Selamat datang di Blog Gereja Katolik Sampit - Keuskupan Palangkaraya - Kalimantan Tengah

Halaman

Kamis, 08 Agustus 2019

Menjadi Pembantu Sejati

Para pria paruh baya itupun maju dengan rapi. Di hadapan bangku umat, sudah berjajar rapi 12 kursi yang disediakan misdinar. Merekapun duduk di situ sementara Romo Sigit menyiapkan kain dan air dalam baskom. Sang imam selebran pun mendekat kepada seorang bapak tua di ujung deretan kursi dan mulai membasuh kakinya. Seperti biasa, Misa Kamis Putih menghadirkan kembali kenangan ketika Yesus membasuh kaki keduabelas murid-Nya.
Wajah para bapak itu cukup bervariasi. Beberapa terlihat biasa saja. Beberapa terlihat agak sungkan. Tapi ada seorang bapak yang mimik mukanya cukup lucu. Wajahnya menunjukkan campuran antara malu, geli, dan merasa tidak layak. Aku menebak-nebak kalau si bapak merasa sungkan karena belum pernah melayani di paroki. Memang, biasanya umat yang dibasuh kakinya adalah umat yang diharapkan aktif melayani di paroki. Aku pun membayangkan apabila seandainya aku berada di posisi serupa.
Pembasuhan kaki memang melambangkan kerendahan hati dan pelayanan. Yesus membasuh kaki para rasul-Nya untuk memberi mereka teladan untuk saling melayani. Melalui pembasuhan kaki, Yesus menunjukkan bahwa seorang pengikut Kristus harus melayani. Aku merasa sudah melakukannya karena aku sudah melibatkan diri dalam pelayanan. Namun, rasanya ada hal lain yang Tuhan ingin sampaikan padaku. Bagaimana dengan pelayananku selama ini? Apakah aku sudah melayani dengan hati seorang pelayan?
Lamunanku terhenti sebentar karena rombongan bapak mulai meninggalkan depan altar. Pembasuhan kaki sudah selesai rupanya. Sambil terus memperhatikan si bapak bermimik muka lucu, aku lanjutkan lamunanku. Apa maksudnya melayani dengan hati pelayan?
Aku membayangkan Yesus yang sedang membasuh kaki para rasul-Nya. Hari itu, Ia menjadikan diri-Nya seorang pembantu. Ia membasuh kaki mereka satu persatu secara bergantian tanpa kecuali. Baik St. Yohanes yang Ia kasihi, maupun Yudas yang Ia tahu akan mengkhianatiNya malam itu juga. Tanpa kecuali. Sekalipun Ia tahu Yudas akan segera menyerahkanNya pada kaum Farisi, Ia tetap membasuh dan membersihkan kakinya dengan lembut. Sekalipun Ia tahu Yudas akan memilih meninggalkanNya dengan bunuh diri, Ia tetap mengecup kakinya dengan cinta. Ia mengajar kita untuk mencintai musuh dan Ia buktikan dalam perbuatanNya (Mat 5:44).
Bagian “tanpa kecuali” inilah yang tampaknya sulit aku lakukan. Melayani dengan tulus demi orang yang kukasihi alamiah dan mudah. Melayani dengan tulus demi orang yang tidak mengasihiku? Lain cerita. Sekuat-kuatnya, aku hanya bisa memajang senyuman, paling tidak supaya orang tersebut tidak tersinggung. Tapi, senyuman itu belum menjadi senyuman tulus dari hati. Pelayananku masih belum tulus sepenuhnya karena masih belum “tanpa kecuali”. Pelayananku belum memiliki hati seorang pelayan. Aku perlu belajar dari sang Pelayan, Yesus, yang melayani tanpa kecuali, baik mereka yang mencintaiNya, maupun mereka yang membenciNya.
Aku harus selalu ingat bahwa Tuhan memberikan rahmat-Nya yang manis pada semuanya, baik orang jahat maupun baik (bdk. Mat 5:45). Lidah orang jahat maupun baik sama-sama mengecap rasa manis pada gulali. Gulaliku harus terasa manis, baik untuk lidah orang jahat maupun baik, supaya semua lidah memuliakan nama Tuhan.
“Melayani Allah bukanlah suatu beban, melainkan kehormatan. Jauh dari membuat kita sebagai budak, pelayanan sebenarnya malah membebaskan kita” – St. Petrus Krisologus

 IOANNES
Seorang biasa yang dipanggil Yesus untuk mengikutiNya dan bersatu dengan denganNya dalam Gereja yang Ia dirikan sendiri. Mencintai santo-santa dan berharap boleh mendapat anugerah ketaatan dan kerendahan hati seperti mereka. Saat ini sedang meretas jalan dan kesiapan diri untuk bergabung dengan salah satu ordo religius.
Website : http://katolisitas.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !