Selamat datang di Blog Gereja Katolik Sampit - Keuskupan Palangkaraya - Kalimantan Tengah

Halaman

Selasa, 06 Agustus 2019

Apa artinya menjadi Katolik?

“Kamu masih Katolik?”

Pertanyaan ini mungkin terdengar janggal, tetapi pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada saya belasan tahun yang lalu, oleh teman masa kecil saya. Sewaktu remaja dulu, kami pernah sama-sama aktif di paroki, menjadi anggota Legio Mariae dan anggota salah satu koor di paroki kami. Kini ia telah berpindah ke gereja non-Katolik, karena konon ia lebih dapat bertumbuh secara rohani di sana. Dia begitu antusias mengisahkan pengalaman barunya di komunitas tersebut, dan kemudian menanyakan pertanyaan yang mengusik hati saya, “Kalau kamu bagaimana, masih Katolik, ya?” Seolah menjadi Katolik itu sesuatu keputusan yang kurang tepat dan harus diubah. Saya menjawabnya lirih, “Ya, saya masih Katolik, dan saya akan tetap Katolik….” Tapi saya tidak tahu bagaimana melanjutkan kalimat itu. Saya bersyukur, seiring dengan berjalannya waktu, melalui ajaran iman dan pengalaman hidup, sedikit demi sedikit, kutemukan jawabannya….

Menjadi Katolik artinya menerima dengan iman, wahyu Tuhan dan undangan-Nya kepada persatuan dengan-Nya

Sebagai murid Kristus, kita tidak hanya mengikuti sebuah buku, tetapi Seorang Pribadi, yaitu Yesus Kristus. Itulah sebabnya kita disebut sebagai “Christ-ian” atau Kristiani/ Kristen. Pribadi yang kita ikuti dan kita jadikan pusat dalam hidup kita ini, adalah Pribadi yang mengasihi kita, yang menyatakan kasih-Nya itu dan mewahyukan Diri-Nya secara penuh kepada kita. Karena kasih-Nya yang sempurna inilah, Kristus ingin terus tinggal di tengah kita dan bersekutu/ bersatu dengan kita. Sebab kasih selalu menginginkan kebersamaan. Kristus menghendaki kebersamaan atau persekutuan antara kita dengan Dia, atas dasar kasih dan kebenaran, sebab Ia Allah yang adalah Sang Kasih (1 Yoh 4:8) dan Kebenaran (Yoh 14:6). Maka menjadi Katolik, pertama-tama adalah menanggapi dengan iman, pewahyuan Allah dan undangan-Nya kepada persatuan (komuni) dengan-Nya. Maka, menjadi Katolik adalah menjadi seorang Kristiani, titik. Sebab seorang Kristiani sudah seharusnya menerima segala yang diwahyukan Allah di dalam Kristus.
Iman yang dimaksud di sini, menurut Konsili Vatikan II,[1] Katekismus[2], dan pengajaran Paus Yohanes Paulus II[3] adalah iman yang terdiri dari dua unsur. Yang pertama adalah unsur pribadi, yaitu percaya kepada Allah, akan segala kasih dan kebijaksanaan-Nya, sehingga kita mau menyerahkan diri kita tanpa syarat kepada-Nya. Dengan kata lain, kita lebih percaya akan kebijaksanaan Allah daripada kebijaksanaan diri sendiri untuk menentukan kebahagiaan kita, dan kita lebih percaya akan kuasa rahmat-Nya daripada kekuatan sendiri untuk mencapainya. Yang kedua adalah unsur obyektif, yaitu kita percaya akan isi wahyu yang diberikan Tuhan, dan memegangnya sebagai sesuatu yang ilahi. Maka unsur pertama adalah percaya kepada Allah yang mewahyukan dan unsur kedua adalah percaya kepada apa yang diwahyukan-Nya. Dengan demikian, iman dapat digambarkan dengan perkataan ini: “Kalau Tuhan yang saya percayai sebagai Pribadi yang baik, penuh cinta kasih, dan bijaksana, telah mewahyukan sesuatu kepada saya, maka atas hormat dan kasih kepada-Nya, saya mau menerima apa yang diwahyukan-Nya itu.”

Keempat Tanda Gereja sejati: satu, kudus, katolik, apostolik

Iman Katolik mengajarkan bahwa Tuhan yang kepada-Nya kita percaya, telah berbicara melalui Kristus, Putera-Nya (lih. Ibr 1:1-4). Sebab Allah mewahyukan bahwa Ia yang dalam Perjanjian Lama juga disebut sebagai Yahweh, Adonai, atau Yehovah, adalah satu dan sama hakekatnya dengan Yesus Kristus, sebab Kristus mengatakan, “Bapa dan Aku adalah satu.” (Yoh 10:30). Kristus yang sama ini mendirikan Gereja-Nya (lih. Mat 16:18) yang oleh kuasa Roh Kudus, diberi karunia kesatuan, kekudusan, keseluruhan dan kesinambungan dengan jalur apostolik di sepanjang sejarah. Dengan mendirikan Gereja-Nya, dan memberikan kuasa kepada Gereja untuk membaptis dan mengajarkan semua perintah-Nya (lih. Mat 28:19-20), Kristus menjadikan Gereja sebagai sarana yang perlu untuk keselamatan.
Peran Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan, di mana Allah terus melaksanakan karya penyelamatan-Nya, secara sempurna dinyatakan dalam perayaan Ekaristi. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Gereja lahir dari Ekaristi, dan Ekaristi lahir dari Gereja. Sebab Gereja lahir/ memperoleh hidupnya dari pengorbanan Kristus.  Sakramen-sakramen sebagai peringatan akan pengorbanan Kristus itu- terus menghidupi Gereja, dan Gereja terus menghadirkannya.[4]

Tanda apostolik menjamin kesatuan, kekudusan dan kekatolikan Gereja

Mungkin ketiga tanda Gereja yaitu satu, kudus dan katolik (universal), lebih mudah diterima, daripada tanda yang terakhir, yaitu apostolik. Namun sejujurnya tanda yang keempat ini merupakan tanda yang paling jelas menunjukkan bahwa seperti halnya dahulu Kristus hadir secara aktif di tengah para Rasul, kini, Ia-pun hadir secara aktif di tengah Gereja-Nya. Meskipun Ia sudah bangkit dan naik ke surga, Kristus tetap hadir dan melanjutkan misinya di dunia, di dalam Gereja dan melalui Gereja. Maka ada hubungan yang tak terpisahkan antara Kristus dan Gereja. Gereja itu satu, kudus dan katolik, sebab Kristus itu satu, kudus dan katolik, dan Ia kini tetap hadir dalam Gereja-Nya sampai akhir zaman.
Bahwa Kristus dapat hadir di tengah umat-Nya dalam berbagai cara, namun ada satu cara yang dikehendaki-Nya, dan menjadi pusatnya. Pusat ini adalah kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi, yang menjadi sumber dan puncak kehidupan kita sebagai umat Kristiani (lih. KGK 1324). Iman Katolik mengajarkan bahwa terdapat hubungan yang tak terpisahkan antara sifat apostolik dengan kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi. Paus yang adalah penerus Rasul Petrus, menjadi tanda yang menghubungkan Gereja masa kini dengan Gereja di zaman para Rasul. Sebagai prinsip yang menyatukan, Paus menjamin kesatuan kolese para Uskup -yang adalah penerus para Rasul- yang menjadi tanda kesatuan antara Gereja partikular/ lokal dengan Gereja universal. Kesatuan ini bukan hanya semata saling mengakui keberadaan masing-masing, atau sebagai hasil hubungan timbal balik antara gereja-gereja. Namun kesatuan ini adalah kesatuan yang timbul dari dalam, yang hasilnya adalah hadirnya Gereja universal dengan semua elemen dasarnya, di dalam setiap gereja-gereja partikular tersebut.
Kehadiran Kristus secara nyata dalam Gereja, secara khusus dalam Ekaristi dijamin oleh karunia sifat apostolik yang melayani ketiga tanda Gereja: kesatuan, kekudusan dan kekatolikan. Kristus yang hadir secara aktif atas kuasa Roh Kudus yang telah mengurapi para rasul dan para penerus mereka, itulah yang menjadikan Gereja sebagai sakramen kesatuan dan keselamatan bagi umat manusia. Ekaristi dan kesatuan dalam kepemimpinan Paus bukanlah akar yang terpisah bagi kesatuan Gereja, sebab Kristus menentukan keduanya untuk saling berhubungan satu sama lain. Kepemimpinan Paus adalah satu, seperti Ekaristi adalah satu: yaitu satu Korban dari satu Kristus, yang wafat dan bangkit. Maka dalam setiap perayaan Ekaristi, dilakukanlah dan ditunjukkanlah kesatuan, tidak saja dengan Uskup sebagai penerus para Rasul, tetapi juga dengan Paus sebagai penerus Rasul Petrus sang pemimpin para Rasul, dengan semua imam dan semua umat beriman yang adalah anggota Kristus, dan di atas semua itu, dengan Kristus yang adalah Kepalanya.

Menjadi Katolik artinya mempercayakan diri kepada Tuhan melalui Gereja

Gereja Katolik memahami peran otoritas apostolik sebagai iman akan janji Kristus yang akan menyertai Gereja-Nya, yang dibuktikan juga oleh banyak tanda sepanjang sejarah, yang menunjukkan betapa Kristus menjaga Gereja dan menghindarinya dari ajaran-ajaran yang menyimpang. Oleh iman inilah, kita menyerahkan diri kepada Allah melalui Gereja, sebab demikianlah yang dikehendaki oleh Allah.
Prinsip pengantaraan Gereja ini bukanlah hal yang baru atau mengada-ada. Sepanjang sejarah umat pilihan, Allah menghendaki bahwa kesetiaan kepada-Nya diukur juga dari kesetiaan kepada para nabi atau pengantara yang ditunjuk olah-Nya. Setia kepada Allah di zaman Perjanjian Lama, berarti juga setia kepada Nabi Musa. Keduanya tak terpisahkan, sebagaimana tertulis dalam Kel 14:31. Kesetiaan kepada para nabi berarti penerimaan terhadap apa yang dikatakan oleh mereka. Tuhan menganggap bahwa penolakan terhadap ajaran para nabi merupakan penolakan terhadap-Nya, seperti nyata dalam penolakan terhadap Nabi Yeremia (lih. Yer 7:25-26). Di masa Yohanes Pembaptis, jawaban “Ya” terhadap panggilan Tuhan dinyatakan dengan persetujuan untuk dibaptis (lih. Mrk 1:4; Luk 3:3) dan penerimaan terhadap pesannya yang memberitakan kedatangan Kristus, Sang Anak Domba Allah (lih. Yoh 1:29,36).
Kristus menghubungkan penerimaan ataupun penolakan terhadap diri-Nya dan Bapa yang mengutus-Nya, dengan penerimaan ataupun penolakan terhadap mereka yang diutus oleh-Nya (lih. Luk 10:16). Maka Gereja mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Kristus ditunjukkan dengan penerimaan keseluruhan kehendak-Nya (lih. Mat 28:19-20), termasuk pengantaraan Gereja apostolik yang didirikan-Nya (lih. Mat 16:16-19). Dengan kata lain, persetujuan iman terhadap Kristus mengambil bentuk konkritnya dalam persetujuan terhadap semua yang telah dinyatakan dan didirikan oleh-Nya, termasuk Gereja-Nya.

Menjadi Katolik artinya setia kepada Tuhan, Kristus, Gereja dan diri sendiri

Rasul Yohanes mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Tuhan diukur dari kesetiaan kepada keseluruhan pengajaran yang dikenali sebagai wahyu ilahi sejak awal mula (lih. 1 Yoh 2:24). Jika Allah menghendaki agar kita menerima ajaran-Nya dengan menerima ajaran para nabi yang mencapai puncaknya pada penggenapannya dalam diri Kristus, kita menerima kehendak Allah ini, dengan menerima Kristus sepenuhnya. Sebab Kristus sepenuhnya menyatakan Allah dan kasih-Nya kepada kita (Kol 1:19; 2:9), sehingga Rasul Paulus mengatakan bahwa Kristus adalah segalanya (lih. Kol 3:11). Maka penerimaan Kristus sepenuhnya ini termasuk dengan menerima segala ajaran-Nya dan menjadi anggota Gereja yang didirikan-Nya. Jika Kristus menjamin kuasa mengajar Gereja yang dilaksanakan oleh para rasul, secara khusus, oleh Rasul Petrus dan para penerus mereka, maka demi ketaatan kita kepada Kristus, kita mentaati juga ajaran Gereja-Nya tersebut. Sebab kita mengingat perkataan Kristus sendiri kepada para murid-Nya, “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10:16).
Dengan ketaatan yang menerima keseluruhan Kristus dan ajaran-Nya ini, maka seorang Katolik memberikan kata “Ya” tanpa syarat dalam iman kepada Allah. Pemberian persetujuan iman tanpa syarat ini, menjadi tanggapan yang mendamaikan bagi hati kita sebagai manusia yang senantiasa resah/ gelisah, sampai kita beristirahat di dalam Tuhan.[5] Sebab dengan menyerahkan pemahaman kita kepada Kristus melalui Gereja-Nya, kita tidak lagi perlu gelisah menginterpretasikan banyak hal menurut pemahaman sendiri, yang dapat berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain, bahkan bertentangan, terhadap suatu topik pengajaran yang sama. Dengan menerima sepenuhnya pengajaran Gereja, kita memperoleh kepenuhan makna ajaran Kristus, dan ini menghasilkan ketenangan bagi jiwa. Menarik jika kita menyimak tayangan Journey Home di situs EWTN (Eternal Word Television Network) yang mengisahkan tentang pencarian akan kepenuhan kebenaran yang membawa kepada Gereja Katolik, silakan klik. Di sana ada lebih dari 700 kisah kesaksian dari mereka yang non-Katolik, bahkan banyak di antaranya pendeta, yang akhirnya menjadi Katolik karena setia mencari apa yang dirindukan oleh hati nurani mereka sendiri, yang membawa mereka menemukan ‘rumah’ mereka yang sesungguhnya di Gereja Katolik.

Menjadi Katolik artinya menjadi anggota Gereja yang lahir dari Hati Kudus Yesus

Namun bagi saya sendiri, pengalaman yang tak terlupakan dan begitu mengena di hati saya, adalah ketika saya mendengar dan merenungkan kutipan pengajaran dari St. Yohanes Krisostomus tentang Gereja. Ia mengajarkan demikian:
“Mengalir dari rusuk-Nya, air dan darah”. Saudara saudari terkasih, jangan lewatkan misteri ini tanpa permenungan; ini mempunyai makna lainnya yang tersembunyi, yang akan kujelaskan kepadamu. Telah kukatakan bahwa air dan darah menandakan Pembaptisan dan Ekaristi kudus. Dari kedua sakramen ini, Gereja dilahirkan: dari Pembaptisan, [yaitu] “air pembasuh yang memberikan kelahiran kembali dan pembaharuan melalui Roh Kudus”, dan dari Ekaristi kudus. Karena simbol Pembaptisan dan Ekaristi mengalir dari rusuk-Nya, maka dari rusuk-Nyalah Kristus membentuk Gereja, seperti Ia telah membentuk Hawa dari rusuk Adam. Nabi Musa telah memberikan secercah tanda tentang hal ini, ketika ia menceritakan kisah tentang manusia pertama dan membuat Adam mengatakan: “Tulang dari tulangku dan daging dari dagingku!” Sebagaimana Tuhan mengambil sebuah tulang rusuk dari rusuk Adam untuk membentuk seorang perempuan, demikianlah Kristus telah memberikan kepada kita darah dan air dari rusuk-Nya untuk membentuk Gereja. Tuhan mengambil tulang rusuk tersebut ketika Adam sedang tertidur lelap, dan dengan cara yang sama Kristus memberikan darah dan air setelah kematian-Nya sendiri.
Maka, tidakkah kamu mengerti, betapa Kristus telah mempersatukan Mempelai-Nya dengan diri-Nya sendiri, dan santapan apakah yang Ia berikan kepada kita semua untuk kita makan? Dengan santapan yang satu dan sama, kita dilahirkan dan diberi makan. Seperti seorang wanita memberi makan anaknya dengan air susu dan darahnya sendiri, demikianlah Kristus terus menerus memberi Darah-Nya sendiri kepada mereka yang kepadanya Ia telah menyerahkan hidup-Nya.”[6]
Sudah lama saya mendengar bahwa Gereja adalah Mempelai Kristus, tetapi saya tidak menyadari sedemikian eratnya hubungan Kristus dengan Gereja-Nya, sampai saya membaca tulisan St. Yohanes Krisostomus ini. Kristus adalah Adam yang baru, dan Gereja adalah Hawa yang baru, yang dibentuk dari rusuk/lambung Kristus, yang dihubungkan juga dengan hati kudus-Nya—sebab maksud prajurit itu menikam adalah menikam jantung hati Kristus, untuk memastikan kematian-Nya. Hubungan Kristus dan Gereja sebagai Adam dan Hawa yang baru, merupakan penggenapan sempurna kisah Adam dan Hawa yang telah dikisahkan dalam Perjanjian Lama.
St. Yohanes Krisostomus bukan Bapa Gereja pertama yang mengajarkan bahwa Gereja lahir dari tubuh Kristus, sebagaimana Hawa dari tubuh Adam. St. Irenaeus (abad ke-2) mengajarkan bahwa Gereja bagaikan aliran mata air yang mengalir dari tubuh Kristus, dan dari air ini kita memperoleh santapan kehidupan.[7] St. Ambrosius juga mengajarkan demikian, sebagaimana dikutip dalam Katekismus:
KGK 766        Tetapi Gereja muncul terutama karena penyerahan diri Kristus secara menyeluruh untuk keselamatan kita, yang didahului dalam penciptaan Ekaristi dan direalisasikan pada kayu salib. “Permulaan dan pertumbuhan itulah yang ditandakan dengan darah dan air, yang mengalir dari lambung Yesus yang terluka di kayu salib.”[8] “Sebab dari lambung Kristus yang berada di salib, muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan.”[9] Seperti Hawa dibentuk dari rusuk Adam yang sedang tidur, demikian Gereja dilahirkan dari hati tertembus Kristus yang mati di salib.[10]
Pengajaran para Bapa Gereja ini membuka mata rohani saya, bahwa sejak awal mula, Allah telah merencanakan kesempurnaan ciptaan-Nya, dengan mempersatukan semua umat manusia ciptaan-Nya di dalam Kristus dan Gereja. Tiba-tiba pengajaran di Katekismus menjadi ‘make sense‘ buat saya, setelah merenungkan penggenapan kisah Adam dan Hawa di dalam diri Kristus dan Gereja sebagai Adam dan Hawa yang baru. Sebagaimana manusia pertama—Adam dan Hawa—menjadi puncak karya penciptaan Allah, demikianlah Kristus dan Gereja menjadi puncak karya keselamatan Allah. Persatuan manusia dengan Kristus tercapai secara sempurna dalam diri Bunda Maria, maka tak mengherankan, jika dalam tulisan yang lain para Bapa Gereja menyebut Bunda Maria juga sebagai Hawa yang baru. Sebab Bunda Maria adalah anggota pertama dan utama dari perkumpulan umat manusia di dalam Kristus, yang kemudian disebut Gereja.
KGK 760        “Dunia diciptakan demi Gereja”, demikian ungkapan orang-orang Kristen angkatan pertama.[11] Allah menciptakan dunia supaya mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya. Keikut-sertaan ini terjadi karena manusia-manusia dikumpulkan dalam Kristus, dan “kumpulan” ini adalah Gereja. Gereja adalah tujuan segala sesuatu.[12] Malahan peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati, seperti jatuhnya para malaikat dan dosa manusia, hanya dibiarkan oleh Allah sebagai sebab dan sarana, untuk mengembangkan seluruh kekuatan tangan-Nya dan menganugerahkan kepada dunia cinta-Nya yang limpah ruah:
“Sebagaimana kehendak Allah adalah satu karya dan bernama dunia, demikian rencana-Nya adalah keselamatan manusia, dan ini namanya Gereja.”[13]
Gereja yang dimaksud di sini adalah satu-satunya Gereja yang didirikan Kristus di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18), dan bahwa Kristus menjamin akan menyertainya sampai akhir zaman (Mat 28:19-20). Sebagaimana hanya ada satu Hawa yang dibentuk dari Adam, demikian pula hanya ada satu Gereja yang dibentuk dari Kristus. Maka Gereja tak pernah terpisah dari Kristus. Gereja bukan sesuatu yang dibentuk sendiri oleh beberapa orang beriman, dan kemudian diklaim sebagai Gereja Kristus. Gereja adalah suatu ‘pemberian’ dari Kristus dan dibentuk sendiri oleh Kristus, yang ditandai oleh darah dan air yang mengalir keluar dari lambung-Nya yang terluka di kayu salib. Maka rencana Allah untuk mempersatukan seluruh dunia di dalam Kristus sudah ada sejak awal mula, namun rencana ini baru mulai terwujud pada saat Gereja dibentuk dari air dan darah yang keluar dari lambung Yesus yang tertikam di salib. Gereja ini kemudian ditampilkan kepada dunia pada hari Pentakosta, dengan datangnya Roh Kudus.[14] Satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Kristus di atas Rasul Petrus, yang masih ada sampai sekarang di bawah pimpinan penerus Rasul Petrus adalah Gereja Katolik. Jika Kristuslah yang mendirikan Gereja ini, dan yang telah menyerahkan nyawa-Nya baginya, maka sudah selayaknya saya memutuskan untuk menjadi anggota Gereja-Nya ini.
Maka menjadi Katolik bagi saya tidaklah semata suatu kebetulan, karena dilahirkan oleh orang tua yang Katolik. Saya menjadi Katolik karena ingin mentaati Allah sepenuhnya, yang telah mewahyukan melalui Kristus, segala ajaran-Nya dan undangan-Nya untuk bersatu dengan-Nya dan dengan sesama umat manusia, di dalam Kristus dan melalui Gereja yang didirikan-Nya, yaitu Gereja Katolik.
Tuhan, bantulah aku untuk setia pada imanku ini, sampai akhir hayatku.


[1]Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 5: “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rm 16:26; lih. Rm 1:5 ; 2Kor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.
[2]Lih. KGK 143: “Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah yang mewahyakan Diri (Bdk. DV 5). Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu “ketaatan iman” (Bdk. Rm 1:5; 16:26). Dan KGK 144: “Taat [ob-audire] dalam iman berarti menaklukkan diri dengan sukarela kepada Sabda yang didengar, karena kebenarannya sudah dijamin oleh Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini Kitab Suci menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya atas cara yang paling sempurna.
[3]Lih. Paus Yohanes Paulus II, dalam Audiensi Umum, Maret 13, 1985: “Percaya berarti menerima dan mengakui sebagai kebenaran dan kesesuaian dengan kenyataan, isi dari apa yang dikatakan, yaitu, isi dari yang dikatakan oleh seseorang yang lain (atau beberapa orang yang lain) karena kredibilitas orang itu. Maka, dengan mengatakan “Aku percaya”, kita menyatakan dua buah acuan pada saat yang sama: kepada orangnya, dan kepada kebenaran [yang dikatakan]-nya; kepada kebenarannya dengan memperhatikan pribadi orang yang mempunyai kredibilitas yang istimewa tersebu.”
[4]Lih. KGK 1118: Sakramen-sakramen adalah Sakramen “Gereja” dalam arti ganda, karena mereka ada “melalui dia” dan “untuk dia”. Mereka ada “melalui Gereja” karena Gereja adalah Sakramen karya Kristus, yang bekerja di dalamnya berkat perutusan Roh Kudus. Dan mereka itu “untuk Gereja”; mereka adalah “Sakramen-sakramen, yang olehnya Gereja didirikan” (Agustinus, De civ. Dei 22,17, Bdk. Thomas Aquinas, Summa Theologica III,64, 2 ad 3), karena mereka memberikan dan membagi-bagikan kepada manusia, terutama dalam Ekaristi, misteri persekutuan dengan Allah, Dia yang adalah cinta kasih, Dia yang esa dalam tiga Pribadi.
[5]St. Augustine, Confessions (Lib 1,1-2,2.5,5: CSEL 33, 1-5): “You have made us for yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in you.”
[6]St. John Chrysostom, A Homily for Holy Friday, The Blood and Water from His side, (+ AD 407).
[7]St. Irenaeus, Adversus Haereses, III, 24, 1: PG 7, 966 mengajarkan: “Mereka yang tidak mengambil bagian dalam Roh Kudus, tidak dapat memperoleh dari pangkuan ibu mereka [Gereja] santapan kehidupan; mereka tak menerima apapun dari mata air yang murni yang mengalir dari tubuh Kristus.”
[8]Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 3.
[9]Sacrosanctum Concilium 5.
[10]Bdk. Santo Ambrosius, Luc. II, 85-89, PL 15, 1666-1668.
[11]Hermas, Vision. 2,4, 1; Bdk. Aristides, Apol. 16,6; Yustinus, Apol. 2,7.
[12]Bdk. Epifanius, Haer. 1,1,5.
[13]St, Klemens dari Aleksandria, Paed. 1,6,27:PG 8, 281.
[14]Lih. KGK 767: “Sesuai tugas, yang diberikan Bapa kepada Putera untuk ditunaikan di dunia, diutuslah Roh Kudus pada hari Pentakosta, agar ia senantiasa menyucikan Gereja” (Lumen Gentium 4). Ketika itu “Gereja ditampilkan secara terbuka di depan khalayak ramai dan dimulailah penyebaran Injil di antara bangsa-bangsa melalui pewartaan” (Ad Gentes 4). Sebagai “perhimpunan” semua manusia menuju keselamatan, Gereja itu misioner menurut kodratnya, diutus oleh Kristus kepada segala bangsa, untuk menjadikan semua orang murid-murid-Nya (Bdk. Mat 28:19-20; Ad Gentes 2;5-6)

Ingrid Listiati 
Ingrid Listiati telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.

1 komentar:

Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !