Para pria paruh baya itupun maju dengan rapi. Di hadapan bangku umat,
sudah berjajar rapi 12 kursi yang disediakan misdinar. Merekapun duduk
di situ sementara Romo Sigit menyiapkan kain dan air dalam baskom. Sang
imam selebran pun mendekat kepada seorang bapak tua di ujung deretan
kursi dan mulai membasuh kakinya. Seperti biasa, Misa Kamis Putih
menghadirkan kembali kenangan ketika Yesus membasuh kaki keduabelas
murid-Nya.
Wajah para bapak itu cukup bervariasi. Beberapa terlihat biasa saja.
Beberapa terlihat agak sungkan. Tapi ada seorang bapak yang mimik
mukanya cukup lucu. Wajahnya menunjukkan campuran antara malu, geli, dan
merasa tidak layak. Aku menebak-nebak kalau si bapak merasa sungkan
karena belum pernah melayani di paroki. Memang, biasanya umat yang
dibasuh kakinya adalah umat yang diharapkan aktif melayani di paroki.
Aku pun membayangkan apabila seandainya aku berada di posisi serupa.
Pembasuhan kaki memang melambangkan kerendahan hati dan pelayanan.
Yesus membasuh kaki para rasul-Nya untuk memberi mereka teladan untuk
saling melayani. Melalui pembasuhan kaki, Yesus menunjukkan bahwa
seorang pengikut Kristus harus melayani. Aku merasa sudah melakukannya
karena aku sudah melibatkan diri dalam pelayanan. Namun, rasanya ada hal
lain yang Tuhan ingin sampaikan padaku. Bagaimana dengan pelayananku
selama ini? Apakah aku sudah melayani dengan hati seorang pelayan?
Lamunanku terhenti sebentar karena rombongan bapak mulai meninggalkan
depan altar. Pembasuhan kaki sudah selesai rupanya. Sambil terus
memperhatikan si bapak bermimik muka lucu, aku lanjutkan lamunanku. Apa
maksudnya melayani dengan hati pelayan?
Aku membayangkan Yesus yang sedang membasuh kaki para rasul-Nya. Hari
itu, Ia menjadikan diri-Nya seorang pembantu. Ia membasuh kaki mereka
satu persatu secara bergantian tanpa kecuali. Baik St. Yohanes yang Ia
kasihi, maupun Yudas yang Ia tahu akan mengkhianatiNya malam itu juga.
Tanpa kecuali. Sekalipun Ia tahu Yudas akan segera menyerahkanNya pada
kaum Farisi, Ia tetap membasuh dan membersihkan kakinya dengan lembut.
Sekalipun Ia tahu Yudas akan memilih meninggalkanNya dengan bunuh diri,
Ia tetap mengecup kakinya dengan cinta. Ia mengajar kita untuk mencintai
musuh dan Ia buktikan dalam perbuatanNya (Mat 5:44).
Bagian “tanpa kecuali” inilah yang tampaknya sulit aku lakukan.
Melayani dengan tulus demi orang yang kukasihi alamiah dan mudah.
Melayani dengan tulus demi orang yang tidak mengasihiku? Lain cerita.
Sekuat-kuatnya, aku hanya bisa memajang senyuman, paling tidak supaya
orang tersebut tidak tersinggung. Tapi, senyuman itu belum menjadi
senyuman tulus dari hati. Pelayananku masih belum tulus sepenuhnya
karena masih belum “tanpa kecuali”. Pelayananku belum memiliki hati
seorang pelayan. Aku perlu belajar dari sang Pelayan, Yesus, yang
melayani tanpa kecuali, baik mereka yang mencintaiNya, maupun mereka
yang membenciNya.
Aku harus selalu ingat bahwa Tuhan memberikan rahmat-Nya yang manis
pada semuanya, baik orang jahat maupun baik (bdk. Mat 5:45). Lidah orang
jahat maupun baik sama-sama mengecap rasa manis pada gulali. Gulaliku
harus terasa manis, baik untuk lidah orang jahat maupun baik, supaya
semua lidah memuliakan nama Tuhan.
“Melayani Allah bukanlah suatu beban, melainkan kehormatan. Jauh dari
membuat kita sebagai budak, pelayanan sebenarnya malah membebaskan
kita” – St. Petrus Krisologus
IOANNES
Seorang biasa yang dipanggil Yesus untuk mengikutiNya dan bersatu dengan denganNya dalam Gereja yang Ia dirikan sendiri. Mencintai santo-santa dan berharap boleh mendapat anugerah ketaatan dan kerendahan hati seperti mereka. Saat ini sedang meretas jalan dan kesiapan diri untuk bergabung dengan salah satu ordo religius.Website : http://katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !