dalam perjalanan pewartaan Yesus, yang memuji Maria karena “mendengarkan firman Allah dan memeliharanya”. ((Luk. 11:28, bdk. Luk. 8:19-21, Mat. 12:46-50, Mrk. 3:31-35)) Persatuan Maria dan Putranya terjadi di salib, ketika Sang Putra dimuliakan. Dengan begitu menjadi jelas pula, bahwa peran Maria dalam karya penyelamatan bersatu padu dengan peran Putranya, berkat naungan Roh Kudus.
Jelaslah bahwa Pembaruan Karismatik Katolik yang sangat berbakti kepada Roh Kudus dan ingin dipersatukan dengan Tuhan tidak mempunyai teladan yang lebih tepat daripada Bunda Maria. Kami menganjurkan agar bakti kepada Maria senantiasa dipupuk dengan penuh kasih sejati serta dalam cara-cara yang tepat.

C. ANEKA KARUNIA

25. Kami menyaksikan bahwa kemajemukan ungkapan Gereja juga kelihatan dalam kenyataan bahwa perwujudan iman karismatik tampil dalam beberapa cara. Misalnya, keluarga karismatik yakin, bahwa baptis sudah sejak dahulu kala senantiasa merupakan sakramen, manusia dibersihkan dari dosa yang menjauhkan manusia dari Allah. Baptis dalam pengertian mendasar seperti itu mengandung unsur lahiriah yaitu membersihkan dengan air, dan unsur rohani yaitu membersihkan dengan Roh. Segi rohani itulah yang diungkapkan kembali dengan seluruh pengalaman rohani mendalam yang menyertainya, kalau dalam lingkungan karismatik dipergunakan istilah “Baptisan Roh”. Di satu pihak, keluarga karismatik mengingatkan seluruh umat akan bersatunya segi lahiriah dan batiniah dalam baptisan, sambil menekankan pentingnya segi batiniah ini untuk dihayati. Pengalaman diselamatkan yang mendalam ini sungguh memberikan semangat baru untuk hidup secara baru pula. Di lain pihak, keluarga karismatik perlu menyadari kesatuannya dengan seluruh pergulatan umat untuk memberi arti dan melaksanakan baptis dengan semangat dan pelaksanaan yang tepat. Penginjil Yohanes jelas menyebutkan baptis dalam kaitan dengan Roh; itu untuk menjelaskan seluruh pengutusan hidup dan wafat Yesus sebagai Messias, bukan untuk mengacu pada suatu upacara tertentu. ((Yoh. 1:33. Lihat juga di atas mengenai peristiwa sekitar baptisnya Yesus dan komentar Yohanes Pembaptis. Baik dicatat, bahwa Alkitab tidak berbicara mengenai “Baptis Roh”, melainkan “dibaptis dalam Roh Kudus” (bdk. juga Luk 3:16 dan Mat 3:11): jadi “dicelupkan dalam air” (sebagai tanda tobat dan karena itu bersih dari dosa) dan “itu terjadi dalam Roh Kudus” (bukan dalam tahyul atau dalam motivasi psikhis atau bahkan karena kepentingan biologis/kesehatan). Pada awal gerakan PKK, para pemimpin merasakan sulitnya menegaskan kedua segi baptisan dalam Roh ini, agar di satu pihak tidak memberi kesan seakan-akan ada baptisan lagi sesudah Sakramen Baptis, namun di lain pihak memang ada segi yang ingin ditekankan, yaitu segi pengalaman dibersihkan luar-dalam lagi. Maka sering dipergunakan pula istilah “pembaruan dalam Roh” atau “pencurahan Roh”. Amat perlu bahwa umat yang sederhana dibantu untuk menangkap masalahnya secara tepat. Para pemimpin PKK ikut memikul tanggung jawab untuk menyebarluaskan saling mengerti dalam hal ini.))
26. Dalam pelbagai kegiatan karismatik, “pencurahan Roh” menjadi suatu ungkapan penting. Ini mempunyai dasar iman yang dalam dan perlu ditangkap secara tepat dalam konteks pemahaman kita mengenai hidup kristiani. Dari seluruh Injil kita mengetahui bahwa penyelamatan Allah itu berwujud tindakan Allah mencurahkan RohNya. Itu terjadi, baik pada peristiwa penciptaan maupun dalam penjelmaan Allah Putra serta dalam pemakluman GerejaNya. ((Perhatikan bahwa Luk. 1:15, Kis. 1:15, 2:38, 10:47, 11:15, 19:5.6 menyebutkan baik baptis maupun pencurahan Roh. Masing-masing memperlihatkan ada perbedaan di antara keduanya tetapi ada hubungannya juga. Semua menunjukkan bahwa baptis merupakan suatu bentuk sosial yang kelihatan dari proses batiniah, bahwa manusia menerima penyelamatan, yaitu pengudusan dari Allah.)) Maka secara tepat pencurahan Roh disebut saat penyelamatan Allah dirasakan kembali. Dalam proses perkembangan Gereja, segi pelembagaan dan administratif kerap kali lebih menonjol ke depan daripada segi rohani, sehingga orang lebih merasa “terdaftar” menjadi anggota Gereja melalui petugas manusiawi daripada disambut oleh Allah melalui pemberian RohNya. Dalam konteks itu, “pencurahan Roh” dalam lingkungan karismatik di satu pihak menggarisbawahi makna teologis dari “menyambut kasih Roh”, di lain pihak mau menegaskan keyakinan kita akan peran perdana Roh dalam penyelamatan, yang senantiasa merupakan pegangan dasar iman kita, namun yang sering menipis karena perjalanan sejarah dan pengalaman hidup”. ((Di sini kita melihat betapa kaya pengertian di balik istilah “pencurahan Roh”, yang seringkali menimbulkan salah paham kalau tidak diterangkan dengan baik. Oleh sebab itu, baiklah dicatat bahwa istilah “pencurahan Roh” kadang dipakai oleh Pemimpin Pembaruan Karismatik Katolik, tetapi kadangkala juga tidak. Di Amerika sering dipergunakan “baptism in the Holy Spirit” (baptis dalam Roh Kudus), di Inggris dipakai “the release of the Spirit” (pelepasan atau pencurahan Roh Kudus), di Jerman “Firmerneuerung” (pembaruan penguatan), di Perancis “l’effusion de l’Esprit” (pencurahan Roh). Baiklah diusahakan agar orang tidak terpancang pada satu istilah atau satu upacara maupun satu tindakan, melainkan pada proses iman, yaitu bahwa mengikuti Kristus adalah suatu proses lahir-batin, yang dibimbing oleh Roh Kudus terus menerus. Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia pernah membuat kesepakatan bahwa selanjutnya akan mempergunakan istilah “pencurahan Roh” agar orang tidak merancukannya dengan Sakramen Baptis))
27. Banyak peserta Pembaruan Karismatik Katolik menerima pengalaman “pencurahan Roh” dalam Seminar Hidup Baru dalam Roh. Di situ kelihatan, bahwa “komunikasi iman” yang sering terjadi melalui bentuk “kesaksian” merupakan proses yang hidup. Iman kita memang diterima melalui pewartaan sesama. Mengingat pokok perkara adalah pewartaan mengenai Yesus Kristus sendiri, maka kami percaya bahwa isi dan cara Seminar Hidup Baru yang sudah dibakukan itu dapat terus menerus disempurnakan.
Khususnya, iman akan Roh Kudus, dalam kehangatan pengalaman kasih akan Sang Putra menuju bakti sejati kepada Bapa perlu dicamkan dengan budi yang jernih. Karunia-karunia perlu betul-betul diyakini sebagai ungkapan kasih Roh Kudus, Sang Karunia Utama. Lalu orang harus sungguh didorong untuk mau tumbuh terus menerus dalam kesempurnaan dengan Yesus Kristus. Jadi, Seminar Hidup Baru adalah awal dari jiarah hidup yang panjang. Hal itu dapat lebih terpupuk kalau para peserta Pembaruan Karismatik Katolik benar-benar mau menyediakan “saat-saat teduh” setiap hari, guna menyambut sapaan Allah. Hingar-bingar Kebangunan Rohani atau Seminar Besar perlu dilengkapi dengan keheningan perjumpaan mesra dengan Sang Kristus. Baiklah peserta Pembaruan Karismatik Katolik meneruskan tradisi bagus dengan mengikuti secara teratur pembinaan dalam Persekutuan Doa yang sehat. Di sana gairah untuk hidup baru dapat diuji oleh kesetiaan berdoa, mendalami Kitab Suci, ajaran, dan tradisi Gereja dalam kebersamaan.
Syukurlah kalau makin banyak yang terpanggil untuk mengembangkan komunitas-komunitas basis imani, yang dapat menjadi sel-sel Gereja: entah dengan tinggal bersama, entah dengan pertemuan berkala yang intensif. Kami juga ingin mendukung dan mendorong pelbagai program bina lanjut yang sudah mulai berkembang di banyak tempat. Hendaknya isi semakin dicermati sedangkan cara semakin dipadukan.
28. Dalam lingkungan karismatik kerap muncul segi kenabian, yang dalam seluruh hidup Gereja sejak dahulu kala sampai sekarang sudah penting. Dahulu kala, proses seorang nabi mengenali kehendak Allah terjadi kadang kala dengan mengucapkan kata-kata yang tidak mudah dipahami orang lain. Namun, kita sama-sama mengalami bahwa hal itu bukan pokok dari kenabian sendiri. Oleh karena itu, sifat kenabian tidak dapat dibatasi hanya dalam bentuk pengucapan kata-kata yang tidak dapat dipahami orang lain. Dalam peristiwa itu kita dapat diteguhkan dalam beriman atau dapat meletakkan harapan kita di tangan Tuhan serta dapat terdorong untuk bertobat. Sejak beberapa waktu, Gereja malah diajak untuk lebih banyak terlibat dalam gerakan-gerakan sosial. Demikianlah orang menangkap aneka bahasa yang dipakai Roh Allah untuk menyatakan kehendakNya.
Itulah sebabnya mengapa terasa persatuan Pembaruan Karismatik dengan seluruh umat Allah, apabila ada peserta Persekutuan Doa yang bernubuat. Persekutuan itu akan semakin teguh apabila kurnia bernubuat dimengerti dengan mengingat latar belakang kenabian yang sejak Perjanjian Lama sudah dikenal di kalangan umat Allah. Karunia ini erat berkaitan dengan pengutusan. Nubuat sejati mau mengungkapkan kehendak Allah pada saat dan tempat tertentu dan perlu selalu diuji oleh umat melalui orang yang bertanggungjawab. Pada kasus-kasus tertentu, kurnia ini malah perlu diuji oleh Pemimpin Resmi Gereja Setempat, yaitu Uskup.
29. Dalam semangat yang sama, kami memahami “bahasa Roh” secara gerejawi pula. Dalam Gereja ada tradisi berdoa / bernyanyi dalam bahasa Roh, seperti tersirat dalam 1 Kor 14 dan Rom 8:26-27. Orang tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Di situ ia membangun diri. Maka, bahasa Roh merupakan suatu cara berdoa. Tidak seorangpun mengerti bahasanya, maka sering disebut “bahasa cinta”. Jenis ini aktual ada dalam Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia. Pengucapannya bukan tidak sadar. Tetapi buah bahasa Roh adalah membawa sesuatu yang baru kepada manusia. Sesuatu yang baru itu terasa membawa keselamatan kepada manusia. Kami ingin mengajak semua bersatu dalam iman yang benar dan dalam bakti kita kepada Roh yang mau membarui muka bumi secara menyeluruh; seraya mengimbau agar “bahasa Roh” dalam keluarga karismatik dipakai secara bijaksana.
30. Karunia Penyembuhan sering menonjol sekali dalam Pembaruan Karismatik Katolik. Banyak orang justru mendapat peneguhan iman karena peristiwa penyembuhan, entah penyembuhan lahiriah, entah penyembuhan batiniah. Kami menangkap keseluruhan peristiwa penyembuhan tersebut dalam kerangka iman akan hadirnya Kerajaan Allah dan bahwa Roh berkarya. ((Bdk. Luk. 4:18-19)) Kita meyakini bahwa yang terpenting dalam setiap peristiwa penyembuhan Perjanjian Baru adalah semakin berimannya orang yang disembuhkan maupun orang yang di sekitarnya. Di sana terasakan oleh manusia seutuhnya, bahwa “shalom” Allah dianugerahkan kepadanya melalui Sang Putra berkat kuasa RohNya. Keselamatan itu membangun manusia kembali, membuatnya utuh lagi, membersihkannya dari jejak kedosaan, dan memulihkan hubungannya dengan Allah dan sesama. Pemulihan itu dapat tampak, walau tidak selalu, dalam wujud penyembuhan lahiriah.
Maka, marilah kita ingat bahwa dalam Gereja Katolik penyembuhan yang menyeluruh bagi hubungan manusia dengan Allah itu terungkap lengkap dalam sakramen-sakramen. Sebab di sana secara secara gerejawi diakui bahwa manusia disentuh Allah seluruhnya. Bahkan ada sakramen-sakramen yang secara resmi merayakan Allah, Sang Penyembuh, yang membawa kesehatan lahir batin, yaitu Sakramen Tobat dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Di sana penyembuhan diletakkan dalam kerangka iman dan diserahkan kepada kebijaksanaan Allah. ((Sayang, bahwa kesadaran ini menipis, karena sakramen-sakramen tersebut kurang dihayati secara menyeluruh)) Kami menganjurkan agar Pembaruan Karismatik Katolik lebih menghidupkan kembali perayaan sakramen-sakramen, terutama kedua sakramen itu.
Dalam pengertian itu kami yakin, bahwa Sakramen Ekaristi tidak seyoganya dikacaukan dengan acara-acara penyembuhan. Sebab di sana yang dirayakan adalah penyerahan diri Yesus di salib demi penebusan kita dan persatuan kita. Itulah peristiwa penyembuhan agung seluruh umat manusia. Jadi, Ekaristi sendiri adalah perayaan penyembuhan yang paling utama. Perayaan Ekaristi sendiri, bila dihayati secara khidmat dan khusuk dapat membawa ketenangan hati, kesembuhan rohani, dan pemulihan hubungan sosial. Tuhan dirasakan hadir sebagai penyelamat lahir batin. Lebih jauh lagi, kita perlu lebih mengimani arti salib, penderitaan, dan maut secara kristiani, yaitu bahwa salib betul-betul jalan kemuliaan Tuhan. Ternyata, Bapa memuncakkan kasihNya justru dalam penderitaan dan Salib itu. Sebab, penyerahan Diri Yesus Kristus dalam kematianNya adalah jalan satu-satunya ke arah “Penyembuhan Menyeluruh”, yaitu terpulihkannya hubungan Allah dengan manusia. Kecuali itu, ada penderitaan manusia yang disebabkan kesalahannya sendiri; namun ada pula penderitaan yang, seperti pada Ayub, diizinkan Tuhan dengan maksud mulia, yaitu demi keselamatan diri sendiri maupun sesama.
31. Dalam Pembaruan Karismatik Katolik ada kebiasaan yang serupa dengan kebiasaan jaman Gereja Perdana, yaitu Penumpangan Tangan. Kita mewarisi tradisi untuk menumpangkan tangan pada orang yang kita doakan. Tanda kepercayaan itu terjadi pula dalam Sakramen Imamat. Dalam Persekutuan Doa, tentu saja penumpangan tangan tidak mempunyai fungsi sakramental. Di situ secara inderawi kita bergabung dengan sesama untuk mengungkapkan iman kepada Allah yang penuh kasih dan memohon berkatNya. Sekali lagi, tampak bahwa kita dapat mengungkapkan keyakinan yang terdalam dengan isyarat dan perilaku yang menyentuh hati. Semoga orangnya benar-benar tersentuh Roh dan menerima berkat Allah.
32. Kalau kita membarui iman semacam itu, maka kita akan sadar, bahwa akhirnya seluruh hidup orang beriman merupakan karunia alias karisma Tuhan. Karisma-karisma Allah dapat berupa sesuatu yang mencolok, seperti karunia bernubuat dan berbahasa roh, tetapi juga ada buah-buah Roh yang penting, misalnya penguasaan diri, disiplin, ketekunan, dan kebijaksanaan harian. Sepantasnya kita memperluas pemahaman tentang karya Roh yang melampaui satu-dua anugerah yang menakjubkan. Sebab, Tuhan berbicara kepada umatNya melalui cara apapun yang Ia kehendaki. Kita percaya bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Ia menganugerahi kita sesuai dengan kehendakNya. Maka kita tidak perlu mendesak-desak Tuhan melakukan mukjizat dengan cara yang kita tentukan. Kepercayaan ini hendaknya menguatkan kita untuk tidak putus-putusnya menyejahterakan hidup kita, namun sekaligus berserah diri kepada perkenanNya sebagaimana Dia kehendaki.
Dengan demikian, diharapkan menjadi jelas, bahwa “menerima karunia” seperti misalnya disebut-sebut oleh Paulus, bukanlah berarti ” memiliki sejumlah keistimewaan dan teknik khusus dalam berdoa atau melayani umat”, melainkan “suatu cara untuk mewujudkan iman kristiani“. Karisma Roh adalah suatu pelayanan untuk membangun jemaat Kristus: di situ Roh berkarya dan menyelamatkan umatNya. Dengan sikap ini kita dapat mengatasi godaan untuk secara berlebihan mengangkat salah satu karunia. ((Bdk. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.12)) Sebab setiap karunia tidak ada artinya bila tanpa iman, pengharapan dan cinta kasih. ((Bdk. 1 Kor. 13:4-7)) Maka karunia fisik dan kejiwaan apa pun tak berarti bila tidak dirangkum dalam kerendahan hati dan kasih Kristus serta berguna bagi umat. ((Bdk. 1 Kor. 14:12 dan Fil. 3:8)) Orang yang diberi karunia Roh harus juga mencerminkan buah-buah Roh dalam hidup hariannya. ((Bdk. Gal.5:19-22))
33. Kami hargai bahwa dalam Pembaruan Karismatik Katolik “segi kontemplatif” hidup kristiani dicoba dipadukan dengan “segi aktif”nya, sehingga tidak terpisah-pisahkan. Hal itu dapat membantu orang katolik untuk tidak hidup dalam dua dunia: ketika sembahyang lain dengan ketika bekerja. Maka orang menjadi pelaksana pembaruan hidup kristiani dalam Roh apabila ia mengarahkan doa dan kontemplasinya pada tindakan pelayanan serta persatuan dengan seluruh umat maupun masyarakat dan mengisi kegiatan hariannya dengan bakti sejati kepada Allah. Perpaduan antara segi kontemplatif dengan segi aktif itulah yang sesungguhnya akan menolong Gereja untuk lebih mudah menangkap tanda-tanda jaman: memahami, merasakan, dan mengikuti, juga melaksanakan dorongan Roh Kudus, demi kemuliaan Nama Allah di tengah karya sehari-hari.

IV. DINAMIKA DAN PRANATA PEMBARUAN KARISMATIK

A. ROH DAN KATA-KATA

34. Di kalangan umat pada umumnya dan Pembaruan Karismatik Katolik pada khususnya tersebar tradisi untuk menjadi pewarta Injil. ((Kebiasaan ini sering disebut dengan kata “penginjilan”. Tetapi kata itu menjadi terlalu dekat dengan kata “penginjil”, yaitu pengarang Injil, dan tidak begitu menguntungkan untuk umat. Apalagi lalu diciptakan kata kerja “menginjili”, seakan-akan kata Injil adalah sesuatu yang melulu kata verbal dan dapat diberikan oleh manusia. Padahal Injil mengacu kepada Kristus sendiri dan menyangkut seluruh hidupNya. Komplikasi itu bertambah kalau dikaitkan pula dengan dunia politik, yang mudah merangkaikannya dengan “usaha penginjilan dan kristenisasi”. Barangkali lebih baik kalau kita semakin lama semakin menghindari istilah “evangelis”, “penginjilan”, “menginjili” dsb. Lebih baik kita mempergunakan istilah “Kabar Gembira”, “mewartakan Kabar Gembira”, “pewartaan…”dsb)) Di situ bergemalah tradisi dari Gereja Perdana sampai sekarang, yaitu bahwa sejak baptis umat kristiani memang ditugasi untuk mewartakan Kabar Baik. Kabar tersebut termaktub dalam Yesus Kristus yang dikenal melalui Perjanjian Baru. Maka, pewarta Injil membawa tugas penting, yaitu mewartakan pesan Allah sendiri.
Syukurlah bahwa Pembaruan Karismatik Katolik juga ikut menyebarkan gairah membaca Kitab Suci. Di tengah meningkatnya minat pada pembacaan Kitab Suci dan pewartaan itu sangat terpujilah inisiatif beberapa pihak untuk mengadakan penataran serius agar orang benar-benar menangkap baik arti kata-kata maupun latar belakang rohani dari ayat-ayat Kitab Suci. Kita semua tahu, bahwa maksud Tuhan tidak kita tangkap dengan baik apabila kita hanya mencupliki ayat-ayat yang sesuai dengan kebutuhan kita tanpa memperhitungkan konteks luas. Kita sadar bahwa kalau suatu kelompok atau seseorang tidak mempunyai kemampuan untuk menafsirkan Kitab Suci atau naskah ajaran Gereja secara baik, betul-betul diperlukan bantuan dari orang lain yang tahu dan mampu, entah seorang imam entah seorang yang cukup terdidik dalam tafsir Kitab Suci.
35. Dengan cara tersebut dapatlah kita terselamatkan dari bahaya penafsiran harafiah atas Kitab Suci, yang sering dilakukan oleh orang-orang fundamentalis. Mereka mengira menemukan dasar (=fundamen) hidup mereka pada ‘kata-kata’ dan huruf dalam Kitab Suci. Padahal, iman kita lebih menghubungkan kita dengan Roh yang ada di balik kata-kata itu, yang mengaruniakan Sabda Bapa serta menghubungkan dengan semangat hidup baru dalam Yesus, yang mendasarkan diri pada keseluruhan isi Kitab Suci. Kemampuan untuk menafsirkan Kitab Suci dengan baik dan kesediaan untuk mengikuti penataran-penataran tentang Kitab Suci dan ajaran Gereja dapat membantu kita semua supaya dapat melayani Persekutuan Doa, membimbing Sekolah Minggu, menyampaikan homili dan renungan secara khidmat dan bertanggungjawab. Terus menerus belajar dapat juga menolong kita untuk mengadakan dialog dengan siapa pun mengenai Kitab Suci dan kebenaran-kebenaran iman.

B. ROH DAN ORGANISASI

36. Kami melihat bahwa akar terpenting Pembaruan Karismatik Katolik adalah kasih tanpa batas dari Roh Kudus kepada manusia dan jawaban manusia yang disentuhNya. Maka, ‘hukum utama’-nya adalah kasih Allah. Namun karena kita manusia, maka Allah memakai prasarana-prasarana manusiawi, seperti organisasi dan pranata-pranata.
Pada waktu kelompok masih kecil, banyak hal dapat diselenggarakan dengan sederhana dan secara kekeluargaan. Tatkala harus bekerja sama dengan banyak orang, juga kalau itu berkaitan dengan pewartaan Kabar Gembira, yang bersifat rohani namun mengandung unsur-unsur manusiawi (seperti kata-kata, buku dan uang), diperlukanlah sekedar kerangka kerjasama. Kerangka ini mudahnya disebut pranata kerja. Kami dapat memahami bahwa Pembaruan Karismatik Katolik yang menekankan sifat “dinamis dalam mendengarkan bisikan Roh”, memerlukan upaya tersendiri dalam urusan pengorganisasiannya. Di satu pihak diperlukan pranata, di lain pihak jangan sampai gerak Roh terhambat karenanya.
37. Gereja Katolik mempunyai pengalaman manis maupun pahit dengan urusan organisasi. Ada masa ketika organisasi Gereja amat ketat, sehingga hampir segalanya diatur dari pusat. Ada pula masa tatkala orang tidak mempedulikan pranata kerja dan kesepakatan, sehingga mudah terjadi kesalahpahaman dan penyelewengan ajaran maupun praktek hidup beriman seperti misalnya di jaman banyak bidaah pada abad-abad pertama Gereja.
Pembaruan Karismatik Katolik juga merupakan pembaruan hidup beriman: artinya sekaligus mengandung unsur-unsur batin tetapi menyangkut pula banyak unsur lahiriah, seperti organisasi. Unsur organisasi tersebut dapat berkaitan dengan ajaran atau praktek hidup bersama. Wajar kalau Roh diberi kesempatan untuk menjadi isi pokok dalam pembaruan karismatik namun masih dibantu dengan pranata kerja yang justru bertujuan mendukung gerakan Roh.

C. BADAN PELAYANAN NASIONAL DAN KELOMPOK BASIS

38. Dalam perkembangannya, Pembaruan Karismatik Katolik lama kelamaan memerlukan badan yang menata pelayanan, baik di tingkat basis maupun di tingkat keuskupan, regional dan nasional, bahkan internasional. Justru demi hidupnya pembaruan terus menerus, seyogyanya dijaga supaya pembaruan sendiri terlaksana tanpa henti dalam kelompok-kelompok basis. Untuk itu, perlu sekali bahwa kaderisasi semakin diusahakan dengan serapi mungkin. Dibutuhkan banyak moderator dan pelancar yang sungguh mengetahui prinsip-prinsip Pembaruan Karismatik Katolik secara mendalam serta memiliki ketrampilan memimpin kelompok pedalaman.
39. Badan-badan Pelayanan hendaklah menolong supaya gairah dari Seminar Hidup Baru dipupuk kehangatannya melalui pendalaman bina-lanjut serta ketekunan dan kesetiaan dalam mengikuti persekutuan doa. Kelompok-kelompok Persekutuan Doa hendaknya terus menerus dibantu untuk tanpa kenal lelah memurnikan diri menjadi persekutuan rohani, terkokohkan menjadi tempat orang menimba inspirasi rohani bagi keterlibatan harian dalam karya dan pergaulan luas serta terkuatkan dalam kerjasama dengan kelompok lain. Banyak Persekutuan Doa terbentuk karena kesamaan minat, kesibukan dan pengalaman batin. (Maka dari itu dengan bantuan tersebut di atas melalui Persekutuan Doa dapat ditumbuhkan komunitas  basis gerejawi yang mendalam rohaninya, luas pengetahuan imannya, tepat pemahamannya dan tekun penghayatannya.) Pantaslah diarahkan, agar doa-doa, pendalaman Kitab Suci maupun ajaran Gereja mendorong peserta melaksanakan hidup sehari-hari dalam keluarga, kampung, paroki dan tempat bekerja sebagai orang kristiani yang sejati.
Perlu diperhatikan pula persekutuan doa ekumenik. Terutama, Badan-badan Pelayanan perlu menjaga dan melindungi saudara saudari yang baru menjadi katolik, yang masih lemah kekatolikannya, dan masih sedikit pengetahuan imannya. Sebaiknya mereka ini tidak diperkenankan turut serta dalam persekutuan doa ekumenik. Selanjutnya, baiklah kita bersemangat Injil: bersatu dengan para pengganti Petrus menantikan kedatangan Yesus yang mulia. ((Bdk. Yoh. 21:1-14)) Artinya, kita setia kepada Gereja kita dalam semangat iman yang terbuka. Bila demikian kita tidak perlu risau bila ada orang yang berusaha menarik-narik saudara kita memasuki himpunan mereka. Namun demikian kita memang perlu memiliki kesetiakawanan tinggi sebagai satu persekutuan. Perlulah kita menolong saudara-saudari yang tertarik untuk ‘mencari hiburan sabda’ di luar Gereja Katolik, dan mengusahakan agar liturgi dan pewartaan sabda kita sungguh mengena di hati manusia masa kini. Di lain pihak kita perlu tahu, bahwa Tuhan bersabda tidak pertama-tama untuk menyenangkan manusia, melainkan untuk ‘menyatakan kehendakNya’.
Dalam kaitan ini, kami berharap agar Badan Pelayanan Keuskupan lebih memperhatikan supaya umat tidak mudah mengambil alih kebiasaan dan lagu-lagu yang berasal dari tradisi dan teologi yang tidak sesuai dengan khasanah Gereja Katolik. Kami mendukung upaya-upaya untuk menciptakan lagu-lagu baru yang sesuai dengan penghayatan umat masa kini dan menyapa banyak orang.
40. Rangkaian kelompok-kelompok basis memerlukan pranata kerjasama yang rapi. Kami bergembira bahwa sejak beberapa saat dibentuk Badan Pelayanan Keuskupan, Badan Pelayanan Regional, dan Badan Pelayanan Nasional. Badan ini mau menjadi wadah, agar kelompok-kelompok basis memperoleh kemudahan dan bantuan lahir-batin. Maka dari itu, Badan Pelayanan Keuskupan, Badan Pelayanan Regional, dan Badan Pelayanan Nasional bertugas tidak hanya mengorganisasi pertemuan nasional melainkan juga merangsang terjadinya pembaruan tanpa henti dalam semua kelompok basis dan dalam taraf nasional. Dengan demikian badan-badan ini tidak membekukan melainkan justru merangsang kehidupan dalam Pembaruan Karismatik Katolik. Hal ini dapat terjadi dengan pertemuan-pertemuan, persekutuan-persekutuan, ((Ini sering juga disebut “fellowship”)) tetapi juga dengan edaran-edaran serta cara-cara kerjasama lainnya.
41. Khususnya, kami ingin mendukung usaha Badan Pelayanan Keuskupan, Badan Pelayanan Regional, dan Badan Pelayanan Nasional untuk memajukan terus program-program bina lanjut yang sudah dimulai secara lebih terpadu. Peningkatan pemahaman akan tafsir Kitab Suci yang benar dan akan ajaran Gereja serta tradisinya dapat meningkatkan mutu hidup beriman umat. Para Moderator ditugasi dan dipercaya untuk menilik, agar program-program pendidikan peserta maupun pewarta benar-benar sesuai dengan kebutuhan umat dan selaras dengan ajaran Gereja, sebab pewartaan Gereja adalah pewartaan Sabda Tuhan. Dengan demikian kita berpartisipasi dalam pengutusan Gereja yang ditugasi Kristus, Sang Pewarta Utama. Terutama perlu diperdalam usaha memadukan bina iman dengan penerimaan sakramen-sakramen. Dalam perkara yang penting kami yakin para Moderator tidak segan-segan mengadakan konsultasi dengan Keuskupan dan Seminari-seminari Tinggi demi keserasian ajaran. Dengan begitu, semoga tercipta pula komunikasi timbal balik yang lebih akrab.
42. Dengan gembira kami menyaksikan berkembangnya tradisi konvensi-konvensi daerah, regional, dan nasional. Ternyata konvensi-konvensi tersebut dapat diteruskan dan dikembangkan untuk memadukan rasa kebersamaan dan menjadi sarana pendalaman iman melalui lokakarya dan seminar-seminar. Agaknya sumbangsih para pakar teologi, psikologi, dan ilmu-ilmu lain masih dapat lebih dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu kita bersama. Perlu dicermati agar jarak antara konvensi, kebangunan rohani yang satu dengan berikutnya tidak terlalu dekat. Yang penting, bagaimana itu berpengaruh pada hidup bersama sebagai Persekutuan Doa dan pada hidup harian masing-masing sebagai pribadi.
43. Tim-tim pelayanan Persekutuan Doa, Badan Pelayanan Keuskupan, Badan Pelayanan Regional, dan Badan Pelayanan Nasional sudah berkembang di banyak tempat. Kami harap, koordinasi pelayanan sungguh diupayakan, sebagaimana telah ditunjukkan dalam Surat Gembala KWI mengenai Pembaruan Karismatik Katolik tahun 1993. Hendaknya mutu ditingkatkan dengan organisasi yang lebih baik, studi terus menerus, refleksi tanpa henti, dan penataran yang dapat diandalkan.
Kelompok Persekutuan Doa kategorial sudah semakin banyak yang tumbuh. Mereka itu perlu lebih diperhatikan lagi dalam hal isi pewartaan dan koordinasi pelayanannya. Kami meminta agar Badan Pelayanan Nasional, Badan Pelayanan Regional, Badan Pelayanan Keuskupan, dan semua badan pelayanan mengusahakan terbentuknya kader-kader berbobot: baik untuk Pembaruan Karismatik Katolik sendiri maupun untuk Gereja luas. Hal itu hanya mungkin kalau Pembaruan Karismatik Katolik lebih memperhatikan pelayanan dan pendampingan kaum muda.
Lebih dari pada itu, seyogyanya Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia lebih erat bekerjasama dengan Badan Pelayanan Internasional untuk Pembaruan Karismatik Katolik (ICCRS) yang sudah disambut ke dalam Kongregasi Suci untuk Kerasulan Awam.

D. PEMBARUAN KARISMATIK DAN HIERARKI

44. Dari uraian Paulus dalam 1 Kor. 12-14 kita mendapat penjelasan, bahwa sejak semula disadari betapa segala kegiatan Gereja sebagai wujud karisma Roh itu bisa bermakna ganda, sehingga memerlukan penelitian batin terus menerus. Bagi Paulus, tidak setiap kali orang berbicara bahasa asing itu dari Roh, dan tidak setiap kali ada penyembahan itu pasti dari Roh, serta tidak setiap kepandaian bicara itu dari Roh. Umat memainkan peran penting dalam menentukan sejauh manakah sesuatu itu dari Roh. Maka dari itu, wakil umat, yaitu pemimpin Gereja, perlu mendapat kepercayaan untuk mengambil bagian dalam mengambil keputusan, sehingga diperoleh penjelasan yang tegas: manakah yang dari Roh Kudus. Itulah peranan hierarki, yang mendapat karunia khusus pula untuk memimpin.
45. Kalau menyangkut pewartaan, marilah kita sadari, bahwa pewartaan dalam Gereja bukanlah pewartaan pendapat sendiri melainkan pewartaan Sabda Allah, seperti diakui dan diajarkan oleh Gereja Semesta. Hierarki merupakan instansi yang melayani seluruh umat dalam memperoleh kepastian pemahaman sejati mengenai Sabda Tuhan. Maka, pengesahan dari hierarki senantiasa merupakan persyaratan dasar dalam pewartaan kita. Oleh karena itu, setiap pelayan pewartaan resmi dalam Gereja kita perlu memperoleh pengangkatan dari Uskup setempat atau yang diberi kuasa untuk itu. ((Bdk. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.12)) Hendaknya Badan Pelayanan Nasional, Badan Pelayanan Regional, dan Badan Pelayanan Keuskupan membantu agar pedoman kita ini terlaksana dengan baik.
46. Kami dapat merasakan beratnya tugas Badan Pelayanan Nasional, Badan Pelayanan Regional, dan Badan Pelayanan Keuskupan dalam menciptakan kader-kader untuk mewartakan Sabda Tuhan secara bertanggungjawab. Oleh karena itu, kami mendukung keinginan untuk meningkatkan kemampuan para pewarta. Sudah ada sejumlah sekolah pewarta. Hendaknya mutu mereka senantiasa ditingkatkan. Kerjasama dengan Lembaga Pendidikan Imam, Lembaga Pendidikan Kateketik, serta dengan pelbagai pakar dalam hal itu dapat memperkaya semua pihak.
47. Kami ingin mengajak para imam untuk memperhatikan kebutuhan terdalam umat secara keseluruhan. Adalah tugas hirarki untuk menjaga persatuan: baik secara positif dengan mendukung gerakan pemersatuan maupun dengan mengusahakan persatuan apabila ada gejala-gejala perpecahan. Memang masing-masing imam dapat memiliki kecenderungan pribadi terhadap cara beriman tertentu. Akan tetapi, pengutusan imam sebagai pemersatu umat menuntut kesediaan untuk menjalankan pelayanan pemersatuan dan pemulihan persatuan iman. Ternyata, semakin banyak Persekutuan-persekutuan Doa yang ingin berbakti dengan baik dan membutuhkan bimbingan, khususnya dari imam setempat.

E. PEMBARUAN KARISMATIK KATOLIK DAN USAHA-USAHA PEMBARUAN LAIN

48. Kita tahu bahwa pencinta Roh Kudus ada dalam seluruh Gereja. Roh Kudus hidup di semua anggota umat dan pada segala tingkat umat. Maka pembaruan hidup dalam Roh Kudus mempunyai tempat dalam Gereja dan merupakan satu dari sekian banyak arus pembaruan rohani yang diterbitkan oleh Roh, baik dalam kelompok maupun perseorangan. Oleh karena itu, diperlukan pula komunikasi dan kerjasama antara Pembaruan Karismatik Katolik dengan badan-badan pembaruan lain, seperti Kelompok Pembaruan Hidup Kristiani, Legio Mariae, Marriage Encounter, Couples for Christ, dsb. Hal itu juga dapat membantu semua pihak untuk belajar satu sama lain dan tetap terbuka pada pembaruan.
49. Tugas para pemimpin dalam kelompok pembaruan tidak mudah. Di satu pihak harus mendorong dinamika pembaruan terus menerus, di lain pihak perlu juga menjaga persatuan yang kadang kala meminta keteraturan tertentu. Kadang kala perlu membimbing kelompok secara khas, namun usaha itu tidak perlu membawa fanatisme. Pantas pula kita membuka mata kelompok pada cakrawala hidup Gereja yang lebih luas, tanpa mengaburkan kekhasan kelompok. Meski sulit, kami berharap bahwa para pemimpin semua kelompok menjadi jembatan saling memahami dan jembatan komunikasi apabila terjadi ketegangan, seperti dalam semua bentuk hidup bersama.
50. Dalam konteks ini perlu juga diingat bahwa pembaruan karismatik berlangsung baik di kalangan umat protestan maupun katolik. Dalam banyak kesempatan ada pertemuan ekumenik. Konsili Vatikan Kedua sudah menunjukkan tekad Gereja Katolik untuk menggiatkan ekumene. Bahkan Gereja Katolik mengakui bahwa dapat memperoleh buah banyak dari perjumpaan ekumenik. ((Bdk. Dekrit Konsili Vatikan II mengenai Ekumene, a.4)) Maka ekumene dapat pula terlaksana, bahkan sudah sering terjadi dalam pembaruan karismatik. Namun, ekumene tidak perlu disamaratakan dengan asal berdoa bersama dan menerima apa-apa saja yang dilakukan oleh umat atau Gereja lain. Ekumene yang baik memiliki tolok-ukur sebagai berikut: pesertanya secara tulus saling menghargai, memiliki sikap tahu diri yang sehat, serta mengenal tradisi maupun ajaran Gerejanya masing-masing. Ekumene dalam Pembaruan Karismatik dapat didukung dan disuburkan kalau sekaligus mendorong meningkatnya pengetahuan dan pengamalan kebiasaan, maupun prinsip ajaran serta hidup sakramental katolik. Dengan demikian rekonsiliasi dengan saudara-saudara kristen non-katolik menjadi suatu proses yang sehat.

F. SALING MENGHARGAI

51. Mengikuti pesan Rasul Paulus, kita tahu bahwa hidup Roh dan usaha menyuburkan karunia-karunia dalam Gereja hanya dapat terlaksana dengan saling menghargai. “Telinga tidak dapat membuang tangan, hanya karena tangan tidak dapat mendengar”. ((Bdk. 1 Kor. 12:21)) Maka, secara intern seyogyanyalah kita saling menghargai di kalangan Pembaruan Karismatik.
Lebih jauh lagi, baik peserta maupun para pemimpin diajak untuk mengembangkan suasana saling menghargai dengan kelompok dan pemimpin-pemimpin kelompok lain dalam Gereja. Dalam hal ini kita harus menyebarkan cinta kasih, yang merupakan inti dasar dari karunia Roh. ((Bdk. 1 Kor. 13:1-3)) Kita diundang untuk membagikan dan menghidupkan persahabatan. Persaudaraan kita seyogyanya juga tampak dengan hidup rukun dan bekerja sama dalam membangun Gereja dan masyarakat.

V. ROH TERUS MENERUS MEMBARUI KITA

A. “DISCRETIO SPIRITUUM”

52. Roh itu Maha Sempurna, Ia jauh lebih besar daripada manusia, dan tidak dapat ditangkap sepenuhnya dengan seluruh gejala hidup manusiawi. Kita tahu bahwa ucapan atau tindakan yang kelihatannya saleh belum tentu sungguh dari Roh. Demikian pula, tidak semua yang tampaknya tidak suka dengan kita, betul-betul musuh kita. Matius mengingatkan kita “tidak semua yang berseru ‘Tuhan, Tuhan’ akan masuk Kerajaan Surga”. ((Mat. 7:21))
Marilah kita semua membarui iman kita bahwa daya kekuatan Roh Kudus merupakan sendi penciptaan dan penyelamatan serta pengudusan kita. Dalam Roh-lah Bapa memberikan diriNya, mengutus Sang Putra, dan mendampingi perjalanan ziarah Gereja. Iman ini perlu kita ulang lagi dan lagi di tengah jaman yang semakin percaya kepada kekuatan manusia sendiri dan menjadi semakin sekular. Namun dalam kepercayaan itu marilah kita menghindarkan diri dari godaan untuk menyamakan karya Roh dengan pelbagai tindakan kita sendiri. Bersama Yohanes kita dapat berkata, “Janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah. ((1 Yoh. 4:1a)) Dalam tekad itu kita bersatu.
53. Marilah kita semua meneliti batin kita masing-masing untuk benar-benar melangkah dalam Roh. Kita dapat mengaktualkan tindakan-tindakan sekular penuh rasionalisasi sebagai bisikan Roh, kita juga dapat tergelincir menganggap inspirasi spektakuler kita sebagai perbuatan Roh. Dalam gairah waktu bertobat, dapat saja kita terdorong untuk mengambil keputusan besar. Namun, hal itu harus ditindak-lanjuti dengan pendalaman pemahaman dan pendampingan orang yang lebih tahu akan gerak Roh dalam manusia: mana dorongan dari Roh yang baik dan mana dari sumber lain. Diperlukan penyadaran Roh yang jernih agar kita secara tegas lebih menangkap, sejauh manakah Roh benar-benar di balik segala perbuatan kita. Di situlah kita temukan wujud nyata dari hidup beriman dalam hidup sehari-hari. “Discretio Spirituum” semacam itu amat diperlukan oleh umat. Salah satu ukuran yang dapat ditemukan secara sederhana adalah: sejauh mana gerakan itu mengakibatkan cinta yang semakin besar kepada saudara-saudara Tuhan yang membutuhkan bantuan. Khususnya para pemimpin kelompok hendaklah unggul dalam menolong umat dan melaksanakan sendiri ‘discretio’ itu.
54. Dalam kerangka itu, kami meminta agar Badan Pelayanan Nasional, Badan Pelayanan Regional, dan Badan Pelayanan Keuskupan pertama-tama menjadi instansi untuk semakin menghidupkan iman kepada Roh dengan menyebarluaskan ‘discretio’ yang sejati. Badan Pelayanan Nasional Karismatik Katolik hendaknya terutama mengambil peranan rohani. Pelbagai pranata dan langkah yang dilaksanakan dalam rangka pelayanan nasional hendaknya merupakan buah dari ‘discretio’ dan mendorong dilaksanakannya ‘discretio’ terus-menerus dalam segala lapisan pembaruan hidup kristiani.
55. Para imam dan pemuka umat kami ajak untuk secara lebih penuh menyerahkan diri kepada daya kekuatan Roh dan menolong umat untuk lebih teliti mengkaji segala sesuatunya dengan “discretio” sejati.
Dalam proses itu, diperlukan tobat dan pembaruan terus-menerus. Pembaruan Karismatik Katolik dapat mendorong sikap tobat itu kepada orang-orang di luar kelompok mereka. Namun pertobatan dan pembaruan terus-menerus terutama harus menjadi darah daging Pembaruan Karismatik, sehingga Pembaruan Karismatik Katolik secara hakiki dan internal adalah gerakan yang unggul dalam membarui diri tanpa henti.
Begitulah, kesediaan untuk menyadari keberimanan di tengah kesibukan sehari-hari dapat mendorong sikap setia dan sekaligus kritis dalam gerak menggereja.

B. PEMBARUAN KARISMATIK DAN KETERLIBATAN SOSIAL

56. Arah yang seyogyanya kita tuju adalah saling membantu agar Roh Kudus sungguh memenuhi hidup kita. Salah satu petunjuk yang dapat membantu kita untuk mengetahui sejauh manakah kita didorong oleh Roh Sejati, adalah dengan memeriksa, bagaimanakah kita bersikap kepada kepentingan umat dan masyarakat yang lebih luas. Dalam proses itu, pembaruan iman kepada Roh Kudus perlu semakin disambungrasakan dengan segi profetik iman yang lebih menyeluruh: baik menyangkut segi hidup batin perseorangan dan kelompok maupun segi penyelamatan seluruh umat manusia, rohaniah dan jasmaniah. Kita perlu lagi dan lagi menyediakan diri untuk bergabung dengan seluruh dinamika Gereja yang sejak awal sampai sekarang senantiasa mau menggabungkan doa dengan perbuatan sosial. ((Bdk. Luk. 4:18-19 dan Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.8)) Kita menyaksikan bagaimana umat Gereja Perdana yang amat menyadari kehadiran dan karya Roh Kudus itu bertekun dalam ajaran para Rasul dan saling membagi harta.
57. Oleh karena itu, kita perlu bersyukur bahwa banyak peserta Pembaruan Karismatik Katolik yang semakin mampu mengintegrasikan doa dan bakti-sosial. Sementara itu, Pembaruan Karismatik Katolik dapat menolong Gereja untuk memberi isi rohani kepada kegiatan-kegiatan sosial. Dalam hal ini baiklah membuka diri terhadap teladan baik dari para Pemimpin Gereja, yang semakin melihat bahwa iman katolik mendesak kita untuk “mendahulukan saudara-saudari yang berkesusahan”.

C. PEMBARUAN TERUS MENERUS

58. Akhirnya marilah kita berusaha agar melihat pembaruan hidup dalam Roh menjadi dasar bersama kita. Sebab dengan demikian kita menjunjung tinggi kebersamaan kita sebagai murid-murid Sang Guru, ialah Yesus Kristus. Marilah kita saling membantu supaya dapat menempatkan pembaruan hidup dalam Roh sebagai jiwa hidup Gereja, kalau mau terus-menerus membarui diri. Kami menghimbau keluarga karismatik untuk senantiasa melaksanakan upaya pembaruan hidup dalam Roh dalam kesatuan dengan Gereja-Gereja setempat, di mana pun mereka berada.
Semoga Bapa yang penuh kasih dan Sang Putra yang menyelamatkan kita senantiasa menyertai jiarah kita untuk menjadi umat yang kudus dalam Roh Persatuan.

PENUTUP

59. Pada bagian awal pedoman ini ditegaskan tentang iman Gereja Perdana, yakni bahwa yang mempersatukan kita adalah Roh Kudus, Roh Persatuan. “…dengan perantaraan Roh, Ia membentuk tubuhNya, yakni Gereja sebagai sakramen keselamatan…” ((Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, a.48)) Karena Roh Cintakasih itulah yang menjiwai seluruh Gereja, maka marilah kita mohon agar Roh itu pula yang menghidupkan seluruh umat, dan Roh itu juga yang membarui hidup kita, lahir maupun batin.
60. Semoga dengan demikian, terlaksanalah harapan yang diserukan oleh Paulus sesudah ia membicarakan pelbagai karunia dalam umat dan sebelum ia mengemukakan bentuk konkret karunia karunia itu: “yang paling besar di antaranya ialah cinta kasih”. ((1 Kor. 13:13))
Dengan demikian, semoga “kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”. ((2 Kor. 13:13))
61. Semoga Bunda Maria, yang selalu menyatu dengan suka duka PutraNya Yesus Kristus, dan yang sejak awal Gereja bersatu pula dengan para Rasul, dan yang bersama mereka pada peristiwa Pentakosta dikukuhkan sebagai Gereja yang hidup di bawah bimbingan dan kuasa Roh Kudus, menjadi teladan sempurna maupun pengantara yang kuasa bagi perjalanan pejiarahan kita menuju Bapa, bersatu dengan PutraNya Yesus Kristus, di bawah bimbingan dan naungan Roh Kudus.

 

BAHAN BACAAN

N.B. Untuk menolong anda semua meneruskan pembaruan dengan belajar dari sumber lain, kami lampirkan di sini: sejumlah bahan bacaan dalam pelbagai bahasa. Pastilah bahan ini belum lengkap. Namun demikian kiranya cukup untuk menarik minat dan menyediakan bahan belajar lebih lanjut.
Baumert, Norbert (Hrsg.), Jesus ist der Herr: Kirchliche Texte zur Katholischen Charismatischen Erneuerung, Munsterschwarzach, 1987
McDonnel, Kilian, Communion Ecclesiology and Baptism in the Spirit: Tertullian and the Early Church, dalam ThSt 49 (1988) 671 – 693.
McDonnel, Kilian, The Holy Spirit and Power: The Catholic Charismatic Renewal, New York, 1975.
McDonnel, Kilian, dan George T. Montague, Christian Initiation and Baptism in the Holy Spirit: Evidence from the first Eight Centuries. First, amended edition, Collegeville, Minnesota, The Liturgical Press, 1991.
Koller, Johann, Charismatische Erneuerung in der Pfarre, dalam ThQ 129 (1981) 32-42.
Kramer, Peter, Kein neuer kirchlicher Verein? Kirchenrechtliche Erwagungen zur “charismatishen Erneuerung” im Bereich der deutschen Bischofskonferenz, dalam TrThZ 97 (1988) 52-63.
Kramer, Peter dan J. Mohr, Charismatische Erneuerung der Kirche. Chance und Gefahren, Trier, 1980.
Laurentin, Rene, Catholic Pentecostalism, Darton, 1977.
Mollat, Donation, L’Experience de l’Esprit dans la Nouveau Testament, Feu Nouveau, Paris, 1973.
Muhlen, Heribert, Die katholisch-charismatische Gemeinde Erneuerung, dalam StdZ 100 (1975) 801-812.
Muhlen, Heribert, “Erneuerung aus dem Geist Gottes” und “Der Geist macht lebendig. Unterschiedliche historische Wurzeln von zwei Dokumenten zur geistlichen Erneuerung, dalam GuL 61 (1988) 143-157.
Muhlen, Heribert, Das Verhaltnis von ‘innerer Taufe” und Taufsakrament: Gehort das personliche Taufbekenntnis zum Wesen der Taufe?, dalam ThGI 79 (1989) 552-567
Muhlen, Heribert, Neu mit Gott. Einubung in christliches Leben und Zeugnis, Freiburg-Basel, Wien, 1990.
Nientiedt, Klaus, Unmittelbarkeit – Eine Gnadengabe? Zur katholischen Charismatischen Erneuerungsbewegung, dalam HK 37 (1983) 368-372.
Rahner, Karl, The Dynamic Element in the Church (Quaestiones Disputatae, 12), Herder and Herder, New York, 1964.
Rey, Karl Guido, Gotteserlebruisse im Schnellverfahren: Suggestion als Gefahr und Charisma, Muenchen, 1985.
Rey, Karl Guido, Gotteserlebris in der Masse: Zur Problematik religioser Massenveranstaltungen, dalam GuL 61 (1988) 185 – 194.
Sudbrack, Josef, Der Geist der Einheit und der Vielheit. Ein Dokument zur “Erneuerung” christlichen Lebens in der Kirche, dalam GuL 60 (1987) 411-430.
Suenens, Leon Joseph, A New Pentecost?, Darton, 1975.
Sullivan, F.A., Pfingstbewegung und charismatische Gemeindeerneuerung: Geschichte-Spiritualitat-Stellungnahme, dalam GuL 59 (1986) 166 – 183.
Walsh, Vincent M., A Key to Charismatic Renewal in the Catholic Church, St, Meinrad, IN, 1975.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !