Pendahuluan
Dalam diskusi antara umat Katolik dan non- Katolik perihal Kitab
Suci, sering timbul perkataan demikian, “Mari setuju dulu bahwa Kitab
Suci adalah pegangan satu-satunya dalam iman kita”. Seharusnya,
jika kita mendengar pernyataan sedemikian, kita harus menjawab,
“Tidak”. Sebab Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian. Pandangan
yang mengutamakan “hanya Kitab Suci saja” (Sola Scriptura) atau Kitab Suci sebagai satu-satunya
pedoman iman, adalah pandangan yang menolak Tradisi Suci dan otoritas
Gereja, dan hal ini tidak sesuai dengan pengajaran Kristus dan para
rasul.
Apa itu Sola Scriptura?
Sola Scriptura adalah doktrin Protestan yang mengatakan bahwa Kitab Suci adalah “sumber otoritas yang terutama dan absolut, keputusan akhir dalam menentukan, untuk semua doktrin dan praktek (iman dan moral)” dan bahwa “Kitab suci, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak ada lagi yang lain- yang diperlukan untuk iman dan moral.” ((diterjemahkan dari Geisler, Norman L. dan MacKenzie, Ralph E., Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences (Grand Rapids: Baker, 1995) ))
Apakah yang ajaran Gereja Katolik dalam hal ini?
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Wahyu Ilahi tidak saja disampaikan kepada kita dengan cara tertulis sebagai pembicaraan Allah (speech of God)
dalam Kitab Suci, tetapi juga dalam bentuk Sabda Allah yang disampaikan
secara lisan dari Kristus dan Roh Kudus kepada para rasul. ((lih.
Katekismus Gereja Katolik no. 81, Dei Verbum 9))Pengajaran yang
bersumber dari ajaran lisan ini disebut sebagai Tradisi Suci, kemudian
juga dituliskan dan diturunkan kepada para penerus Rasul. Maka karena
sumbernya sama, maka keduanya berhubungan erat sekali, terpadu, tidak
mungkin bertentangan, karena mengalir dari sumber yang sama dan mengarah
ke tujuan yang sama yaitu Tuhan sendiri. ((lih. Katekismus Gereja
Katolik no. 80, 81, Dei Verbum 9)).
Selanjutnya dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik demikian:
KGK 82 Dengan demikian maka Gereja yang dipercayakan untuk
meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala
sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya [baik Tradisi maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama.” (Konsili Vatikan II, Dei Verbum 9).
Dengan demikian, kita ketahui Gereja Katolik tidak mengatakan bahwa
Kitab Suci “lebih tinggi/ lebih penting” dari Tradisi Suci, melainkan
menekankan kesatuan antara keduanya, yaitu Kitab Suci dan Tradisi Suci
pada tingkat yang sama, karena keduanya berasal dari Tuhan dan
mengarahkan umat beriman kembali kepada Tuhan. Gereja Katolik tidak
“merendahkan” Kitab Suci dalam hal ini, melainkan hanya menyampaikan
bahwa Kitab Suci bukan satu-satunya pedoman iman karena memang Tuhan
menyampaikan Sabda-Nya tidak hanya melalui Kitab Suci.
Sola Scriptura tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci
Jika “Sola Scriptura” adalah doktrin yang benar, tentunya Kitab Suci
harus secara eksplisit mengatakannya, namun tidak demikian yang kita
baca dari Kitab Suci:
1. Kitab Suci memberitahukan kepada kita pentingnya pengajaran lisan para rasul.
Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, dan berabad- abad sebelum kanon Perjanjian Baru ditetapkan.
Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15; lihat juga 1 Kor 11:2)
Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, dan berabad- abad sebelum kanon Perjanjian Baru ditetapkan.
Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15; lihat juga 1 Kor 11:2)
2. Kitab Suci mengatakan bahwa tidak semua ajaran Kristus terekam dalam Kitab Suci.
“Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25)
Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35.
“Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25)
Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35.
3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa Kitab Suci memerlukan pihak yang mempunyai otoritas untuk menginterpretasikannya
(lih. Kis 8:30-31; 2 Pet 1:20-21; 2 Pet 3:15-16). Rasul Petrus
mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Alkitab yang memang sulit untuk
dicerna, dan ketidakhati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan
kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang
menggunakan Alkitab untuk menyanggah kebenaran iman Kristen, seperti
tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus, ataupun bahwa Yesus adalah
sungguh- sungguh Tuhan.
4. Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang
dimulai dari para rasul-Nya untuk mengajar dalam nama-Nya (lih. Mat
16:13- 20; 18:18; Luk 10:16). Gereja akan bertahan sampai pada akhir
jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan
(lih. Mat 16:18; 28:19-20; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan
kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para
rasul dan para penerusnya. Magisterium/ wewenangan mengajar ini hanya
ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab
Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya.
5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalah di dalam jemaat,
contohnya dalam hal sunat. Pada saat terjadinya krisis itu sekitar
tahun 40-an, kitab PB belum terbentuk, dan Kristus sendiri tidak pernah
mengajarkan secara eksplisit tentang sunat ini. Namun atas inspirasi Roh
Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan
bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi para pengikut Kristus (Kis 15).
Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci PL yang
mengharuskan sunat (lih. Kej 17, Kel12:48) dengan terang Roh Kudus dan
penggenapannya oleh Kristus dalam PB, sehingga ketentuan sunat tidak
lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja: para rasul
dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa
Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak, dan membuat suatu pengajaran
apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.
6. Maka di sini terlihat bahwa Gereja/ jemaat (bukan Kitab Suci saja) adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran.”
(1 Tim 3:15) Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab
Suci, tentu juga ada maksudnya, bahwa Gereja-lah yang dipercaya oleh
Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.
7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber Sabda/ Firman Tuhan.
Kristus itu sendiri adalah Firman Allah (lih. Yoh 1:1, 14) dan dalam 1
Tes 2:13 Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan
Firman Allah (“when you received the Word of God which you heard from us“- RSV) dan ini adalah Tradisi Suci.
Sola Scriptura tidak sesuai dengan sejarah Gereja
Selanjutnya, jangan lupa bahwa Tradisi Suci sudah ada lebih dahulu dari Kitab Suci, dan yang melahirkan Kitab Suci adalah Tradisi Suci melalui Magisterium Gereja Katolik.
Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa
Tradisi Suci, yaitu pengajaran iman Kristiani yang berasal dari
pengajaran lisan Kristus dan para rasul itu sudah ada terlebih dahulu
daripada pengajaran yang tertulis. Silakan anda membaca bagaimana
terbentuknya Kitab Suci yang terbentuk pertama kali menurut kanon yang
ditetapkan oleh Paus Damasus I pada tahun 382, Konsili Hippo (393),
Carthage (397) dan Chalcedon (451) seperti yang pernah ditulis di
artikel ini, silakan klik.
Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15. Jadi mengatakan bahwa Kitab
Suci saja “cukup” atau “hanya satu-satunya” sebagai pedoman iman, itu
tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan
Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.
Sola Scriptura membawa perpecahan Gereja
Sering kita melihat bahwa perpecahan gereja diakibatkan karena keinginan untuk menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci secara pribadi.
Sebagai contoh Martin Luther, John Calvin dan Ulrich Zwingli mempunyai
banyak perbedaan pandangan dalam hal Ekaristi Kudus dalam
menginterpretasikan perikop Yoh 6, hal Pengakuan Dosa, dll. Pendapat
manakah yang benar dari para pendiri ini, yang masing-masing mendasarkan
ajarannya hanya berdasarkan Alkitab? Belum lagi dalam hal- hal lain
seperti apakah Pembaptisan itu perlu atau hanya simbol saja, hal
Pembaptisan bayi, Pembaptisan dalam nama Allah Trinitas atau dalam nama
Yesus saja, dan seterusnya. Tiap-tiap kelompok yang bertentangan
mengklaim bahwa Alkitab saja cukup jelas untuk menentukannya, namun
terjadi bermacam- macam interpretasi. Maka secara fakta harus diakui
bahwa Alkitab saja tidak cukup jelas mengajarkannya, dan diperlukan
peran otoritas Magisterium untuk menginterpretasikannya.
Hal ini mirip dengan yang terjadi di setiap negara, yang mempunyai
konstitusi, namun juga mempunyai kekuasaan yudikatif untuk
menginterpretasikannya dengan benar. Jika setiap warga dapat mengartikan
sendiri konstitusi ini, tanpa adanya kuasa otoritas yang menjaga dan
melestarikannya, maka dapat terjadi kekacauan. Tuhan pastilah lebih
bijaksana daripada para bapa pendiri negara dalam hal ini. Ia tidak
mungkin hanya meninggalkan dokumen tertulis sebagai pedoman tanpa
otoritas untuk menjaga dan menginterpretasikannya dengan benar.
Kalau memang “hanya Alkitab” saja cukup, dan dapat membawa persatuan
Gereja, bersama-sama kita perlu merenungkan, kenapa setelah revolusi
Gereja oleh Martin Luther di abad pertengahan, gereja menjadi terpecah
belah sehingga sampai saat ini ada sekitar 28,000 denominasi? Seharusnya
kalau memang kembali kepada kemurnian jemaat awal, katanya hanya
berdasarkan Alkitab, maka Gereja seharusnya bersatu dan bukannya
tercerai berai. Hal ini sungguh bertentangan dengan pesan Yesus
terakhir yang menginginkan seluruh dunia melihat ada kesatuan di dalam
tubuh Kristus, sehingga dunia dapat tahu bahwa kita semua adalah
pengikut Kristus (lih Yoh 17). Dan inilah yang menjadi kerinduan Gereja
Katolik untuk menyatukan seluruh umat Allah, sebagaimana tertuang dalam
salah satu dokumen Konsili Vatikan II, yaitu Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio).
Tiga pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
Jika kita telah mengetahui bahwa Sola Scriptura tidak sesuai
dengan ajaran Alkitab itu sendiri, maka kita dapat melihat pula bahwa
sebenarnya Kristus telah menentukan tiga pilar kebenaran yang tidak
terpisahkan yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Silakan
membaca lebih lanjut di artikel ini, Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda
Kasih Tuhan, bagian 3, silakan klik.
Ayat yang umumnya digunakan untuk menyatakan pandangan Sola Scriptura
Sekarang mari kita melihat kepada ayat-ayat yang sering digunakan sebagai dasar Sola Scriptura ((disarikan dari Fr. Frank Chacon dan Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, (Farmington: San Juan Catholic Seminars, 2003), hl. 17-19)):
1. 2 Tim 3:16-17 “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan
dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap
manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”
Ada banyak orang menginterpretasikan bahwa karena ayat ini, maka
mereka hanya membutuhkan Kitab suci untuk menjadi umat Kristen yang
baik. Padahal pada saat surat kepada Timotius ini ditulis, kanon Kitab
Suci belum ada. Jadi di kalangan jemaat masih beredar berbagai tulisan,
dan jemaat tidak dapat tahu dengan pasti, mana tulisan yang “diilhami
oleh Allah”, dan mana yang tidak.
Lihatlah juga bahwa “sesuatu yang bermanfaat” itu bukan berarti hanya
satu-satunya yang kita perlukan, atau segalanya yang kita butuhkan.
Sesuatu dapat bermanfaat, tetapi tidak menjadi satu-satunya yang kita
butuhkan. Misalnya, cahaya matahari diperlukan untuk tanaman agar
tumbuh, tetapi tanaman juga memerlukan air dan tanah agar dapat
bertumbuh dengan baik.
Juga perkataan “diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” juga tidak
dapat dijadikan dasar bahwa Kitab Suci secara total mencukupi semuanya.
Rasul Paulus pada 2 Tim 2:19-21 juga menggunakan frasa yang sama, pada
waktu mengatakan, “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang
jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia
dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia.” (pan ergon agathon- dalam
bahasa Yunani). Jika logika yang sama dipakai untuk mengartikan ayat
ini, maka pandangan tersebut mengatakan bahwa perbuatan menyucikan diri
adalah “cukup”, tanpa kasih karunia, iman dan pertobatan, dan ini adalah
kesimpulan yang keliru.
2. Ul 4:2 “Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu dan janganlah kamu menguranginya….”
Ada orang yang berpendapat, dengan adanya ayat ini maka Kitab Suci
sudah cukup, dan segala “tambahan” di luar Kitab Suci berarti tidak
diilhami Tuhan. Namun jika logika ini yang dipakai, maka semua kitab
dalam Kitab Suci selain kitab Ulangan dianggap sebagai “tambahan” Wahyu
Allah yang hanya sampai pada kitab Ulangan. Dan tentu ini tidak benar,
karena Inkarnasi Kristus, yaitu panggenapan Wahyu Allah tersebut, malah
ada berabad- abad setelah kitab Ulangan ditulis.
3. Mat 4:1-11 Tiga kali Yesus menanggapi pencobaan Iblis dengan Kitab Suci, “Ada tertulis….”
Ada yang berpendapat, bahwa dari ayat ini Kristus mengacu hanya
kepada Kitab Suci, dan tidak kepada Tradisi Suci atau Gereja. Namun
sebenarnya Yesus mengatakan, “Ada tertulis: Manusia hidup
bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut
Allah.” (ay.4) Namun Kitab Suci juga mengatakan bahwa tidak semua
perkataan Tuhan tercantum dalam Kitab Suci, sebab banyak di antaranya
juga sampai kepada kita lewat pengajaran lisan (lih. Yoh 21:25; Kis
20:27; 2 Tes 2:14-15, 3:6; 2 Tim 2:2). Dan jangan kita lupa, bahwa
Kristus sendiri adalah Sabda Allah (Yoh 1:1, 14) yang tidak dapat
dibatasi oleh tulisan dan lembaran-lembaran Kitab Suci.
Maka di sini Yesus tidak sedang mengajarkan Sola Scriptura, tetapi
sedang mengajarkan kita untuk berpegang pada semua pengajaran yang
dikatakan-Nya, tidak hanya yang tertulis di Kitab Suci. Lagipula jangan
lupa, Iblispun mengutip Kitab Suci untuk maksud yang tentu saja keliru
dan jahat. Jadi kita harus memahami Kitab Suci dan
menginterpretasikannya dengan benar. Ingatlah pesan Rasul Petrus pada
saat mengomentari surat Rasul Paulus, “Dalam surat-suratnya itu ada
hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya
dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan
mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan
tulisan-tulisan yang lain.” (2 Pet 3:16)
4. Mat 15:3 “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (lih. Mrk 7:7-9, Kol 2:8)
Di sini kita melihat tradisi/ paradosis yang dikecam oleh
Yesus dan Rasul Paulus adalah tradisi manusia yang bertentangan dengan
hukum-hukum dan perintah-perintah Tuhan. Mereka tidak sedang mengecam
semua tradisi/ paradosis, sebab Rasul Paulus mengatakan juga demikian,
“Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran [tradisi/ paradosis] yang kuteruskan kepadamu.” (1 Kor 11:2)
“Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran [tradisi/ paradosis] yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis. (2 Tes 2:15)
5. Why 22: 18-19: “Jika seorang
menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan
menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab
ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan
dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon
kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab
ini.”
Ada pula yang mengartikan ayat ini dengan mengatakan bahwa Gereja
Katolik menambahkan Tradisi Suci kepada Kitab Suci, sehingga ini tidak
benar. Namun pada ayat ini yang dimaksud dengan “kitab ini” adalah kitab
Wahyu itu sendiri, dan bukan Kitab Suci secara keseluruhan. “Kitab ini”
juga mengacu kepada “scroll“/ gulungan naskah di mana kitab
dituliskan. Maka perintah ini mengacu kepada larangan agar jangan
mengadakan perubahan pada salinan teks kitab Wahyu ini, dan ini juga
berlaku pada kitab-kitab lainnya.
Kesimpulan
“Sola Scriptura” atau Kitab Suci sebagai satu-satunya
pedoman iman, bukanlah merupakan pengajaran yang bersumber dari Kitab
Suci. Kitab Suci adalah sebagian dari Tradisi Suci Gereja, sehingga
Kitab Suci tidak dapat dipisahkan dari Tradisi Suci secara keseluruhan,
yang dijaga dan dilestarikan oleh otoritas Magisterium Gereja Katolik.
Kristus mendirikan Gereja untuk mengajar, menyucikan dan memimpin umat
manusia dalam nama-Nya, sampai kepada akhir jaman. Maka jika kita
menolak otoritas dari Tuhan ini, yang diberikan kepada para rasul dan
para penerusnya, maka sesungguhnya kita menolak Kristus (lih. Luk
10:16). Gereja Katolik menerima Kitab Suci sebagai
salah satu pedoman iman (lihatlah kepada Katekismus dan hasil- hasil
Konsili yang mengutip banyak sekali ayat Kitab Suci sebagai landasan
ajarannya), dan karenanya, menerima otoritas Kitab Suci sebab Kitab Suci merupakan Sabda Allah. Namun umat Katolik tidak dapat menerima Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman (Sola Scriptura), terutama karena Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian. Selain itu, Sola Scriptura
juga bertentangan dengan sejarah, karena pada faktanya Gereja-lah yang
menentukan kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Kitab Suci, dan
kitab-kitab mana yang tidak. Akhirnya, Sola Scriptura juga
bertentangan dengan akal sehat dan membawa perpecahan, karena bahkan di
kehidupan sehari-haripun, kita mengetahui bahwa setiap peraturan
tertulis (contohnya konstitusi negara) memerlukan otoritas yang menjaga,
menjamin dan menginterpretasikannya dengan benar. Jika tidak, tentu
terjadi kekacauan, karena tiap pribadi dapat mempunyai pandangan yang
berbeda. Dan ini sungguh telah terbukti dengan adanya sekitar 28.000
jumlah denominasi gereja Protestan. Jika kita memakai prinsip yang
diajarkan Kristus
untuk menilai apakah pohon itu baik atau tidak dari buahnya (Mat 12:33,
Luk 6:44), maka kita akan mengetahui apakah ajaran Sola Scriptura itu
baik atau tidak.
Semoga
Roh Kudus sendiri menerangi kita untuk mengetahui kebenaran ini, bahwa
memang Kitab Suci adalah sangat perlu dan sangat penting untuk menuntun
dan menumbuhkan iman kita, namun Kitab Suci bukan satu-satunya pedoman
iman kita. Sebab Tuhan Yesus telah memberikan kepada kita Magisterium
Gereja yang menyampaikan juga ajaran lisan dari-Nya dan para rasul
-yaitu Tradisi Suci, dan Magisterium ini dengan setia
menginterpretasikan semua ajaran itu dalam terang Roh Kudus sesuai
dengan ajaran Kristus dan para rasul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !