Kesalahan persepsi doa menurut St. Thomas Aquinas
Dalam tiga tulisan sebelumnya, telah dibahas tentang tiga kesalahan persepsi tentang doa yang sering kita jumpai sehari-hari bagian 1, bagian 2, bagian 3),
baik yang kita lakukan sendiri maupun oleh teman-teman kita. Kalau kita
lihat, tiga kesalahan persepsi yang diajukan oleh St. Thomas, mungkin
telah mencakup semua kesalahan persepsi tentang doa. St. Thomas
membaginya menjadi tiga bagian, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Tuhan dianggap netral: seolah-olah Dia hanya berpangku tangan saja, baik kejadian yang menyenangkan atau yang menyedihkan. Seolah-olah Tuhan hanya sebagai penonton.
- Tuhan dianggap negatif: seolah-olah Tuhan sudah menentukan semuanya, di mana lebih kepada pengertian yang negatif, sehingga doa juga percuma, karena semuanya sudah ditakdirkan.
- Tuhan dianggap positif: seolah-olah kasih Tuhan diukur sampai seberapa jauh Tuhan memenuhi permintaan doa kita, sampai pada titik bahwa doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan di atas, kita harus dapat
menangkap hakekat dari doa itu sendiri. Dalam tulisan ini akan diuraikan
definisi doa menurut St. Teresia kanak-kanak Yesus.
Definisi Doa menurut St. Teresia yang dikutip oleh Katekismus Gereja Katolik.
Katekismus Gereja Katolik 2558-2559, mengutip St. Teresia kanak-kanak Yesus, mengatakan “Bagiku
doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan
syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan“. Definisi ini terlihat sederhana, namun mencakup banyak hal. Mari kita lihat satu persatu.
Doa harus melibatkan hati
Dalam doa, akal budi (reason or intellect) dan keinginan hati (the will) harus bekerjasama untuk menerima dan mengalami kehadiran Tuhan. ((St. Thomas Aquinas, ST,
II-II, q.83, a.1.; KGK, 2559.)) Kita mencoba menggunakan akal budi kita
untuk berfikir tentang Tuhan dan dengan keinginan hati, kita mau untuk
mengalami kehadiran Tuhan. Sebagai contoh, kita harus terlebih dahulu
mengetahui tentang hukum Tuhan dan pelanggaran kita terhadap Tuhan,
sebelum kita dapat mengalami pertobatan. Tidak mungkin kita mengalami
pertobatan tanpa terlebih dahulu tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah
salah di mata Tuhan. Namun sebaliknya, hanya berfikir tentang Tuhan tidaklah cukup, namun kita harus memberikan hati kita kepada Tuhan di dalam doa. ((KGK,
2562-2563 Di sini, KGK menekankan akan pentingnya peranan hati untuk
turut berdoa. Berfikir tentang Tuhan saja tidak cukup. Pikiran harus
membantu hati (the will) untuk berdoa dengan baik, dan demikian
juga sebaliknya.)) Kalau mau dikatakan, setanpun berfikir tentang
Tuhan. Mereka punya pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat tertentu,
namun mereka tidak memberikan hati mereka kepada Tuhan. Katekismus
Gereja Katolik menegaskan, memang benar bahwa keseluruhan diri manusia
yang berdoa, namun terlebih lagi adalah hati yang berdoa.
(KGK, 2562) Sehingga dapat dikatakan bahwa jika hati kita jauh dari
Tuhan, maka kata-kata di dalam doa adalah percuma. Disinilah perkataan
St. Teresia menjadi begitu nyata dan benar: doa adalah ayunan hati.
Tuhan adalah penggerak utama dalam doa.
Kalau bagi St. Teresia doa adalah “ayunan hati“, maka yang mengayun hati adalah Tuhan. Karena Tuhan sendiri yang menanti kita di dalam doa. Dikatakan bahwa manusia mencari Tuhan, namun Tuhan yang memanggil manusia terlebih dahulu
(KGK, 2566-2567). Bahkan doa sebenarnya adalah suatu anugerah dari
Tuhan (KGK, 2559-2561). Drama tentang doa ditunjukkan pada waktu Yesus
menunggu di sumur dan kemudian bertemu dengan wanita Samaria (Yoh
4:1-26; KGK, 2560). Yesus yang menanti kita karena haus akan balasan kasih kita.
Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam
kehidupan kita atau malah beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan
sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan seseorang, maka anggapan ini
adalah salah sekali. Bukan hanya dia “menjawab doa kita“, bahkan Dia yang terlebih dahulu “menggerakkan hati kita untuk berdoa“, karena Dia sudah menunggu kita di sumber air, di hati kita, di tempat di mana kita dapat bertemu dengan Tuhan (KGK, 2563).
Kita diciptakan dengan kapasitas untuk mengarahkan hidup kita pada tujuan akhir.
Bahkan sebenarnya, Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia mempunyai kapasitas untuk mengarahkan hidupnya kepada
tujuan akhir. Sadar atau tidak, kita mempunyai kapasitas untuk ini.
Dengan kapasitas inilah, St. Agustinus berkata “Hatiku tidak akan tenang, sampai aku menemukan Engkau, ya Tuhan.”
Dan kapasitas ini bukan hanya milik beberapa orang saja, namun semua
orang, karena pada dasarnya manusia adalah seorang filsuf. ((John Paul
II, Encyclical Letter on the Relationship between Faith and Reason: Fides et Ratio,
3, 64. Kalau kita amati, hanya manusia saja yang dapat mempertanyakan
tujuan hidupnya.)) Pada saat kita mempertanyakan “apa itu hidup, apa
tujuan kehidupan, apakah kebahagiaan, dll”, maka kita dihadapkan kepada
suatu permenungan akan “suatu awal dan tujuan akhir“.
Pada saat pertanyaan ini didiskusikan dengan Tuhan, maka ini adalah
suatu wujud doa, karena Tuhan adalah awal dan akhir. Dialog ini akan
menjadi doa seorang Kristen kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus. Dan
ini akan menjadi doa seorang Katolik, kalau berdasarkan wahyu Yesus
Kristus yang diteruskan dalam Tradisi Katolik dan ajaran Katolik yang
mendasari doa tersebut, di mana doa mencapai puncaknya pada perayaan
Ekaristi Kudus ((KGK, 1324, 2624 : Ekaristi adalah suatu bentuk
doa yang paling sempurna, karena menghadirkan kembali kurban Yesus
Kristus. Ini juga merupakan tradisi apostolik, seperti yang ditunjukkan
jemaat perdana. “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan
dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan
berdoa.” (Kis 2:42)) (lihat artikel: Sudahkah kita pahami pengertian Ekaristi? ).
Doa adalah pandangan sederhana ke surga
St. Teresia lebih lanjut mengatakan bahwa doa adalah “pandangan sederhana ke surga.”
Di dalam doa, derajat kedekatan dengan Tuhan yang kita alami hanyalah
merupakan pandangan sederhana atau sekilas yang sama sekali tidak dapat
dibandingkan dengan kebahagiaan sejati pada waktu nanti kita bertemu
dengan Yesus muka dengan muka (1 Kor 2:9). Pada waktu kita berdoa, kita
juga mengarahkan hati bukan kepada hal-hal di dunia ini, namun untuk
hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan jiwa kita, yaitu tujuan
akhir yang utama: persatuan dengan Tuhan di surga. Jadi kita perlu
mengintrospeksi, apakah isi dari doa kita?
Apakah semuanya berisi dengan kebutuhan yang bersifat jasmani semata,
ataukah dipenuhi dengan hal-hal untuk keselamatan jiwa kita? “Pandangan
sederhana ke surga” adalah suatu pandangan yang begitu dalam.
Kedalamannya terletak pada keserhanaannya. Kesederhanaan suatu konsep “Manusia akan mengarahkan segala sesuatunya kepada tujuan akhir.”
Dalam Alkitab dikatakan “di mana hartamu berada, disitu juga hatimu
berada” (Mat 6:21; Luk 12:34). Seperti seorang yang bekerja di bagian
sales atau penjualan. Tujuan akhir dari pekerjaan ini adalah memenuhi
target penjualan. Jadi semua usaha, pikiran, dan hati diarahkan
seluruhnya untuk mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Dari
contoh ini, kita melihat bahwa tujuan akhir menentukan semua sikap,
perilaku, dan juga pikiran dan hati.
Tujuan akhir dan definisi tentang kebahagiaan menentukan sikap kita dalam doa.
Nah, mari kita melihat dalam kehidupan rohani kita. Di atas telah
diulas bahwa manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengenal tujuan
akhir, yaitu untuk bersatu dengan Tuhan. Kalau
kita membuat hal ini benar-benar menjadi tujuan akhir hidup kita, maka
segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk mencapai tujuan ini. Dan
cara yang dapat kita lakukan di dunia ini untuk mencapai tujuan akhir
ini adalah melalui doa. Dengan kata lain apa yang kita doakan adalah
tergantung dari definisi kita tentang tujuan akhir hidup kita maupun
definisi kita tentang kebahagiaan.
Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah untuk menjadi
orang kaya, maka doa-doanya akan dipenuhi dengan urusan pekerjaan,
proyek, uang, dll. Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah
keluarga, maka doanya dipenuhi dengan doa untuk keselamatan dan
kebahagiaan anggota keluarga. Nah dalam definisi St. Teresia, definisi
kebahagiaannya adalah pandangan ke surga. Inilah yang membedakan doa
kita dengan doa para orang kudus. Bagi orang kudus, definisi kebahagiaan
dan tujuan akhir dari hidup begitu jelas – yaitu persatuan dengan Allah
– sehingga doa adalah menjadi cara (the means) untuk mencapai tujuan akhir ini (end).
Kita sering membalik ini dan melihat doa sebagai akhir. Akibatnya,
kalau doa kita tidak dijawab oleh Tuhan seperti yang kita inginkan, maka
kita akan kecewa, putus asa, dan marah. Namun kalau kita melihat doa
adalah suatu cara untuk mencapai tujuan akhir, maka apapun jawaban Tuhan
terhadap doa kita akan kita terima dengan lapang hati karena pada
akhirnya semuanya akan mendatangkan kebaikan buat kita (Roma 8:28),
yaitu untuk mencapai tujuan akhir, bersatu dengan Tuhan.
St. Yohanes dari Damaskus mengatakan bahwa “doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik.” (KGK, 2559) Hal-hal yang baik disini adalah dalam relasinya dengan tujuan akhir manusia, persatuan dengan Allah di surga.
Doa didasarkan kepada iman, pengharapan dan kasih kepada Tuhan.
St. Teresia juga menekankan pentingnya “seruan syukur (dalam edisi bahasa Inggis dikatakan a cry of recognition atau seruan pengakuan) dan cinta kasih“.
Seruan syukur adalah suatu ungkapan kepada seseorang atas pertolongan
dan pemeliharaannya kepada kita. Dan kalau kita mengucap syukur kepada
Tuhan, berarti kita mengakui pertolongan-Nya dan pemiliharaan tangan-Nya
dalam kehidupan kita. Kita mengakui bahwa tanpa Tuhan, kita tidak bisa
berbuat apa-apa. Ini adalah sikap kerendahan hati yang berkenan di mata
Tuhan dan menjadi dasar utama dari doa.
Seruan syukur atau seruan pengakuan menjadi suatu ekspresi iman dan
pengharapan. Mengaku bahwa Tuhan adalah segalanya adalah suatu
pernyataan iman. Mendaraskan doa kita kepada Tuhan yang Maha Tahu dan
Maha Baik adalah suatu pernyataan pengharapan. Doa juga merupakan tempat
pertemuan antara kasih Allah yang sudah terlebih dahulu menunggu kita
dengan kasih kita kepada Allah (KGK, 2560). Bahkan dikatakan bahwa kasih adalah penyebab dari doa. ((St. Thomas Aquinas, ST,
II-II, q.83, a.13.)) Jadi kita bisa melihat bahwa doa yang benar
dilandaskan pada kebajikan ilahi “iman, pengharapan, kasih.” Tanpa
ketiga hal ini, doa menjadi sia-sia. Kalau kerendahan hati
adalah dasar dari doa, maka iman adalah suatu bentuk kerendahan hati
akal budi, dan pengharapan adalah bentuk kerendahan hati dari keinginan. ((St. Thomas Aquinas, ST,
II-II, q.161, a.5.)) Ini berarti bahwa kalau doa kita didasari oleh
iman dan pengharapan yang berlandaskan kasih yang benar, maka Tuhan akan
mengabulkan doa kita.
Mari kita melihat apa yang dikatakan Yesus “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu”
(Mat 7:7; 21:22; Mar 11:24; Luk 11:9; Yoh 14:13). Mengomentari hal ini,
St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Catena Aurea”, mengatakan bahwa “Kita meminta dengan iman, mencari dengan harapan, dan mengetuk dengan kasih“. Jadi dalam hal ini kebajikan Ilahi, yang terdiri dari: iman, pengharapan, dan kasih menjadi dasar doa kita ((KGK, 1812-1813 Iman, pengharapan, dan kasih atau disebut kebajikan Ilahi (theological virtues)
memungkinkan manusia berhubungan dengan Allah, dimana kita dapatkan
pada waktu kita menerima pembaptisan. Dengan ini, manusia dapat
mengambil bagian dan berpartisipasi dalam kehidupan Tritunggal Maha
Kudus. Dan kebijaksanaan Ilahi ini menjadi dasar, jiwa dan tanda
pengenal tindakan moral orang Kristen.)) Iman
memungkinkan manusia untuk menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah,
termasuk seluruh kejadian dalam kehidupannya, baik yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan. Harapan, membuat kita merindukan kehidupan kekal bersama Allah sebagai tujuan akhir dan tujuan utama kehidupan kita (KGK, 1817) Kasih,
memungkinkan kita untuk mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu di
dunia ini, dan mengasihi sesama demi kasih kita kepada Allah (KGK,
1822).
Kalau kita melihat definisi di atas dan jujur terhadap diri sendiri,
maka kita dapat mengatakan bahwa doa yang kita minta sering tidak
didasari oleh kebajikan ilahi. Mungkin kita berdoa dengan iman dan
pengharapan yang kelihatannya begitu besar, namun sebenarnya tanpa
didasari kasih kepada Tuhan. ((Dalam hal ini, kalau kita mendasarkan doa
kita berdasarkan iman dan pengharapan yang benar, maka kasih
senantiasa ada di dalamnya)) Berapa sering kita mendengar doa-doa yang
dipanjatkan “dalam nama Yesus, kutolak kemiskinan, sakit penyakit, dll”
Kalau doa kita didominasi oleh pekerjaan dan juga kekayaan, maka kita
dapat mempertanyakan, apakah doa ini berdasarkan kasih kepada diri
sendiri atau kasih kepada Tuhan.
Kalau kasih adalah melihat sesuatu yang baik dari seseorang atau
menginginkan sesuatu yang baik terjadi bagi orang tersebut, maka
pertanyaannya, apakah kekayaan mendatangkan kebaikan buat Tuhan? Tidak
juga. Tuhan tidak bertambah mulia dengan kekayaan kita, walaupun kita
dapat memuliakan Tuhan dengan kekayaan yang diberikan oleh Tuhan. Namun
sering kita meminta kekayaan bukan untuk memuliakan Tuhan, namun untuk
kesenangan diri kita pribadi.
Pertobatan hati menuntun kita kepada doa yang benar.
Namun, sebelum kita dapat melandaskan doa berdasarkan kebajikan
Ilahi, maka kita terlebih dahulu akan dihadapkan pada suatu realitas
bahwa kita adalah orang berdosa (KGK, 2631). Realitas ini adalah
pengetahuan terhadap diri kita sendiri. Namun pengetahuan tentang diri
sendiri tidaklah cukup, karena hanya akan berakhir pada keputusasaan,
seperti yang dicontohkan oleh Yudas Iskariot. Pengetahuan ini perlu
digabungkan dengan pengetahuan akan Allah yang Maha Kasih dan Pengampun.
Dua pengetahuan ini akan membawa kita kepada kerendahan hati dan
pertobatan yang benar yang memungkinkan kita mempunyai hati murni, yang
akhirnya akan membukakan hati kita untuk menyelaraskan hidup kita dengan
apa yang dikehendaki oleh Tuhan (lihat artikel Kerendahan hati: dasar dan jalan menuju Kekudusan),
seperti yang telah dicontohkan oleh Santo Petrus. Yesus mengatakan
bahwa “Berbahagialah orang suci hatinya, karena mereka akan melihat
Allah” (Mat 5:8).
Kembali kita diingatkan bahwa bukan kita yang mengubah Tuhan dengan
doa kita, namun dengan kesucian hati, seseorang dapat menyesuaikan
hidupnya dengan kehendak Tuhan (KGK, 2518), yang pada akhirnya menuntun
kepada kesesuaian dengan kehendak Tuhan, seperti yang dicontohkan oleh
Yesus sendiri. Di dalam doa-Nya di taman Getsemani, Yesus berkata “Ya
Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi
bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk
22:42). Inilah doa dengan nafas, “Tuhan apakah yang Engkau kehendaki?”
dan “Tuhan, apa yang Engkau ingin aku lakukan untuk melaksanakan
kehendak-Mu?” (KGK, 2705-2706)
Doa yang mengutamakan kehendak Tuhan ialah doa yang lepas dari
kepentingan pribadi. Doa seperti inilah yang dilandaskan oleh kebajikan
Ilahi: iman, pengharapan, dan kasih. Inilah doa yang dicontohkan oleh
Abraham, Musa, dan para orang kudus. Inilah doa, dimana Roh Kudus
sendiri yang membantu kita untuk berdoa.
Dan doa yang mengalir dari kebajikan Ilahi tidak akan terpisah dari
kehidupan yang nyata, karena doa dan kehidupan bersumber pada kasih yang
sama. Pada saat seseorang dapat menggabungkan antara pekerjaan dan
kegiatan yang lain dengan nafas doa, maka seseorang mencapai “doa yang tiada henti atau prayer without ceasing.” Dan inilah yang diserukan oleh St. Teresia, bahwa doa harus dilakukan “di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan.” Ini berarti doa harus dilakukan setiap saat tanpa memandang situasi yang sedang kita alami.
Doa tidaklah percuma, namun harus menjadi nafas kehidupan kita
Dengan semua argumen di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa doa
tidaklah percuma, bahkan doa harus menjadi kebutuhan utama orang
Kristen, sama seperti oksigen menjadi kebutuhan utama manusia. Semakin kita mengerti akan kesalahan persepsi doa, semakin kita tersadar akan kekuatan doa yang sesungguhnya, yaitu doa
yang dituntun oleh Roh Kudus, yang menjadikan kita untuk semakin serupa
dengan Kristus, sehingga kita dapat mengikuti kehendak Allah Bapa.
Hanya dengan doa yang tiada henti, dilakukan dengan disposisi hati yang
benar, maka kita akan melihat buah-buah doa dalam kehidupan kita. Mari
kita mengikuti teladan Yesus, yang memberikan kepada kita doa yang
paling sempurna, doa Bapa Kami. Kita juga mengikuti teladan Maria, dan
para kudus, dimana setiap tarikan nafas dari mereka merupakan doa yang
tak putus-putusnya, yang rindu untuk melaksanakan kehendak Bapa.
Mari kita mengingat sekali lagi apa yang dikatakan oleh St. Teresia kanak-kanak Yesus. “Bagiku
doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan
syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan”.
Marilah kita berdoa.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin. Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang kepada-Mu, mengakui bahwa aku adalah orang yang berdosa. Dalam segala kelemahanku, bantulah aku ya Tuhan agar aku dapat mempunyai hati yang kudus, sehingga Engkau dapat meraja dalam hatiku. Tuhan, ubahlah hatiku walaupun aku belum siap. Bantulah agar aku dapat menyesuaikan segala pikiran, keinginan, dan perbuatanku sesuai dengan kehendak-Mu. Berikan aku kekuatan agar aku dapat menjadi seorang pendoa yang benar, karena aku tahu hanya melalui doa saja, iman, pengharapan, dan kasihku kepada-Mu dapat bertumbuh. Bantu aku ya Tuhan, agar doa juga dapat menjadi nafas perbuatanku setiap hari. Aku mengundang Engkau ya Tuhan, untuk terus membentuk aku sesuai dengan kehendak-Mu. Dengan perantaraan Yesus Kristus, Putera-Mu, aku naikkan doa ini. Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anad Sopan,Kami pun Segan . . . !