“Kamu masih Katolik?”
Pertanyaan ini mungkin terdengar janggal, tetapi pertanyaan ini
pernah ditanyakan kepada saya belasan tahun yang lalu, oleh teman masa
kecil saya. Sewaktu remaja dulu, kami pernah sama-sama aktif di paroki,
menjadi anggota Legio Mariae dan anggota salah satu koor di paroki kami.
Kini ia telah berpindah ke gereja non-Katolik, karena konon ia lebih
dapat bertumbuh secara rohani di sana. Dia begitu antusias mengisahkan
pengalaman barunya di komunitas tersebut, dan kemudian menanyakan
pertanyaan yang mengusik hati saya, “Kalau kamu bagaimana, masih
Katolik, ya?” Seolah menjadi Katolik itu sesuatu keputusan yang kurang
tepat dan harus diubah. Saya menjawabnya lirih, “Ya, saya masih Katolik,
dan saya akan tetap Katolik….” Tapi saya tidak tahu bagaimana
melanjutkan kalimat itu. Saya bersyukur, seiring dengan berjalannya
waktu, melalui ajaran iman dan pengalaman hidup, sedikit demi sedikit,
kutemukan jawabannya….
Menjadi Katolik artinya menerima dengan iman, wahyu Tuhan dan undangan-Nya kepada persatuan dengan-Nya
Sebagai murid Kristus, kita tidak hanya mengikuti sebuah buku, tetapi
Seorang Pribadi, yaitu Yesus Kristus. Itulah sebabnya kita disebut
sebagai “Christ-ian” atau Kristiani/ Kristen. Pribadi yang kita
ikuti dan kita jadikan pusat dalam hidup kita ini, adalah Pribadi yang
mengasihi kita, yang menyatakan kasih-Nya itu dan mewahyukan Diri-Nya
secara penuh kepada kita. Karena kasih-Nya yang sempurna inilah, Kristus
ingin terus tinggal di tengah kita dan bersekutu/ bersatu dengan kita.
Sebab kasih selalu menginginkan kebersamaan. Kristus menghendaki
kebersamaan atau persekutuan antara kita dengan Dia, atas dasar kasih
dan kebenaran, sebab Ia Allah yang adalah Sang Kasih (1 Yoh 4:8) dan
Kebenaran (Yoh 14:6). Maka menjadi Katolik, pertama-tama adalah
menanggapi dengan iman, pewahyuan Allah dan undangan-Nya kepada
persatuan (komuni) dengan-Nya. Maka, menjadi Katolik adalah menjadi
seorang Kristiani, titik. Sebab seorang Kristiani sudah seharusnya
menerima segala yang diwahyukan Allah di dalam Kristus.
Iman yang dimaksud di sini, menurut Konsili Vatikan II,[1] Katekismus[2], dan pengajaran Paus Yohanes Paulus II[3]
adalah iman yang terdiri dari dua unsur. Yang pertama adalah unsur
pribadi, yaitu percaya kepada Allah, akan segala kasih dan
kebijaksanaan-Nya, sehingga kita mau menyerahkan diri kita tanpa syarat
kepada-Nya. Dengan kata lain, kita lebih percaya akan kebijaksanaan
Allah daripada kebijaksanaan diri sendiri untuk menentukan kebahagiaan
kita, dan kita lebih percaya akan kuasa rahmat-Nya daripada kekuatan
sendiri untuk mencapainya. Yang kedua adalah unsur obyektif, yaitu kita
percaya akan isi wahyu yang diberikan Tuhan, dan memegangnya sebagai
sesuatu yang ilahi. Maka unsur pertama adalah percaya kepada Allah yang
mewahyukan dan unsur kedua adalah percaya kepada apa yang
diwahyukan-Nya. Dengan demikian, iman dapat digambarkan dengan perkataan
ini: “Kalau Tuhan yang saya percayai sebagai Pribadi yang baik, penuh
cinta kasih, dan bijaksana, telah mewahyukan sesuatu kepada saya, maka
atas hormat dan kasih kepada-Nya, saya mau menerima apa yang
diwahyukan-Nya itu.”
Keempat Tanda Gereja sejati: satu, kudus, katolik, apostolik
Iman Katolik mengajarkan bahwa Tuhan yang kepada-Nya kita percaya,
telah berbicara melalui Kristus, Putera-Nya (lih. Ibr 1:1-4). Sebab
Allah mewahyukan bahwa Ia yang dalam Perjanjian Lama juga disebut
sebagai Yahweh, Adonai, atau Yehovah, adalah satu dan sama hakekatnya
dengan Yesus Kristus, sebab Kristus mengatakan, “Bapa dan Aku adalah
satu.” (Yoh 10:30). Kristus yang sama ini mendirikan Gereja-Nya (lih.
Mat 16:18) yang oleh kuasa Roh Kudus, diberi karunia kesatuan,
kekudusan, keseluruhan dan kesinambungan dengan jalur apostolik di
sepanjang sejarah. Dengan mendirikan Gereja-Nya, dan memberikan kuasa
kepada Gereja untuk membaptis dan mengajarkan semua perintah-Nya (lih.
Mat 28:19-20), Kristus menjadikan Gereja sebagai sarana yang perlu untuk
keselamatan.
Peran Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan, di mana Allah
terus melaksanakan karya penyelamatan-Nya, secara sempurna dinyatakan
dalam perayaan Ekaristi. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Gereja lahir
dari Ekaristi, dan Ekaristi lahir dari Gereja. Sebab Gereja lahir/
memperoleh hidupnya dari pengorbanan Kristus. Sakramen-sakramen sebagai
peringatan akan pengorbanan Kristus itu- terus menghidupi Gereja, dan
Gereja terus menghadirkannya.[4]
Tanda apostolik menjamin kesatuan, kekudusan dan kekatolikan Gereja
Mungkin ketiga tanda Gereja yaitu satu, kudus dan katolik
(universal), lebih mudah diterima, daripada tanda yang terakhir, yaitu
apostolik. Namun sejujurnya tanda yang keempat ini merupakan tanda yang
paling jelas menunjukkan bahwa seperti halnya dahulu Kristus hadir
secara aktif di tengah para Rasul, kini, Ia-pun hadir secara aktif di
tengah Gereja-Nya. Meskipun Ia sudah bangkit dan naik ke surga, Kristus
tetap hadir dan melanjutkan misinya di dunia, di dalam Gereja dan
melalui Gereja. Maka ada hubungan yang tak terpisahkan antara Kristus
dan Gereja. Gereja itu satu, kudus dan katolik, sebab Kristus itu satu,
kudus dan katolik, dan Ia kini tetap hadir dalam Gereja-Nya sampai akhir
zaman.
Bahwa Kristus dapat hadir di tengah umat-Nya dalam berbagai cara,
namun ada satu cara yang dikehendaki-Nya, dan menjadi pusatnya. Pusat
ini adalah kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi, yang menjadi
sumber dan puncak kehidupan kita sebagai umat Kristiani (lih. KGK 1324).
Iman Katolik mengajarkan bahwa terdapat hubungan yang tak terpisahkan
antara sifat apostolik dengan kehadiran Kristus yang nyata dalam
Ekaristi. Paus yang adalah penerus Rasul Petrus, menjadi tanda yang
menghubungkan Gereja masa kini dengan Gereja di zaman para Rasul.
Sebagai prinsip yang menyatukan, Paus menjamin kesatuan kolese para
Uskup -yang adalah penerus para Rasul- yang menjadi tanda kesatuan
antara Gereja partikular/ lokal dengan Gereja universal. Kesatuan ini
bukan hanya semata saling mengakui keberadaan masing-masing, atau
sebagai hasil hubungan timbal balik antara gereja-gereja. Namun kesatuan
ini adalah kesatuan yang timbul dari dalam, yang hasilnya adalah
hadirnya Gereja universal dengan semua elemen dasarnya, di dalam setiap
gereja-gereja partikular tersebut.
Kehadiran Kristus secara nyata dalam Gereja, secara khusus dalam
Ekaristi dijamin oleh karunia sifat apostolik yang melayani ketiga tanda
Gereja: kesatuan, kekudusan dan kekatolikan. Kristus yang hadir secara
aktif atas kuasa Roh Kudus yang telah mengurapi para rasul dan para
penerus mereka, itulah yang menjadikan Gereja sebagai sakramen kesatuan
dan keselamatan bagi umat manusia. Ekaristi dan kesatuan dalam
kepemimpinan Paus bukanlah akar yang terpisah bagi kesatuan Gereja,
sebab Kristus menentukan keduanya untuk saling berhubungan satu sama
lain. Kepemimpinan Paus adalah satu, seperti Ekaristi adalah satu: yaitu
satu Korban dari satu Kristus, yang wafat dan bangkit. Maka dalam
setiap perayaan Ekaristi, dilakukanlah dan ditunjukkanlah kesatuan,
tidak saja dengan Uskup sebagai penerus para Rasul, tetapi juga dengan
Paus sebagai penerus Rasul Petrus sang pemimpin para Rasul, dengan semua
imam dan semua umat beriman yang adalah anggota Kristus, dan di atas
semua itu, dengan Kristus yang adalah Kepalanya.
Menjadi Katolik artinya mempercayakan diri kepada Tuhan melalui Gereja
Gereja Katolik memahami peran otoritas apostolik sebagai iman akan
janji Kristus yang akan menyertai Gereja-Nya, yang dibuktikan juga oleh
banyak tanda sepanjang sejarah, yang menunjukkan betapa Kristus menjaga
Gereja dan menghindarinya dari ajaran-ajaran yang menyimpang. Oleh iman
inilah, kita menyerahkan diri kepada Allah melalui Gereja, sebab
demikianlah yang dikehendaki oleh Allah.
Prinsip pengantaraan Gereja ini bukanlah hal yang baru atau
mengada-ada. Sepanjang sejarah umat pilihan, Allah menghendaki bahwa
kesetiaan kepada-Nya diukur juga dari kesetiaan kepada para nabi atau
pengantara yang ditunjuk olah-Nya. Setia kepada Allah di zaman
Perjanjian Lama, berarti juga setia kepada Nabi Musa. Keduanya tak
terpisahkan, sebagaimana tertulis dalam Kel 14:31. Kesetiaan kepada para
nabi berarti penerimaan terhadap apa yang dikatakan oleh mereka. Tuhan
menganggap bahwa penolakan terhadap ajaran para nabi merupakan penolakan
terhadap-Nya, seperti nyata dalam penolakan terhadap Nabi Yeremia (lih.
Yer 7:25-26). Di masa Yohanes Pembaptis, jawaban “Ya” terhadap
panggilan Tuhan dinyatakan dengan persetujuan untuk dibaptis (lih. Mrk
1:4; Luk 3:3) dan penerimaan terhadap pesannya yang memberitakan
kedatangan Kristus, Sang Anak Domba Allah (lih. Yoh 1:29,36).
Kristus menghubungkan penerimaan ataupun penolakan terhadap diri-Nya
dan Bapa yang mengutus-Nya, dengan penerimaan ataupun penolakan terhadap
mereka yang diutus oleh-Nya (lih. Luk 10:16). Maka Gereja mengajarkan
bahwa kesetiaan kepada Kristus ditunjukkan dengan penerimaan keseluruhan
kehendak-Nya (lih. Mat 28:19-20), termasuk pengantaraan Gereja
apostolik yang didirikan-Nya (lih. Mat 16:16-19). Dengan kata lain,
persetujuan iman terhadap Kristus mengambil bentuk konkritnya dalam
persetujuan terhadap semua yang telah dinyatakan dan didirikan oleh-Nya,
termasuk Gereja-Nya.
Menjadi Katolik artinya setia kepada Tuhan, Kristus, Gereja dan diri sendiri
Rasul Yohanes mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Tuhan diukur dari
kesetiaan kepada keseluruhan pengajaran yang dikenali sebagai wahyu
ilahi sejak awal mula (lih. 1 Yoh 2:24). Jika Allah menghendaki agar
kita menerima ajaran-Nya dengan menerima ajaran para nabi yang mencapai
puncaknya pada penggenapannya dalam diri Kristus, kita menerima kehendak
Allah ini, dengan menerima Kristus sepenuhnya. Sebab Kristus sepenuhnya
menyatakan Allah dan kasih-Nya kepada kita (Kol 1:19; 2:9), sehingga
Rasul Paulus mengatakan bahwa Kristus adalah segalanya (lih. Kol 3:11).
Maka penerimaan Kristus sepenuhnya ini termasuk dengan menerima segala
ajaran-Nya dan menjadi anggota Gereja yang didirikan-Nya. Jika Kristus
menjamin kuasa mengajar Gereja yang dilaksanakan oleh para rasul, secara
khusus, oleh Rasul Petrus dan para penerus mereka, maka demi ketaatan
kita kepada Kristus, kita mentaati juga ajaran Gereja-Nya tersebut.
Sebab kita mengingat perkataan Kristus sendiri kepada para murid-Nya,
“Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa
menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak
Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10:16).
Dengan ketaatan yang menerima keseluruhan Kristus dan ajaran-Nya ini,
maka seorang Katolik memberikan kata “Ya” tanpa syarat dalam iman
kepada Allah. Pemberian persetujuan iman tanpa syarat ini, menjadi
tanggapan yang mendamaikan bagi hati kita sebagai manusia yang
senantiasa resah/ gelisah, sampai kita beristirahat di dalam Tuhan.[5]
Sebab dengan menyerahkan pemahaman kita kepada Kristus melalui
Gereja-Nya, kita tidak lagi perlu gelisah menginterpretasikan banyak hal
menurut pemahaman sendiri, yang dapat berbeda-beda antara satu orang
dengan yang lain, bahkan bertentangan, terhadap suatu topik pengajaran
yang sama. Dengan menerima sepenuhnya pengajaran Gereja, kita memperoleh
kepenuhan makna ajaran Kristus, dan ini menghasilkan ketenangan bagi
jiwa. Menarik jika kita menyimak tayangan Journey Home di situs
EWTN (Eternal Word Television Network) yang mengisahkan tentang
pencarian akan kepenuhan kebenaran yang membawa kepada Gereja Katolik, silakan klik.
Di sana ada lebih dari 700 kisah kesaksian dari mereka yang
non-Katolik, bahkan banyak di antaranya pendeta, yang akhirnya menjadi
Katolik karena setia mencari apa yang dirindukan oleh hati nurani mereka
sendiri, yang membawa mereka menemukan ‘rumah’ mereka yang sesungguhnya
di Gereja Katolik.
Menjadi Katolik artinya menjadi anggota Gereja yang lahir dari Hati Kudus Yesus
Namun bagi saya sendiri, pengalaman yang tak terlupakan dan begitu
mengena di hati saya, adalah ketika saya mendengar dan merenungkan
kutipan pengajaran dari St. Yohanes Krisostomus tentang Gereja. Ia
mengajarkan demikian:
“Mengalir dari rusuk-Nya, air dan darah”. Saudara saudari terkasih,
jangan lewatkan misteri ini tanpa permenungan; ini mempunyai makna
lainnya yang tersembunyi, yang akan kujelaskan kepadamu. Telah kukatakan
bahwa air dan darah menandakan Pembaptisan dan Ekaristi kudus. Dari
kedua sakramen ini, Gereja dilahirkan: dari Pembaptisan, [yaitu] “air
pembasuh yang memberikan kelahiran kembali dan pembaharuan melalui Roh
Kudus”, dan dari Ekaristi kudus. Karena simbol Pembaptisan dan Ekaristi
mengalir dari rusuk-Nya, maka dari rusuk-Nyalah Kristus membentuk
Gereja, seperti Ia telah membentuk Hawa dari rusuk Adam. Nabi Musa telah
memberikan secercah tanda tentang hal ini, ketika ia menceritakan kisah
tentang manusia pertama dan membuat Adam mengatakan: “Tulang dari
tulangku dan daging dari dagingku!” Sebagaimana Tuhan mengambil sebuah
tulang rusuk dari rusuk Adam untuk membentuk seorang perempuan,
demikianlah Kristus telah memberikan kepada kita darah dan air dari
rusuk-Nya untuk membentuk Gereja. Tuhan mengambil tulang rusuk tersebut
ketika Adam sedang tertidur lelap, dan dengan cara yang sama Kristus
memberikan darah dan air setelah kematian-Nya sendiri.
Maka, tidakkah kamu mengerti, betapa Kristus telah mempersatukan
Mempelai-Nya dengan diri-Nya sendiri, dan santapan apakah yang Ia
berikan kepada kita semua untuk kita makan? Dengan santapan yang satu
dan sama, kita dilahirkan dan diberi makan. Seperti seorang wanita
memberi makan anaknya dengan air susu dan darahnya sendiri, demikianlah
Kristus terus menerus memberi Darah-Nya sendiri kepada mereka yang
kepadanya Ia telah menyerahkan hidup-Nya.”[6]
Sudah lama saya mendengar bahwa Gereja adalah Mempelai Kristus,
tetapi saya tidak menyadari sedemikian eratnya hubungan Kristus dengan
Gereja-Nya, sampai saya membaca tulisan St. Yohanes Krisostomus ini.
Kristus adalah Adam yang baru, dan Gereja adalah Hawa yang baru, yang
dibentuk dari rusuk/lambung Kristus, yang dihubungkan juga dengan hati
kudus-Nya—sebab maksud prajurit itu menikam adalah menikam jantung hati
Kristus, untuk memastikan kematian-Nya. Hubungan Kristus dan Gereja
sebagai Adam dan Hawa yang baru, merupakan penggenapan sempurna kisah
Adam dan Hawa yang telah dikisahkan dalam Perjanjian Lama.
St. Yohanes Krisostomus bukan Bapa Gereja pertama yang mengajarkan
bahwa Gereja lahir dari tubuh Kristus, sebagaimana Hawa dari tubuh Adam.
St. Irenaeus (abad ke-2) mengajarkan bahwa Gereja bagaikan aliran mata
air yang mengalir dari tubuh Kristus, dan dari air ini kita memperoleh
santapan kehidupan.[7] St. Ambrosius juga mengajarkan demikian, sebagaimana dikutip dalam Katekismus:
KGK 766 Tetapi Gereja muncul terutama karena penyerahan diri
Kristus secara menyeluruh untuk keselamatan kita, yang didahului dalam
penciptaan Ekaristi dan direalisasikan pada kayu salib. “Permulaan dan
pertumbuhan itulah yang ditandakan dengan darah dan air, yang mengalir
dari lambung Yesus yang terluka di kayu salib.”[8] “Sebab dari lambung Kristus yang berada di salib, muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan.”[9]
Seperti Hawa dibentuk dari rusuk Adam yang sedang tidur, demikian
Gereja dilahirkan dari hati tertembus Kristus yang mati di salib.[10]
Pengajaran para Bapa Gereja ini membuka mata rohani saya, bahwa sejak
awal mula, Allah telah merencanakan kesempurnaan ciptaan-Nya, dengan
mempersatukan semua umat manusia ciptaan-Nya di dalam Kristus dan
Gereja. Tiba-tiba pengajaran di Katekismus menjadi ‘make sense‘
buat saya, setelah merenungkan penggenapan kisah Adam dan Hawa di dalam
diri Kristus dan Gereja sebagai Adam dan Hawa yang baru. Sebagaimana
manusia pertama—Adam dan Hawa—menjadi puncak karya penciptaan Allah,
demikianlah Kristus dan Gereja menjadi puncak karya keselamatan Allah.
Persatuan manusia dengan Kristus tercapai secara sempurna dalam diri
Bunda Maria, maka tak mengherankan, jika dalam tulisan yang lain para
Bapa Gereja menyebut Bunda Maria juga sebagai Hawa yang baru. Sebab
Bunda Maria adalah anggota pertama dan utama dari perkumpulan umat
manusia di dalam Kristus, yang kemudian disebut Gereja.
KGK 760 “Dunia diciptakan demi Gereja”, demikian ungkapan orang-orang Kristen angkatan pertama.[11]
Allah menciptakan dunia supaya mengambil bagian dalam kehidupan
ilahi-Nya. Keikut-sertaan ini terjadi karena manusia-manusia dikumpulkan
dalam Kristus, dan “kumpulan” ini adalah Gereja. Gereja adalah tujuan
segala sesuatu.[12]
Malahan peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati, seperti jatuhnya
para malaikat dan dosa manusia, hanya dibiarkan oleh Allah sebagai sebab
dan sarana, untuk mengembangkan seluruh kekuatan tangan-Nya dan
menganugerahkan kepada dunia cinta-Nya yang limpah ruah:
“Sebagaimana kehendak Allah adalah satu karya dan bernama dunia,
demikian rencana-Nya adalah keselamatan manusia, dan ini namanya
Gereja.”[13]
Gereja yang dimaksud di sini adalah satu-satunya Gereja yang
didirikan Kristus di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18), dan bahwa
Kristus menjamin akan menyertainya sampai akhir zaman (Mat 28:19-20).
Sebagaimana hanya ada satu Hawa yang dibentuk dari Adam, demikian pula
hanya ada satu Gereja yang dibentuk dari Kristus. Maka Gereja tak pernah
terpisah dari Kristus. Gereja bukan sesuatu yang dibentuk sendiri oleh
beberapa orang beriman, dan kemudian diklaim sebagai Gereja Kristus.
Gereja adalah suatu ‘pemberian’ dari Kristus dan dibentuk sendiri oleh
Kristus, yang ditandai oleh darah dan air yang mengalir keluar dari
lambung-Nya yang terluka di kayu salib. Maka rencana Allah untuk
mempersatukan seluruh dunia di dalam Kristus sudah ada sejak awal mula,
namun rencana ini baru mulai terwujud pada saat Gereja dibentuk dari air
dan darah yang keluar dari lambung Yesus yang tertikam di salib. Gereja
ini kemudian ditampilkan kepada dunia pada hari Pentakosta, dengan
datangnya Roh Kudus.[14]
Satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Kristus di atas Rasul Petrus,
yang masih ada sampai sekarang di bawah pimpinan penerus Rasul Petrus
adalah Gereja Katolik. Jika Kristuslah yang mendirikan Gereja ini, dan
yang telah menyerahkan nyawa-Nya baginya, maka sudah selayaknya saya
memutuskan untuk menjadi anggota Gereja-Nya ini.
Maka menjadi Katolik bagi saya tidaklah semata suatu kebetulan,
karena dilahirkan oleh orang tua yang Katolik. Saya menjadi Katolik
karena ingin mentaati Allah sepenuhnya, yang telah mewahyukan melalui
Kristus, segala ajaran-Nya dan undangan-Nya untuk bersatu dengan-Nya dan
dengan sesama umat manusia, di dalam Kristus dan melalui Gereja yang
didirikan-Nya, yaitu Gereja Katolik.
Tuhan, bantulah aku untuk setia pada imanku ini, sampai akhir hayatku.
[1]Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum
5: “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan
“ketaatan iman” (Rm 16:26; lih. Rm 1:5 ; 2Kor10:5-6). Demikianlah
manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan
mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya
kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima
sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat
beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta
menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan
membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada
semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”.
Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga
senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.
[2]Lih.
KGK 143: “Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan
kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui
Allah yang mewahyakan Diri (Bdk. DV 5). Kitab Suci menamakan
jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu “ketaatan
iman” (Bdk. Rm 1:5; 16:26). Dan KGK 144: “Taat [ob-audire]
dalam iman berarti menaklukkan diri dengan sukarela kepada Sabda yang
didengar, karena kebenarannya sudah dijamin oleh Allah, yang adalah
kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini Kitab Suci
menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya atas
cara yang paling sempurna.
[3]Lih. Paus Yohanes Paulus II, dalam Audiensi Umum,
Maret 13, 1985: “Percaya berarti menerima dan mengakui sebagai
kebenaran dan kesesuaian dengan kenyataan, isi dari apa yang dikatakan,
yaitu, isi dari yang dikatakan oleh seseorang yang lain (atau beberapa
orang yang lain) karena kredibilitas orang itu. Maka, dengan mengatakan
“Aku percaya”, kita menyatakan dua buah acuan pada saat yang sama:
kepada orangnya, dan kepada kebenaran [yang dikatakan]-nya; kepada
kebenarannya dengan memperhatikan pribadi orang yang mempunyai
kredibilitas yang istimewa tersebu.”
[4]Lih.
KGK 1118: Sakramen-sakramen adalah Sakramen “Gereja” dalam arti ganda,
karena mereka ada “melalui dia” dan “untuk dia”. Mereka ada “melalui
Gereja” karena Gereja adalah Sakramen karya Kristus, yang bekerja di
dalamnya berkat perutusan Roh Kudus. Dan mereka itu “untuk Gereja”;
mereka adalah “Sakramen-sakramen, yang olehnya Gereja didirikan”
(Agustinus, De civ. Dei 22,17, Bdk. Thomas Aquinas, Summa Theologica III,64,
2 ad 3), karena mereka memberikan dan membagi-bagikan kepada manusia,
terutama dalam Ekaristi, misteri persekutuan dengan Allah, Dia yang
adalah cinta kasih, Dia yang esa dalam tiga Pribadi.
[5]St. Augustine, Confessions (Lib 1,1-2,2.5,5: CSEL 33, 1-5): “You have made us for yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in you.”
[6]St. John Chrysostom, A Homily for Holy Friday, The Blood and Water from His side, (+ AD 407).
[7]St. Irenaeus, Adversus Haereses,
III, 24, 1: PG 7, 966 mengajarkan: “Mereka yang tidak mengambil bagian
dalam Roh Kudus, tidak dapat memperoleh dari pangkuan ibu mereka
[Gereja] santapan kehidupan; mereka tak menerima apapun dari mata air
yang murni yang mengalir dari tubuh Kristus.”
[8]Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 3.
[9]Sacrosanctum Concilium 5.
[10]Bdk. Santo Ambrosius, Luc. II, 85-89, PL 15, 1666-1668.
[11]Hermas, Vision. 2,4, 1; Bdk. Aristides, Apol. 16,6; Yustinus, Apol. 2,7.
[12]Bdk. Epifanius, Haer. 1,1,5.
[13]St, Klemens dari Aleksandria, Paed. 1,6,27:PG 8, 281.
[14]Lih.
KGK 767: “Sesuai tugas, yang diberikan Bapa kepada Putera untuk
ditunaikan di dunia, diutuslah Roh Kudus pada hari Pentakosta, agar ia
senantiasa menyucikan Gereja” (Lumen Gentium 4). Ketika itu
“Gereja ditampilkan secara terbuka di depan khalayak ramai dan
dimulailah penyebaran Injil di antara bangsa-bangsa melalui pewartaan” (Ad Gentes
4). Sebagai “perhimpunan” semua manusia menuju keselamatan, Gereja itu
misioner menurut kodratnya, diutus oleh Kristus kepada segala bangsa,
untuk menjadikan semua orang murid-murid-Nya (Bdk. Mat 28:19-20; Ad Gentes 2;5-6)
👍👍
BalasHapus